Rumah Doa dan Izin Beribadah: Mengurai Kusut Intoleransi, Studi Kasus Cidahu Sukabumi

Sukabumiupdate.com
Kamis 31 Jul 2025, 18:13 WIB
Rumah Doa dan Izin Beribadah: Mengurai Kusut Intoleransi, Studi Kasus Cidahu Sukabumi

Ilustrasi. Toleransi tetap jadi tantangan di Indonesia punya beragam keyakinan (Sumber: dok freepik)

SUKABUMIUPDATE.com - Insiden kekerasan berlatar agama di Desa Tangkil Kecamatan Cidahu Kabupaten Sukabumi Jawa Barat, menambah panjang daftar aksi intoleransi di Indonesia. Walaupun pemerintah menyebut ‘salah paham’, faktanya amarah massa ‘terbakar’ oleh kegiatan agama lain; ibadah atau kerohanian rombongan pelajar kristen yang tengah melangsungkan retret libur sekolah di lokasi tersebut.

Kejadian siang usai sholat Jumat 27 Juni 2025 itu memantik perhatian publik. Persekusi massa terhadap rombongan remaja kristen yang tengah menggelar retret di rumah atau villa milik keluarga Maria Veronika Ninna di Kampung Tangkil 04/01 Desa Tangkil Kecamatan Cidahu Kabupaten Sukabumi, bahkan menyedot perhatian dunia.

Sukabumi disorot, rekaman aksi pembubaran paksa kegiatan retret disertai perusakan ini menyebar cepat lewat media sosial. Selain kerusakan, amuk massa ini juga menimbulkan traumatik terhadap remaja kristen peserta retret dan pemilik rumah.

Beberapa jam pasca kejadian seluruh pihak berwenang, mulai dari desa, kecamatan, pemerintah daerah hingga ulama (perwakilan MUI) serta dan hingga kepolisian berupaya menjelaskan bahwa kejadian tersebut bukanlah perusakan rumah ibadah dan bukan aksi intoleransi. Saat itu yang muncul adalah perusakan rumah singgah yang disalahgunakan oleh pemiliknya.

Warga menolak rumah singgah atau villa milik keluarga Maria Veronika Ninna dijadikan tempat ibadah. Hendra Ketua RT setempat menyebut beberapa kali rumah itu menjadi lokasi kegiatan keagamaan

"Rumah ini sudah tiga kali digunakan untuk misa. Pernah suatu waktu ada 23 mobil dan satu bus datang. Kami sudah pernah menegur dan menolak agar tempat ini tidak dijadikan sarana peribadatan," ujarnya kepada sukabumiupdate.com, pada Jumat malam 27 Juni 2025, pasca insiden pembubaran paksa dan perusakan rumah milik Maria Veronika Ninna di Kampung Tangkil.

Hal ini juga diungkap Kepala Desa Tangkil dan Kapolsek Cidahu pasca kejadian. Kepala Desa Tangkil, Ijang Sehabudin menyebut aksi tersebut dipicu oleh pengelolah rumah tidak mengindahkan peringatan warga yang menolak adanya kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh banyak orang di tempat itu.

Ijang menjelaskan bersama Forkompimcam Cidahu, Babinsa, Bhabinkamtibmas, Kapolsek dan MUI Kecamatan Cidahu sebenarnya sudah mencoba mencegah potensi konflik, dengan dengan mendatangi pemilik bangunan. Mereka meminta tidak ada lagi kegiatan keagamaan di bangunan villa tersebut.

Menurut Ijang, kedatangan mereka karena adanya desakan warga yang keberatan (menolak) rumah tersebut sering ada ibadah kebaktian umat Kristen tanpa izin. Keluhan tersebut disampaikan warga kepada Ijang sejak April 2025.

“Warga mempertanyakan legalitas rumah singgah atau tempat tinggal. Tapi kenyataannya digunakan untuk ibadah,” ucap Kades Ijang saat itu.

Baca Juga: Jerat Gelap di Asia Tenggara: Sukabumi dalam Pusaran Perdagangan Manusia

Upaya meredam dan pencegahan gagal karena warga tersulut emosi dari rekaman video yang beredar sejak Jumat pagi, 27 Juni 2025. Dimana dalam terlihat kumpulan remaja yang menginap di rumah singgah milik keluarga Maria Veronica Ninna melakukan kegiatan keagamaan ibadah bernyanyi lagu kerohanian.

Video tersebut dianggap sebagai bukti jika rumah itu disalahgunakan oleh pemilik dan pengelolanya. “Kami sudah minta agar pemilik rumah tidak lagi mengadakan kegiatan di sana. Tapi mungkin karena keresahan warga sudah memuncak aksi ini akhirnya tidak bisa dihindari,” tuturnya.

Peristiwa pengrusakan terjadi Jumat siang sekitar pukul 13.15 WIB. Emosi warga tak terbendung. Petang sekitar pukul 15.30 WIB massa akhirnya bubar setelah mendengar penjelasan dari Forkompimcam, khususnya Kapolsek Cidahu, AKP Endang Slamet dan Kades Tangkil, dan rumah tersebut dipasangi police line.

Bukan Konflik Agama Apakah Cukup Ganti Rugi?

Rekaman aksi pembubaran paksa rombongan remaja kristen yang tengah menggelar retret termasuk perusakan rumah dan fasilitas lainnya di lokasi tersebut viral, dengan beragam narasi, tone yang paling menonjol adalah konflik agama dan intoleransi.

Untuk meredam situasi setelah mendapat banyak kecaman, jajaran pemerintah daerah, tokoh masyarakat, termasuk ulama, terutama aparat keamanan, langsung melakukan klarifikasi. Narasi salah paham dan bukan konflik agama ditegaskan banyak pihak untuk menjelaskan latar dari peristiwa tersebut.

Kepada awak media, usai kejadian Kapolsek Cidahu, AKP Endang Slamet, menyampaikan bahwa klarifikasi ini penting untuk menghindari salah paham dan menjaga kondusifitas lingkungan. "Tujuan utama kami adalah memastikan rumah singgah ini digunakan sesuai peruntukannya. Jangan sampai dijadikan tempat ibadah karena bisa menimbulkan kegaduhan di masyarakat," tegasnya, Jumat pasca kejadian, .

Menurut Endang pengelola rumah singgah, yakni saudara Wedi (adik pemilik rumah), sudah menyatakan komitmennya untuk tidak lagi mengadakan kegiatan ibadah di tempat tersebut. Dan akan selalu berkoordinasi dengan lingkungan serta pemerintah setempat bila ingin melakukan kegiatan apa pun.

Menurut Endang hal itu diperkuat dengan surat himbauan tertulis dari MUI Kecamatan Cidahu, agar tidak terjadi penyalahgunaan fungsi bangunan. "Situasi seperti ini sangat sensitif. Maka kami pastikan semua pihak bersinergi agar lingkungan tetap aman dan kondusif," pungkasnya saat itu.

Keesokan harinya, pemerintah kecamatan Cidahu juga mengeluarkan pernyataan bahwa situasi di tangkil pasca insiden tersebut sudah kondusif, dan berbagai pihak memastikan penanganan masalah tidak dibiarkan berlarut.

Kepala Seksi Trantib Satpol PP Kecamatan Cidahu Heppy Supriadi Supardi menegaskan rumah singgah di Kampung Tangkil RT 04/01 itu memang tidak memiliki izin untuk difungsikan sebagai tempat ibadah. “Dalam berita acara klarifikasi yang kami susun bersama unsur Forkompimcam, MUI, dan tokoh masyarakat, pengelola rumah diminta menghentikan seluruh aktivitas yang tidak sesuai dengan izin peruntukannya,” kata Heppy Sabtu, 28 Juni 2025.

Baca Juga: Catatan dan Kritik 100 Hari Kerja Ayep Zaki-Bobby Maulana Pimpin Kota Sukabumi

Kepada sukabumiupdate.com, Heppy menyebut warga tangkil siap memperbaiki bangunan dan fasilitas rumah yang rusak sebagai ganti rugi atas peristiwa tersebut. “Surat teguran akan tetap dilayangkan, namun kami mengapresiasi warga yang menunjukkan itikad baik dan bersedia mengganti kerugian atas kerusakan yang terjadi. Intinya, rumah ini dikembalikan fungsinya sebagai tempat tinggal, bukan tempat ibadah,” tegasnya.

Di lokasi yang sama, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kabupaten Sukabumi Tri Romadhono menyatakan bahwa pemda telah berkoordinasi dengan Forkopimcam Cidahu dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dalam menangani persoalan tersebut.

“Insiden ini terjadi karena reaksi spontan warga atas rumah tinggal yang digunakan sebagai tempat ibadah tanpa izin resmi. Ini bukan gereja, dan bukan pula tempat ibadah resmi. Ini rumah tinggal yang dipakai untuk kegiatan keagamaan secara tidak semestinya,” ujar dia.

Sebagai langkah penyelesaian, warga telah menyatakan kesediaannya mengganti kerugian dan membuat surat pernyataan bersama untuk menjaga kondusifitas wilayah. “Ini menjadi pelajaran penting bagi semua pihak agar kejadian serupa tidak terulang. Warga Cidahu juga telah sepakat untuk menjaga suasana damai dan rukun,” ujar Tri.

Dalam kesempatan itu, Tri juga berupaya meluruskan informasi yang beredar. “Itu tidak Yang terjadi bukan perusakan gereja, melainkan rumah tinggal yang difungsikan tidak sesuai. Ini perlu klarifikasi agar tidak menimbulkan salah paham lebih luas,” kata dia.

Soal Izin Picu Salah Paham

Senin 30 Juni 2025, pemda bersama Polri TNI, ulama, FKUB dan unsur lainnya termasuk perwakilan gereja kristen menggelar pertemuan, membahas peristiwa kekerasan jumat siang di Tangkil Cidahu. Sekretaris MUI Kabupaten Sukabumi Ujang Hamdun menegaskan situasi saat ini telah kondusif. "MUI bertugas merespons persoalan keumatan. Alhamdulillah kondisi aman dan damai. Saya tegaskan bukan tempat ibadah, hanya rumah warga," kata dia kepada wartawan saat itu.

Salah paham kembali ditegaskan sebagai pemicu insiden. Ujang menjelaskan kejadian itu dipicu kesalahpahaman karena bertepatan dengan peringatan Tahun Baru Islam, 1 Muharram 1447 H. "Saat itu bertepatan peringatan Muharram, sehingga terjadi miskomunikasi.”

Dalam kesempatan yang sama, perwakilan FKUB Kabupaten Sukabumi Pendeta Beresan Bagaring ikut meluruskan informasi yang beredar. Ia menegaskan tidak ada gereja yang dirusak. "Muncul dugaan lokasi tersebut merupakan tempat ibadah. Padahal hanya vila milik warga dan memang ada kekurangan dalam komunikasi dengan pemilik tempat," kata dia.

Pendeta Beresan juga menegaskan kegiatan yang dilaksanakan bukan ibadah, melainkan pembinaan karakter dan edukasi bagi anak-anak. "Itu bukan ibadah. Terjadi salah pengertian saja. Kami sudah berkoordinasi dengan camat, kepala desa, hingga RT setempat, dan semua berjalan baik. Sebagai pendeta, saya anggap persoalan ini sudah selesai dan ada hikmah yang bisa dipetik dari kejadian ini," tegasnya.

Ia berharap ke depannya aktivitas serupa tetap bisa dilakukan dengan komunikasi yang lebih baik agar tidak terjadi kesalahpahaman. "Kebetulan saja kemarin liburan anak-anak, ada semacam piknik, retret bersama, edukasi pembinaan, jadi itu yang dibuat di sana. Supaya clear bahwa ini murni pembinaan anak-anak," lanjutnya.

Baca Juga: Harapan Penyintas dan PR Pemerintah dalam Penanganan Pascabencana Sukabumi

Untuk urusan ganti rugi, dihari yang sama Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menegaskan membantu perbaikan rumah dengan dana Rp 100 juta, diumumkannya saat mengunjungi lokasi. "Kerugian tidak boleh membebani warga, maka kerusakannya saya ganti, saya siapkan Rp 100 juta untuk memperbaiki. Tapi saya memberikan saran, ke depan agar bangunannya disesuaikan dengan konstruksi lingkungan," kata dia di tempat.

Pria yang akrab dipanggil KDM ini menegaskan penanganan kasus hukum sepenuhnya diserahkan kepada aparat. Ia berharap bantuan renovasi dapat menjadi bagian dari upaya memulihkan keharmonisan masyarakat.

"Kalau ada pelanggaran hukum, biarkan aparat yang bekerja berdasarkan profesionalisme dan alat bukti," ujarnya.

Polisi Tetapkan Para Tersangka

Kapolres Sukabumi AKBP Samian mengatakan pemilik rumah membuat laporan dan langsung ditangani pasca kejadian perusakan dan pembubaran paksa. Berselang hari polisi tetapkan para tersangka atas kasus tersebut.

“Setelah peristiwa, kami bergerak cepat. Tim melakukan olah tempat kejadian, mengamankan lokasi, dan mengantar warga guna mencegah konflik berkelanjutan,” kata Samian kepada wartawan saat meninjau lokasi Rabu 2 Juli 2025.

Ia menjelaskan bahwa proses penanganan dilakukan bersama Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Jawa Barat. “Ini murni tindak pidana perusakan. Kami bergerak cepat agar semua pihak mendapatkan rasa keadilan dan menjadi pembelajaran bagi masyarakat,” ujarnya.

Hingga akhir Juli 2025, proses hukum kasus ini masih berlangsung. Polres Sukabumi sudah melimpahkan berkas 8 tersangka yang ditahan ke pihak kejaksaan. Kedelapan tersangka ini adalah YY , RN, UE, EM, MD, MS M, H, dan E, semuanya adalah warga setempat.

Para tersangka ini ditahan dan mereka bakal dijerat dengan Pasal 170 KUHP tentang perusakan secara bersama-sama dan Pasal 406 KUHP tentang perusakan barang.

Dalam kesempatan itu, AKBP Samian juga menegaskan tentang pentingnya klarifikasi terhadap suatu informasi sebelum bertindak, guna mencegah kesalahpahaman di masyarakat. “Jika ada hal-hal yang menimbulkan pertanyaan, lebih baik dikomunikasikan terlebih dahulu kepada pihak berwenang agar tidak menimbulkan mispersepsi,” tambahnya.

Proses hukum atas kasus ini masih berlangsung dan tidak terpengaruh polemik ‘tambahan’ dari usulan penangguhan tahanan yang sempat diucapkan staf khusus Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) RI, Thomas Suwarta. Statement yang menimbulkan kegaduhan baru itu langsung ‘diluruskan’ oleh Menteri, Natalius Pigai menyebut apa yang diusulkan itu merupakan statement spontanitas bukan sikap resmi KemenHAM.

Baca Juga: Sukabumi dalam Lingkaran Setan Judi Online

Ia bahkan menegaskan tidak akan menindaklanjuti usulan tersebut, “Sebagai Menteri HAM saya tidak akan menindaklanjuti usulan spontanitas Thomas Suwarta karena itu mencederai perasaan ketidakadilan bagi pihak korban,” kata Pigai Sabtu, 5 Juli 2025. Pigai juga menegaskan tindakan yang bertentangan dengan hukum merupakan perbuatan individu atau personal yang juga tidak sesuai dengan ideologi bangsa.

Konsekuensi Hukum dari Aksi Intoleransi di Indonesia

Upaya menyelesaikan kasus intoleransi di Cidahu Kabupaten Sukabumi lewat jalur non hukum juga diupayakan keluarga tersangka, khususnya para istri. Mereka menemui Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi di Lembur Pakuan, 5 Juli 2025. Didampingi ketua RT, Kepala Desa serta pengacara korban, berharap Dedi Mulyadi membantu membebaskan tersangka dari jerat hukum yang kini sedang berjalan.

Kepada mereka, Gubernur Dedi Mulyadi menegaskan tidak bisa melakukan intervensi hukum. Menurutnya sebagai orang nomor satu di Jawa Barat, pria yang akrab disapa KDM itu harus berdiri diatas semua golongan.

Gubernur menegaskan bahwa yang berhak untuk membantu menyelesaikan kasus tersebut sampai selesai adalah pihak pengacara para dari tersangka. Dedi Mulyadi menjelaskan bahwa pihaknya lebih melihat masalah tersebut dari sisi sosial, termasuk memperhatikan nasib istri yang harus ditinggalkan oleh suaminya karena menjadi tersangka dalam kasus ini.

Pria yang akrab disapa Bapa Aing dan KDM ini mengatakan bahwa dia akan membantu keluarga para tersangka dari sisi sosial agar bisa meringankan masalah keluarga yang ditinggalkan. Akan tetapi, untuk masalah hukum ia tidak bisa ikut campur lebih jauh karena sudah ada pihak yang berwenang untuk memutuskan masalah tersebut.

Merajut Lagi Toleransi yang Remuk

Kejadian Jumat 27 Juni 2025, membuat suasana pemukiman sekitar lokasi perusakan terasa canggung. Merajut kembali suasana hangat rukun tetangga di lokasi tersebut tentu tidak bisa instan.

Lebih dari dua pekan pasca insiden perusakan rumah singgah di Desa Tangkil, Kecamatan Cidahu, pemerintah daerah, bersama DPRD, tokoh agama, masyarakat dan aparat penegak hukum kembali meninjau suasana di kawasan tersebut, memantau kegiatan ibadah, pendidikan, dan sosial kemasyarakatan.

Anggota DPRD Kabupaten Sukabumi, Deni Gunawan, yang hadir di lokasi menyampaikan apresiasi kepada jajaran kepolisian yang mengedepankan proses hukum dalam menangani insiden perusakan. “Saya, Deni Gunawan, Anggota DPRD Kabupaten Sukabumi sekaligus putra daerah yang terpilih dari wilayah ini, mengucapkan terima kasih kepada Bapak Kapolres yang telah mengedepankan proses hukum atas kejadian di Desa Tangkil,” ujarnya.

Deni juga memastikan bahwa rumah singgah atau vila yang sempat dirusak kini sudah kembali beroperasi secara normal, dan kehidupan masyarakat Desa Tangkil tetap berjalan dengan semangat toleransi. “Kami bersama-sama hari ini memastikan bahwa tempat singgah ini beroperasi secara normal. Kehidupan masyarakat, termasuk dalam hal toleransi beragama, tetap terjaga seperti yang telah dirasakan sejak dulu. Mudah-mudahan ini menjadi pelajaran yang tidak perlu terulang kembali,” katanya.

Ia berharap kondusifitas yang telah tercipta saat ini dapat terus dipelihara oleh semua pihak. Pernyataan senada datang dari Kepala Badan Kesbangpol Kabupaten Sukabumi, Tri Romadhono. Ia menegaskan bahwa kehidupan antarwarga di Desa Tangkil sudah kembali normal dan harmonis.

Baca Juga: Asam Manis Efisiensi APBD Sukabumi

“Silakan rumah singgah digunakan sebagaimana mestinya. Mari kita sama-sama jaga kerukunan dan kondusifitas wilayah,” katanya.

Kapolres Sukabumi AKBP Samian memastikan tidak ada penutupan atau larangan terhadap rumah singgah tersebut. Semua aktivitas berjalan sesuai fungsi, dan tidak ada ancaman terhadap ketertiban umum.

“Kondisi sudah aman, masyarakat sudah kembali beraktivitas. Anak-anak belajar dengan baik, warga bisa bekerja dan beribadah seperti biasa. Rumah singgah juga sudah diperbaiki secara sukarela oleh masyarakat dan tokoh sekitar,” tutur Samian.

Jongki, penjaga vila yang juga menjadi saksi sekaligus korban peristiwa, menyampaikan apresiasinya. Ia bersyukur suasana kembali kondusif dan hubungan sosial dengan warga sekitar tetap terjaga.

“Sejak Senin lalu kami sudah beraktivitas seperti biasa. Anak-anak sudah sekolah, warga pun masih bertegur sapa. Saya merasa aman. Tempat ini adalah rumah singgah, bukan rumah ibadah, dan itu sudah diklarifikasi,” ucap Jongki.

Ia juga menyampaikan terima kasih atas keterlibatan berbagai unsur yang membantu perbaikan, mulai dari aparat, tokoh masyarakat, hingga para pemuda desa.

Ketua MUI Kecamatan Cidahu, Ismail, menyampaikan bahwa para ulama dan tokoh lintas agama telah berkumpul dan berdiskusi untuk meredam ketegangan. Menurutnya, insiden tersebut harus menjadi pelajaran agar semua pihak lebih bijak menyikapi perbedaan.

“Beberapa malam lalu kami ngopi bareng di kantor MUI dengan tokoh lintas agama. Hubungan kami baik. Ini bukan soal agama, tapi soal kesalahpahaman,” ujarnya.

Senada, David perwakilan FKUB Kabupaten Sukabumi menegaskan insiden tersebut bukan cerminan relasi antar umat beragama. “Secara umum hubungan umat beragama di Kabupaten Sukabumi baik. Kami bisa beribadah dengan bebas dan nyaman. Insiden ini hanya potret salah paham yang tidak boleh terulang,” katanya.

Regulasi Harusnya Menjaga Toleransi

Aturan yang pemerintah yang selama ini menjadi pijakan hukum soal toleransi beragama di Indonesia dianggap sudah tak mampu menjadi penjaga perdamaian. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan pembubaran retret pelajar Kristen di Cidahu, Kabupaten Sukabumi, merupakan pelanggaran atas hak asasi manusia.

Baca Juga: Generasi Muda Sukabumi yang Terkunci Darah dan Senjata

Dilansir dari tempo.co, laporan komisi menyatakan dalam insiden itu para peserta retret mengalami intimidasi, pengusiran secara paksa, perusakan kendaraan, serta perusakan fasilitas tempat tinggal. “Oleh karena itu kami meminta aparat kepolisian untuk melaksanakan proses hukum secara profesional, transparan, akuntabel, dan berkeadilan, terutama bagi para korban,” ujar Koordinator Subkomisi Penegakan HAM Pramono Ubaid Tantowi melalui keterangan pers pada Jumat, 11 Juli 2025.

Pramono mengatakan tindakan persekusi yang dilakukan warga itu tidak hanya melukai nilai-nilai toleransi yang dijamin oleh konstitusi, tetapi juga menciptakan rasa takut dan trauma. Apalagi, peserta retret tersebut kebanyakan masih berstatus remaja.

Oleh karena itu, Komnas HAM meminta agar polisi memberikan perlindungan kepada pada korban agar mereka dapat melanjutkan kehidupan dengan aman dan nyaman seperti sebelum insiden persekusi itu terjadi.

Selain itu, Komnas HAM juga mendorong Menteri Agama Nasaruddin Umar untuk memastikan implementasi jaminan konstitusional atas kebebasan beragama dan berkeyakinan di seluruh Indonesia. Mereka mendesak agar Kementerian Agama segera menyusun kebijakan afirmatif untuk mencegah tindakan intoleran dan diskriminatif di ruang publik maupun privat.

Menurut Komnas HAM, setiap warga negara, tanpa kecuali, berhak menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya, serta hak atas kebebasan berkumpul, selama dilakukan secara damai dan tidak melanggar hukum. “Komnas HAM akan terus mengawal proses hukum dan pemulihan bagi para korban, serta mendorong penyelesaian secara adil dan bermartabat.”

Masih dari tempo.co, JISRA Indonesia yang terdiri dari sejumlah organisasi non-pemerintah pegiat kebebasan dan toleransi bergama, seperti Imparsial, Focal Point JISRA Indonesia, PeaceGeneration Indonesia, AMAN Indonesia, Yayasan Fahmina, Institut Mosintuwu, Jaringan GUSDURian, Nasyiatul Aisyiyah, dan Interfidei, menyayangkan masih ada warga yang merasa terganggu dengan kegiatan agama lain.

Koordinator Divisi Riset dan Publikasi Jaringan GUSDURian, Heru Prasetia, mengatakan peristiwa intoleransi telah mencederai semangat Pancasila, dan merusak makna hidup dan kehidupan bersama kita, hingga merusak makna kebhinekaan sebagai pemersatu bangsa Indonesia. Ia mengatakan kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan bagian dari hak asasi manusia, dan dijamin keberadaannya melalui Undang-Undang Dasar 1945.

“Peristiwa tersebut mengindikasikan bahwa sebagian masyarakat kita masih memiliki sikap yang intoleran terhadap perbedaan agama/kepercayaan,” kata Heru dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 2 Juli 2025.

Sementara itu, Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra mengatakan pembiaran yang diperlihatkan oleh pemerintah dan penegak hukum semakin menegaskan bahwa mereka tidak berdaya dan tunduk kepada kelompok-kelompok intoleran.

“Sikap Pemerintah semacam ini merupakan penyebab utama terjadinya pengulangan pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia, khususnya Provinsi Jawa Barat yang sering menempati posisi sebagai provinsi dengan tingkat toleransi yang rendah,” katanya.

Ardi mengatakan penegak hukum yang tidak responsif dalam menindak kejadian seperti ini telah memberikan sinyal bahwa pemerintah tidak berdaya di hadapan kelompok-kelompok intoleran. Padahal, kata Ardi, sikap toleransi seharusnya diajarkan sejak dini dengan meruntuhkan segala prasangka yang tidak berdasar terhadap kelompok agama lain atau yang memiliki keyakinan atay kepercayaan yang berbeda.

Junaidi Simun, perwakilan dari JISRA Indonesia, mengatakan umumnya sikap intoleransi hadir karena prasangka atau tuduhan bahwa kelompok yang berbeda sedang melakukan kegiatan yang merugikan kelompok agama lain, seperti tuduhan sedang melakukan kristenisasi atau lain sebagainya.

Baca Juga: Di Balik Kisah Juragan Tempe Jadi Walikota Sukabumi

“Pada tahap ini, dialog antar-agama atau keyakinan dapat menjadi jembatan terhadap prasangka tersebut,” kata Junaidi.

Atas kejadian di Cidahu Kabupaten Sukabumi, JISRA Indonesia meminta secara terbuka kepada Pemerintah khususnya Provinsi Jawa Barat untuk memberi perlindungan bagi setiap warga dalam setiap aktivitas peribadatan sesuai dengan agama atau kepercayaan yang diyakini setiap warga negara.

Untuk mencegah tindakan intoleransi serupa, Junaidi memandang negara perlu terlibat aktif dalam promosi toleransi. Salah satu langkah adalah mengadakan pendidikan untuk mengelola dan memaknai perbedaan di kalangan pemuka agama, tokoh masyarakat, guru dan akademisi, dan orang muda, terutama di tingkat akar rumput.

Izin Rumah untuk Berdoa

Pemerintah melalui Kementerian Agama Republik Indonesia merespon peristiwa ini dengan menyiapkan regulasi khusus yang mengatur keberadaan dan tata kelola rumah doa. Kemenag berharap regulasi ini bisa menjadi panduan bersama agar peristiwa seperti yang terjadi di Desa Tangkil, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat tidak terulang.

Dari website resmi kementerian Rabu 2 Juli 2025, Kemenag memandang perlu menerbitkan regulasi karena selama ini belum ada pengaturan eksplisit mengenai rumah doa dalam Peraturan Bersama Menteri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006. PBM menjadi rujukan pendirian rumah ibadat di Indonesia. Dalam PBM tersebut, hanya disebutkan tempat ibadah seperti masjid, gereja, pura, vihara, dan klenteng, namun tidak mencakup rumah doa yang bersifat privat atau digunakan terbatas.

Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kemenag Muhammad Adib Abdushomad menyatakan istilah "rumah doa" banyak digunakan di masyarakat—terutama di kalangan denominasi tertentu umat Kristen. Sementara regulasi yang mengaturnya belum ada. Hal ini berpotensi menimbulkan gesekan di lapangan jika tidak segera diberi kepastian hukum.

“Rumah doa dalam praktiknya kerap digunakan sebagai ruang ibadah, namun tidak memiliki payung hukum yang jelas. Ini menimbulkan dilema: di satu sisi merupakan ekspresi keagamaan yang dijamin oleh konstitusi, namun di sisi lain karena wilayah internum beribadah tersebut “ekpresinya bersinggungan” dan berdampak di ruang publik (wilayah eksternum). Maka memang harus ada kearifan dalam pelaksanaannya dan memang jenis rumah doa ini belum memiliki prosedur formal yang bisa dijadikan acuan,” jelas Gus Adib, panggilan akrab Kepala PKUB di Jakarta, Selasa, 1 Juli 2025.

Menurutnya, PKUB Kemenag telah melakukan dua kali Focus Group Discussion (FGD) bersama para pemangku kepentingan lintas agama, termasuk dari unsur MUI, PGI, KWI, PHDI, PERMABUDHI, dan MATAKIN, untuk mendalami istilah rumah doa. Hasil FGD mengonfirmasi bahwa istilah tersebut tidak seragam penggunaannya, dan banyak digunakan oleh Gereja-Gereja Pentakostal dan Injili. Istilah itu jarang digunakan pada masyarakat Katolik dan denomisasi Kristen seperti Lutheran dan Calvinis.

“Karena itulah kami sedang menyusun kerangka regulasi khusus rumah doa, agar keberadaannya mendapat perlindungan hukum sekaligus tidak menimbulkan salah paham di tengah masyarakat,” ujarnya.

Baca Juga: Pelajaran dari Tabungan Lebaran Fiktif: Saat Kepercayaan Tanpa Legalitas Menjadi Bumerang

Gus Adib menilai insiden di Sukabumi menunjukkan urgensi regulasi ini. Berdasarkan laporan kronologi, rumah tinggal yang sebelumnya berfungsi sebagai tempat produksi jagung dan peternakan ayam tersebut sejak April 2025 mulai digunakan untuk ibadah. Meski Ketua RT dan masyarakat sempat menyampaikan keberatan secara persuasif, kegiatan keagamaan tetap dilaksanakan, termasuk kedatangan rombongan besar dengan berbagai moda tansportasi yang tentu menggangu ruang publik. Ketegangan meningkat dan berujung pada aksi perusakan.

“Kami menyesalkan terjadinya kekerasan dalam bentuk apa pun atas nama keberatan keagamaan. Regulasi ini justru disiapkan agar setiap persoalan bisa diselesaikan dalam koridor hukum dan dialog, bukan reaksi spontan yang merusak kerukunan,” tegas Kepala PKUB.

Aturan tentang rumah doa yang sedang digodok akan mengatur beberapa hal mendasar, termasuk definisi, klasifikasi, prosedur pelaporan, mekanisme mediasi, dan hubungan rumah doa dengan lingkungan sekitar. Diharapkan regulasi ini bisa menjadi solusi di tengah dinamika masyarakat yang semakin majemuk secara keagamaan.

Kemenag bersama instansi terkait juga akan memperkuat pendekatan kolaboratif antara pemerintah pusat dan daerah serta mendorong peran aktif Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dalam menangani kasus-kasus sensitif berbasis keyakinan.

“Indonesia memerlukan tata kelola rumah ibadah yang tidak hanya berbasis administrasi, tetapi juga berakar pada semangat kebersamaan, musyawarah, dan semangat toleransi,” jelas Gus Adib, alumni Flinders University Australia yang sangat aktif menebarkan seruan damai dan pentingnya kebersamaan.

Editor :
Berita Terkait
Berita Terkini