SUKABUMIUPDATE.com - Meskipun bukan kawasan industri, Kecamatan Parungkuda dikenal sebagai wilayah dengan konsentrasi pabrik yang cukup tinggi di Kabupaten Sukabumi. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, geliat industrinya mengalami penurunan signifikan.
Kondisi ini diduga merupakan dampak berkepanjangan dari pandemi COVID-19 yang menghantam sektor industri, khususnya perusahaan padat karya seperti garmen.
“Sebetulnya bukan saat ini saja lesu, titik poinnya pasca-COVID. Jadi ketika saya masuk ke sini setahun terakhir, kondisinya memang sudah seperti ini,” ungkap Camat Parungkuda, Kurnia Lismana, kepada sukabumiupdate.com, Selasa (27/5/2025).
Kurnia menjelaskan, salah satu penyebab utama penurunan aktivitas industri adalah dominasi perusahaan padat karya, khususnya sektor garmen, yang sangat bergantung pada ekspor. “Kita tahu sendiri, perusahaan garmen akibat COVID itu semua melesu karena tergantung permintaan dari luar negeri. Ketika permintaan menurun, otomatis terjadi pengurangan pegawai dan penyesuaian produksi,” terangnya.
Baca Juga: 50 Ha Sawah di Jampangtengah Sukabumi Krisis Air, Petani Rugi hingga 100 Ton per Musim
Kurnia juga menyebut faktor lain seperti besarnya standar upah minimum regional di Sukabumi yang dipengaruhi kedekatan wilayah dengan Jabodetabek. Hal ini mendorong sejumlah pengusaha besar untuk memindahkan usahanya ke daerah lain yang memiliki biaya operasional lebih rendah.
“Sekarang perusahaan-perusahaan padat karya mulai bergeser ke Cianjur atau wilayah timur Pulau Jawa. Di Parungkuda sendiri, perusahaan besar seperti garmen sekarang rata-rata hanya memiliki kurang dari 500 karyawan. Yang bertahan di atas 1000 mungkin hanya tinggal PT Doosan Jaya,” katanya.
Sementara itu, sambung Kurnia, perusahaan non-garmen seperti farmasi dan plastik juga mengalami efisiensi tenaga kerja karena penggunaan mesin otomatis. “Ada yang hanya puluhan pekerja, bahkan di bawah 50 orang, karena mesin yang bekerja,” tuturnya.
Meski tidak semua perusahaan dikatakan kolaps, namun penurunan skala operasional dan pengurangan tenaga kerja berdampak nyata terhadap ekonomi lokal. “Sedikit banyak pasti berdampak. Ini sudah berlangsung tiga sampai empat tahun terakhir, sejak pasca-COVID semua merangkak dari nol,” ucap Kurnia.
Dari data kecamatan, Kurnia mengungkapkan saat ini terdapat sekitar 15 perusahaan besar sektor garmen di Parungkuda. Selain itu, terdapat juga sejumlah perusahaan obat dan konveksi berskala menengah yang masih beroperasi.
Terkait langkah pemerintah kecamatan, Kurnia mengakui peran pihaknya lebih pada dukungan dan fasilitasi. “Kita tidak bisa terlalu banyak intervensi, hanya bisa memberi suporting. Apa yang bisa dijaga untuk mempertahankan investasi, akan kita lakukan,” ujarnya.
Baca Juga: UPTD PU Cibadak Sukabumi Dukung Sektor Pertanian Lewat Pemeliharaan Irigasi Cialing
Lebih lanjut, Kurnia mengatakan, bahwa salah satu bentuk dukungan nyata saat ini adalah mendorong investasi baru di bidang makanan dan minuman. “Ada rencana perusahaan food and beverage yang kalau jadi bisa menyerap hingga ribuan tenaga kerja. Tapi masih terkendala soal lahan tanah kas desa dan lainnya. Kita suport semaksimal mungkin,” katanya.
Namun, ia juga mengakui bahwa kondisi geografis Parungkuda menjadi tantangan tersendiri bagi pengembangan kawasan industri baru. “Topografinya di sini tidak memungkinkan. Banyak lembah, sungai, gunung. Susah kalau diterapkan sebagai kawasan industri seperti di Cikembar, yang lahannya luas dan datar,” jelasnya.
Di tengah berbagai tantangan itu, Kurnia berharap agar para pelaku usaha bisa terus bertahan dan berinovasi. “Kami berharap para pengusaha bisa lebih survive di bidangnya masing-masing. Tidak banyak yang bisa dilakukan selain bertahan dan menyesuaikan diri dengan kondisi,” pungkasnya.