SUKABUMIUPDATE.com - Laporan dari Polres Sukabumi periode Januari-Juli 2025 melukiskan gambaran yang suram. Sebanyak 65 anak telah menjadi korban kekerasan, dan hampir separuhnya, 32 anak, mengalami tragedi kekerasan seksual. Angka ini bukan sekadar statistik; ini adalah 65 masa depan yang terluka, 65 kepercayaan yang dikhianati, sering kali oleh orang-orang terdekat di lingkungan yang seharusnya menjadi paling aman.
Realitas pahit ini diperkuat oleh kasus-kasus tragis seperti yang menimpa seorang anak perempuan berusia 13 tahun di Sukaraja, yang diduga menjadi korban kebejatan ayah tirinya sendiri. Data beberapa tahun terakhir juga menunjukkan tren peningkatan kekerasan terhadap anak perempuan di wilayah Sukabumi. Ini adalah darurat senyap yang terjadi di balik pintu-pintu rumah, di lorong-lorong yang seharusnya ramah anak.
Namun, di tengah realitas kelam inilah sebuah paradoks besar muncul. Pada Jumat, 8 Agustus 2025, di sebuah auditorium megah di Jakarta, Bupati Sukabumi Asep Japar dengan bangga menerima penghargaan Kabupaten Layak Anak (KLA) kategori Nindya dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA). Penghargaan ini menandai konsistensi Sukabumi dalam memenuhi standar formal sebagai daerah layak anak.
Baca Juga: Raya Pergi dalam Sunyi: Balita Sukabumi yang Tumbuh di Tanah, Meninggal Digerogoti Cacing
Bagaimana sebuah daerah dengan catatan kasus kekerasan yang signifikan bisa secara konsisten dinobatkan sebagai 'Layak Anak'?
Jawabannya terletak pada kesenjangan antara apa yang tertulis di atas kertas dan apa yang terjadi di lapangan. Penghargaan KLA diukur berdasarkan 24 indikator dalam lima klaster yang mencakup kebijakan, kelembagaan, dan program. Ini adalah pengakuan atas kelengkapan sistem dan komitmen administratif pemerintah daerah. Pemkab Sukabumi, secara formal, telah berhasil membangun kerangka kerja yang dibutuhkan.
Masalahnya, kerangka kerja tersebut belum sepenuhnya efektif meresap ke akar rumput. Implementasi di lapangan menghadapi tantangan berat: dari kompleksitas penanganan kasus yang melibatkan korban anak, hingga faktor budaya di mana kekerasan sering dianggap aib keluarga dan diselesaikan secara non-hukum. Sistem yang tampak sempurna di atas kertas menjadi rapuh saat dihadapkan pada realitas sosial yang kompleks.
Oleh karena itu, penghargaan KLA Nindya 2025 seharusnya tidak dipandang sebagai sebuah perayaan kemenangan, melainkan sebagai sebuah mandat dan tanggung jawab yang lebih berat. Piagam ini bukanlah garis finis, melainkan pengingat keras bahwa semua sistem dan kebijakan yang telah dibangun harus diuji efektivitasnya dengan satu ukuran: menurunnya angka kekerasan anak.
Keberhasilan sejati bukanlah saat piagam diterima, tetapi saat setiap anak di Sukabumi bisa hidup tanpa rasa takut, baik di rumah maupun di lingkungannya.
Pemerintah Kabupaten Sukabumi kini memegang pengakuan formal di satu tangan, dan jeritan sunyi anak-anaknya di tangan yang lain. Saatnya mengubah predikat Nindya menjadi perlindungan nyata, memastikan tidak ada lagi anak yang menjadi korban di tanah yang bergelar "Layak Anak".
Penulis: Danang Hamid