Eva Mazrieva dan Gugurnya Pena Veteran: Refleksi atas Kematian Jurnalisme yang Dihargai

Sukabumiupdate.com
Kamis 21 Agu 2025, 13:30 WIB
Eva Mazrieva dan Gugurnya Pena Veteran: Refleksi atas Kematian Jurnalisme yang Dihargai

Jurnalis VOA, Eva Mazrieva, jurnalis dengan dedikasi 30 tahun, menyaksikan bagaimana bangunan kariernya diruntuhkan dalam 60 menit yang memalukan. (Sumber : facebook Eva).

Penulis: Danang Hamid

Dalam diam yang menyayat, buku-buku lawas, kamus usang, cangkir kopi, dan foto anak-anak dimasukkan ke dalam kardus di bawah pengawasan ketat. Adegan mirip operasi intelijen ini bukan terjadi di markas musuh, tetapi di kantor Voice of America (VOA).

Eva Mazrieva, jurnalis dengan dedikasi 30 tahun, menyaksikan bagaimana bangunan kariernya diruntuhkan dalam 60 menit yang memalukan. “Kerja keras 15 tahun di AS seakan menguap tak berbekas,” tulisnya di Facebook pada 19 Agustus 2025, sebuah ungkapan kepedihan yang mewakili luka kolektif para pencari fakta.

Peristiwa ini bukan sekadar pemutusan hubungan kerja (PHK) biasa. Ini adalah penguburan paksa atas nilai-nilai yang diperjuangkan jurnalisme: ketelitian, pengalaman, dan keberanian. Seorang petugas keamanan dengan heran mempertanyakan keberadaan kamus-kamus fisik di meja Eva,

“Anda masih pakai kamus, termasuk ini kamus ekonomi?”

Pertanyaan naif itu adalah simbol dari benturan dua dunia: antara yang menghargai kedalaman dan yang terjebak pada kecepatan semu.

Jawaban Eva, “Yes! Karena saat saya masuk dulu belum ada Google Translate... kami harus cek tiap definisi yang tidak jelas sebelum disiarkan,” adalah pembelaan terakhir bagi integritas sebuah profesi yang sekarat.

Perjalanan Eva sejak 1995 adalah mozaik perjuangan jurnalis di garis depan. Ia bukan hanya mengejar deadline, tetapi juga diburu tentara, tersesat di hutan untuk mewawancarai narasumber, dan mempertaruhkan nyawa dengan naik perahu menyelamatkan diri dari kerusuhan.

 Pengalamannya adalah cerminan jurnalisme yang hidup dari lapangan, bukan dari belakang meja yang steril. “Kelaparan dan ketakutan saat liputan bencana” adalah harga yang rela dibayar untuk sebuah laporan yang jujur. Kini, di akhir perjalanan, yang ia dapat bukanlah ucapan terima kasih, melainkan surat PHK dan pengusiran yang didampingi penjaga.

Yang paling memilikan adalah ketidakpastian hukum yang menyertai proses ini. Eva menyebutkan bahwa surat PHK sebelumnya telah dicabut, hanya untuk digantikan dengan surat berisi isyarat PHK lagi.

Ini adalah bentuk psychological warfare terhadap pekerja yang telah berjasa. Namun, di tengah kepedihan, Eva menancapkan satu pesan: “Sedih, marah, kecewa? Tentu. Menyerah? Tidak.” Sebagai perempuan Aceh, ia menyimpan resilienci warisan konflik yang panjang. Perjuangan akan dilanjutkan di ranah hukum, karena baginya, memberhentikan seorang jurnalis bukan hanya memutus napas pencaharian, tetapi juga memutuskan ingatan kolektif yang dijaga dengan susah payah.

Kisah Eva Mazrieva adalah potret suram masa depan jurnalisme.

Ketika lembaga penyiaran seperti VOA yang seharusnya menjadi benturan demokrasi memilih untuk merontokkan pilar-pilarnya yang paling kokoh, maka yang terjadi bukanlah efisiensi, tetapi bunuh diri intelektual. Peristiwa ini memaksa kita bertanya, jika para veteran yang telah membuktikan loyalitas dan keberaniannya diperlakukan seperti penjahat, lalu apalagi yang bisa diharapkan dari generasi penerus? Gugurnya pena Eva bukanlah akhir dari perjuangan, tetapi justru menjadi monumen tentang betapa berharganya kebenaran yang harus dibayar dengan air mata dan keringat, bukan dengan algoritma dan efisiensi anggaran. ( Sumber: Unggahan Facebook Eva Mazrieva pada 19 Agustus 2025.) 

Profil Eva Mazrieva

Eva Mazrieva bukan hanya nama, melainkan simbol keteguhan dalam dunia jurnalistik Indonesia. Perempuan kelahiran Aceh ini telah menjelajahi medan paling berbahaya dalam pencarian berita dari hutan belantara konflik Aceh hingga pusat kerusuhan politik di ibukota.

Sejak memulai karier pada 1995, Eva membangun reputasinya sebagai jurnalis yang tidak hanya piawai melaporkan fakta, tetapi juga berani menghadapi risiko fisik untuk menyuarakan kebenaran.

Pengalamannya meliput perdamaian Aceh, bencana tsunami 2004, serta berbagai konflik agraria dan HAM menjadikannya salah satu suara paling terpercaya dalam jurnalisme investigatif. Karyanya tidak hanya muncul di VOA, tetapi juga menjadi rujukan bagi media nasional dan internasional, menunjukkan dedikasinya yang melampaui batas-batas redaksi.

Sebagai jurnalis perempuan dari daerah yang sarat konflik, Eva sering kali menghadapi tantangan ganda: sebagai pencari fakta di lapangan yang dominan laki-laki, dan sebagai ibu yang harus membagi waktu antara keluarga dan panggilan jiwanya. Namun, justru dalam kerumitan peran itulah ia menemukan kekuatannya.

Eva percaya bahwa jurnalisme bukan sekadar profesi, melainkan tugas moral untuk memberi suara bagi yang tak bersuara.

Filosofi inilah yang membawanya melalui tiga dekade dinamika media dari era cetak yang solemn hingga digital yang serba cepat tanpa kehilangan esensi dari setiap laporannya. Kini, di tengah ketidakpastian yang dihadapi, reputasinya sebagai jurnalis yang tidak pernah kompromi terhadap kebenaran justru semakin dikenang dan dihargai oleh publik dan sejawat.

 

Berita Terkait
Berita Terkini