SUKABUMIUPDATE.com - Kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi mengizinkan sekolah negeri menerima hingga 50 murid per kelas ditolak oleh Perhimpunan Pendidikan dan Guru. P2G menyebut kebijakan itu penjara bagi murid, buka solusi untuk menekan angka anak putus sekolah di Jawa Barat.
Kebijakan yang tertuang dalam petunjuk teknis Pencegahan Anak Putus Sekolah (PAPS) yang baru diterbitkan Pemerintah Provinsi Jawa Barat tersebut, menurut P2G melanggar sejumlah aturan pemerintah RI, khususnya Kementerian Pendidikan.
“Kelas berisi 50 anak bukan solusi, itu penjara,” kata Kepala Bidang Advokasi P2G Iman Zanatul Haeri dalam keterangan tertulis, Senin, 7 Juli 2025.
Baca Juga: PGRI Punya Ketua Baru, Disdik Kabupaten Sukabumi Dorong Kolaborasi Lebih Erat
Dikutip dari tempo.co, P2G memahami kebijakan itu dibuat dengan niat mengurangi angka anak putus sekolah di Jawa Barat, yang saat ini mencapai sekitar 658 ribu anak. Namun, organisasi guru itu menilai, kebijakan tersebut justru berisiko menimbulkan masalah baru, baik secara pedagogis, psikologis, maupun sosial.
Menurut Iman, ruang kelas di SMA/SMK umumnya dirancang hanya untuk 36 siswa. Memasukkan 50 murid ke satu kelas akan menyebabkan ruangan pengap, interaksi belajar terganggu, dan suara guru tak terdengar. Guru juga akan kesulitan mengelola kelas dan mengevaluasi proses belajar anak secara menyeluruh.
Iman menambahkan, kebijakan gubernur bertentangan dengan ketentuan pemerintah pusat. Permendikbudristek Nomor 48 Tahun 2023 dan Keputusan Kepala BSKAP Nomor 071/H/M/2024. Aturan itu secara tegas membatasi jumlah maksimal siswa SMA sederajat sebanyak 36 anak per kelas.
Baca Juga: Menanti Janji di Tanah Bergerak, Kisah Warga Jampangtengah Sukabumi yang Terlupakan
“Memasukkan 50 murid ke satu kelas adalah solusi instan jangka pendek. Itu tidak menyelesaikan akar persoalan,” ujarnya.
P2G mengingatkan faktor anak putus sekolah tidak melulu soal daya tampung sekolah negeri. Ada banyak penyebab lain, seperti pernikahan dini, kemiskinan, pekerjaan anak, hingga konflik hukum. Karena itu, P2G menyarankan agar gubernur mempertimbangkan pendekatan yang lebih komprehensif, seperti mendorong anak kembali ke madrasah, pendidikan nonformal, atau sekolah rakyat yang dibiayai negara.
Iman berpandangan anak dari keluarga miskin ekstrem bisa diarahkan ke sekolah rakyat yang dikelola Kementerian Sosial, sebagai bagian dari kesinambungan antara program pusat dan daerah.
Baca Juga: Mitos dan Fakta tentang Skincare: Mana yang Benar, Mana yang Hanya Marketing?
P2G juga mengkritik Gubernur Jabar yang tidak mengharmonisasikan kebijakan daerahnya dengan arah kebijakan pendidikan nasional. Mereka menilai langkah Dedi Mulyadi kerap tidak sejalan dengan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, termasuk kebijakan sebelumnya yang mengirim siswa bermasalah ke barak militer.
Jawaban Dedi Mulyadi
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menjawab polemik aturan baru tentang kapasitas maksimal rombongan belajar untuk SMA dan SMK Negeri. Pria yang akrab disapa KDM ini menegaskan kebijakan 50 pelajar per rombel bersifat sementara, karena targetnya membangun 736 ruang kelas baru untuk SMAN dan SMKN di seluruh Jabar.
KDM menargetkan paling lama kondisi itu (per kelas diisi 50 pelajar) berlaku sampai Januari 2026. Ia menegaskan pemerintah provinsi Jawa Barat sudah menyiapkan anggaran baru sebesar Rp 100 miliar untuk penambahan kelas di sekolah-sekolah negeri yang menampung 50 anak per kelas.
Baca Juga: Resep Wedang Jahe, Minuman Hangat yang Pas Dinikmati Saat Cuaca Dingin
Melansir tempo, ruang kelas yang akan dibangun nanti rencananya berjumlah 736 ruangan, dan ditentukan setelah proses penerimaan murid baru tahun ajaran 2025/2026 tuntas. "Kami upayakan dalam 6 bulan awal ini sudah ada ruang kelas baru," kata Dedi kepada Tempo melalui sambungan telepon, Kamis, 3 Juli 2025.
KDM juga menjawab soal efektifitas kegiatan belajar mengajar yang dinilai rendah jika kelas terlalu penuh oleh siswa. Ia beralasan satu kelas 50 orang untuk jenjang SMA dan SMK tidak akan berpengaruh terhadap pembelajaran, karena proses belajar mengajar di tingkat ini (SMA dan SMK) tidak bisa disamakan dengan SD atau SMP.
"Kalau SD itu kan gurunya perlu satu-satu tuh. Kalau SMA dan SMK kan sudah beda interaksi belajarnya. Paparan, membaca, pelajari. Jadi beda," kata Dedi Mulyadi.
Baca Juga: Satu Malam, Banyak Bencana: BPBD Catat Sukabumi Diterjang Longsor hingga Pohon Tumbang
KDM pun merespon protes Forum Kepala Sekolah Swasta atau FKSS Jawa Barat atas terbitnya Keputusan Gubernur Provinsi Jawa Barat Nomor: 463.1/Kep.323-Disdik/2025. FKSS menilai kebijakan KDM ini bertentangan dengan banyak aturan di Kementerian Pendidikan, dan berpotensi mematikan pendidikan swasta.
Dedi Mulyadi menjawab kebijakan ini diterbitkan untuk anak dari keluarga tidak mampu yang di sekitar rumahnya jauh dari sekolah swasta. "Artinya aturan ini untuk di daerah-daerah tertentu yang jumlah sekolahnya masih sangat terbatas, maka saya mempersilahkan untuk menerima maksimal 50," tutur Dedi.
Lonceng Kematian Sekolah Swasta?
Diketahui kebijakan meminta kepala sekolah menambah kuota siswa ini mendapat penolakan dari Forum Kepala Sekolah Menengah Atas atau SMA Swasta Provinsi Jawa Barat. Ketua Umum Forum Kepala SMA Swasta Jawa Barat Ade D. Hendriana mengatakan aturan itu bertentangan dengan aturan menteri perihal luas ruang kelas dan jumlah maksimalnya.
Baca Juga: Refly Harun Murka ke Anggota DPR yang Sebut Pengkritik Ijazah Jokowi Harus Ditangkap
Dampaknya juga akan membuat banyak sekolah swasta yang tutup karena tidak diberi ruang untuk bersaing. "Kebijakan tersebut akan membenturkan sekolah negeri dan swasta sehingga berpotensi terjadinya kesenjangan sosial yang semakin tajam dalam dunia pendidikan," ucap Ade saat dihubungi Tempo, Rabu, 2 Juli 2025.
PKDD mendesak Dedi mencabut kebijakan tersebut. Forum juga mengirim surat desakan itu kepada publik dan ditujukan atau dilayangkan khusus kepada Presiden Prabowo Subianto, Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian, Menteri Pendidikan Dasar Dan Menengah Abdul Mu'ti.
Sumber: tempo