Jerat Gelap di Asia Tenggara: Sukabumi dalam Pusaran Perdagangan Manusia

Sukabumiupdate.com
Rabu 25 Jun 2025, 10:47 WIB
Jerat Gelap di Asia Tenggara: Sukabumi dalam Pusaran Perdagangan Manusia

Ilustrasi kasus TPPO di Sukabumi. | Foto: SU/Matar

SUKABUMIUPDATE.com - Sukabumi menjadi salah satu target market jaringan gelap Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang berkembang di Asia Tenggara. Korban, sebagian besar dengan ekonomi lemah, dijebak dengan iming-iming pekerjaan bergaji tinggi di luar negeri.

Namun, di balik janji itu tersembunyi kenyataan pahit. Korban yang tergiur diangkut ke negara seperti Myanmar dan Kamboja, dijadikan operator penipuan dan judi daring dengan durasi kerja belasan jam sehari, tanpa hak-hak dasar, dan komunikasi dengan keluarga penuh keterbatasan.

Bagi sebagian korban, neraka ini menjadi tempat mengembuskan napas terakhir, termasuk warga Sukabumi. Tragisnya, jenazah tidak dapat dipulangkan karena keluarga tak mampu menanggung biaya. Mereka yang selamat, juga membawa luka, baik fisik maupun mental.

Kesaksian para korban mengungkap kondisi tempat tinggal yang sempit, makanan jauh dari layak, dan ancaman fisik dari pelaku yang selalu mengintai. Sukabumi, yang dikenal dengan keindahan alamnya, kini memiliki sisi gelap sebagai penyedia korban perbudakan modern.

Kasus-kasus ini tidak bisa dilepaskan dari akar masalah: kemiskinan dan keterbatasan lapangan kerja dalam negeri. Warga yang terdesak kebutuhan ekonomi, melihat peluang di luar negeri sebagai solusi, meski akhirnya menjadi jebakan yang menjerumuskan ke lingkaran eksploitasi.

Sindikat memanfaatkan kelemahan itu untuk merekrut korban dengan janji-janji palsu dan menciptakan rantai kekejaman. Lebih dari sekadar statistik kriminal lintas negara, TPPO adalah ancaman nyata. Kejahatan ini mencerminkan kegagalan sistemik negara melindungi rakyatnya.

Terbang dari Sukabumi

Kamis malam, 6 Maret 2025, tiga pria asal Kecamatan Kebonpedes, Kabupaten Sukabumi, korban TPPO di Myanmar, dipulangkan ke Indonesia melalui Bandara Soekarno-Hatta. Mereka menyusul enam warga lain yang telah lebih dulu kembali ke Sukabumi pada November 2024.

Ketiga laki-laki itu adalah Amirudin, warga Kampung Ranji, Desa Kebonpedes; Asep Muchsin Alatas asal Kampung Bojonggaling, Desa Kebonpedes; dan Dede, dari Kampung Babakan Legok, Desa Jambenenggang. Mereka pulang dibantu Kementerian Luar Negeri (Kemlu RI).

Amirudin, Asep Muchsin Alatas, dan Dede, adalah bagian dari 21 WNI yang dibebaskan dari tangan pasukan bersenjata di wilayah Myawaddy, Myanmar. Selain Sukabumi, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mencatat 21 orang ini berasal dari Bangka Belitung hingga Jakarta.

3 warga sukabumi korban tppo di Myanmar berhasil dipulangkanAmirudin, Asep Muchsin Alatas, dan Dede, tiga warga Kecamatan Kebonpedes, Kabupaten Sukabumi, korban TPPO di Myanmar setelah berhasil dipulangkan. | Foto: Istimewa

Kasus ini terungkap setelah sebuah video viral menampilkan sekelompok orang mengaku korban TPPO di Myanmar, dengan dua di antaranya dikabarkan disekap di ruangan berbeda. Dalam video itu, mereka meminta bantuan pemerintah Indonesia untuk memulangkannya.

Kepada sukabumiupdate.com, salah satu korban, Amirudin (45 tahun), mengaku mendapatkan lowongan kerja ini dari keponakannya yang tinggal satu kampung dan berangkat lebih dulu. Sepengetahuannya, sang keponakan memperoleh informasi dari temannya di Bangka Belitung.

"Mereka (keponakan dan temannya) dulu satu tempat belajar bareng di Sukalarang, Kabupaten Sukabumi. Keponakan saya berangkat menjelang Ramadan 2024. Setelah Idulfitri, saya coba tanya-tanya ke dia, ingin tahu seperti apa pekerjaannya. Namanya juga hidup, pasti ingin lebih baik, lebih layak secara ekonomi," kata dia, Rabu, 11 Juni 2025.

Setelah bertanya, Amirudin menerima penjelasan bahwa pekerjaan di sana adalah sebagai admin cryptocurrency, mirip seperti platform perdagangan daring Binomo di Indonesia. Ketika itu, ia diberi tahu akan bekerja di Thailand, bukan Myanmar. “Saya tertarik, karena menurut keponakan saya tugasnya hanya cari nasabah atau player," ujarnya.

Atas saran keponakannya, Amirudin pun dihubungkan langsung dengan supervisor atau pemilik agensi. “Menurut keponakan saya, yang punya agensinya orang Malaysia keturunan Tionghoa, nama Malaysia-nya adalah Jonathan."

Baca Juga: Ada dari Jabar! 546 Korban TPPO: Modus PMI Nonprosedural, Eksploitasi di Perkebunan hingga Scam

Percakapan awal dilakukan melalui Telegram dalam bahasa Inggris. Amirudin dijanjikan gaji Rp 17 juta per bulan, ditambah bonus 10 ribu bāht. “Saya dijanjikan gaji sekitar 17 juta rupiah (33.884,09 bāht Thailand) per bulan, plus bonus 10 ribu bāht (Rp 4.938.672,00), jadi total bisa dapat 20 jutaan rupiah,” ucap dia.

Dalam obrolan itu, Amirudin bertanya lebih jauh. Ia dijelaskan tugasnya hanya perlu mencari dua player setiap bulan. Merasa tugas tersebut mudah, Amirudin optimistis bisa melampaui target yang diberikan. “Saya pikir, jangankan dua orang, lebih pun saya mampu,” katanya.

Ketertarikannya terhadap tawaran ini bukan tanpa alasan. Ia memiliki minat besar dalam dunia pemasaran, terutama berbasis teknologi. “Saya memang tertarik dengan dunia marketing, apalagi online, customer service online, apalagi dunia IT saya tertarik,” ungkap Amirudin.

Meski tidak memiliki latar belakang pendidikan formal di bidang teknologi informasi, keinginannya untuk belajar di bidang ini sangat besar. “Walaupun saya tidak ada basic di IT, tapi memang di dunia IT ingin lebih banyak yang saya ketahui,” lanjutnya.

Rencana Amirudin untuk bekerja di luar negeri sebenarnya bukan hal baru. Sebelumnya, ia pernah mempertimbangkan bekerja di Malaysia setelah sempat mengunjungi negara tersebut dalam rangka tugas sebagai staf remittance di bidang jasa pengiriman uang.

Tetapi, ketika kesempatan kerja di Malaysia belum pasti, ia memilih mencoba peluang lain di Thailand. “Menurut saya, karena ke Malaysia itu belum tentu dan belum pasti, kenapa tidak kita coba aja pergi ke Thailand bekerja bersama keponakan saya,” katanya.

Dengan keyakinan penuh, Amirudin mengurus kembali paspornya yang sempat hilang. Setelah paspor selesai, ia memutuskan berangkat ke Thailand. Jika situasi tidak sesuai harapan, ia berencana langsung berpindah ke Malaysia. “Kalau tidak jelas, saya bisa langsung ke Malaysia, di pikiran saya seperti itu,” ujarnya.

Ia merasa semakin yakin karena mendapat jaminan dari Jonathan bahwa visa kerjanya akan diurus secara lengkap, dengan opsi untuk pulang jika tidak betah. “Kata si Mister Jonathan itu, saya ke sana akan diuruskan visa juga olehnya. Nah selama dua minggu, kalau tidak betah, saya bisa memutuskan untuk pulang ke Indonesia,” kata Amirudin.

Sayangnya, keputusan itu membawa Amirudin ke situasi yang jauh dari ekspektasinya, menjadi bagian dari kasus TPPO yang kini sedang diusut lebih lanjut.

Setelah mempertimbangkan banyak hal, termasuk keraguan dari keluarga, Amirudin akhirnya memutuskan tetap berangkat. Ia datang seorang diri ke Bandara Soekarno-Hatta pada 13 Mei 2024, untuk terbang menggunakan maskapai Lion Air tujuan Bangkok. Setibanya di bandara, ia bertemu seseorang dari Bandung yang juga diajak teman keponakannya. "Jadi kami berdua berangkat, tapi saya sendiri dari Sukabumi."

Sebelum berangkat, Amirudin mengaku sempat mendapat penolakan dari istrinya. Namun karena niatnya yang kuat untuk memperbaiki keadaan ekonomi keluarga, ia melangkah.

Setibanya di Bangkok, ia melanjutkan perjalanan ke Mae Sot, sebuah kota di Thailand yang terletak di perbatasan Myanmar. Amuridn mengudara ke sana menggukana maskapai domestik, Nok Air. Dari Bandara Mae Sot, ia dijemput menggunakan mobil berpelat Thailand dan diarahkan ke suatu tempat yang belum dikenalinya.

Perjalanan dengan mobil itu menurutnya terasa aneh. “Di tengah perjalanan, mobil tiba-tiba menikung tajam dengan kecepatan tinggi. Durasi perjalanan sekitar 15 menit. Kalau di kita itu seperti melewati Jalan Lingkar Selatan, menikung dengan cepat,” katanya.

Amirudin mulai curiga ketika mobil membelok tajam dan masuk ke permukiman, bahkan menyeberangi sungai dan dikawal tentara berseragam yakni Border Guard Force (BGF). “Ternyata itu bukan Thailand, saya dibawa ke Myanmar,” ungkapnya yang baru mengetahui lokasi sebenarnya beberapa waktu kemudian. “Saya tahu itu Myanmar tanggal 10 Juni 2024."

Amirudin paham banyak orang akan mempertanyakan mengapa ia tidak tahu sejak awal bahwa berada di Myanmar. Ia menjelaskan kedatangannya dilakukan malam hari, berbeda dengan para pekerja lain yang datang pada siang hari sehingga bisa melihat kondisi sekitar lebih jelas. “Saya datang malam, jadi tidak lihat ada bendera atau penanda lain,” jelasnya.

Tempat ia bekerja berada di sebuah kompleks tertutup, seperti perumahan yang dilengkapi kebutuhan seperti sembako dan fasilitas lainnya. Tetapi tempat itu memiliki aturan ketat: semua pekerja dilarang keluar dari kompleks dan dijaga oleh pasukan BGF.

"Di sana saya jarang keluar dan memang tidak terlalu banyak bergaul," ujarnya.

Ia juga menyebut bahwa dirinya adalah yang paling tua di antara para pekerja, sedangkan yang lain kebanyakan masih muda dan sering bermain ke taman atau bersosialisasi.

Amirudin sempat mencoba memastikan lokasinya melalui Google Maps, namun hasilnya tak meyakinkan. “Sinyalnya susah, loading lama, dan yang terbaca pun masih GPS dari Thailand, makanya saya percaya tempat itu masih di wilayah Thailand,” kata dia.

Ia juga mengalami kesulitan berkomunikasi dengan keluarganya karena buruknya sinyal di lokasi tersebut. Aplikasi WhatsApp sulit digunakan, sehingga ia beralih menggunakan Telegram. Namun hal ini menyulitkannya karena kebanyakan orang di Indonesia, termasuk keluarganya, lebih umum menggunakan WhatsApp. “Jadi saya minta istri saya untuk install Telegram supaya bisa komunikasi sama saya,” ungkap Amirudin.

Masuk Jebakan Scam

Amirudin memulai hari pertamanya bekerja pada 14 Mei 2024. Saat itu ia ditugaskan di divisi Human Resources Development (HRD), mengurusi pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM). “Semua orang yang baru datang memang selalu ditaruh dulu di bagian HRD,” ujar dia.

Ia mengungkapkan dari seluruh karyawan yang bekerja di perusahaan tersebut, sekitar 30 persen adalah perempuan, sisanya laki-laki. Namun seiring berjalannya waktu, Amirudin baru menyadari bahwa pekerjaan yang dijalankan di perusahaan itu bukanlah pekerjaan yang wajar.

“Pekerjaan kami di sana itu sebenarnya scammer,” katanya terus terang.

Amirudin menjelaskan, meski tempat kerja tersebut mengaku bergerak di bidang cryptocurrency, kenyataannya yang mereka lakukan adalah menipu dengan kedok crypto palsu.
“Itu crypto ada, tapi bukan crypto asli, scammer. Ada juga yang berperan sebagai tentara padahal aslinya mereka hanya menipu,” tambahnya.

Ia mengatakan peran dirinya dalam skema itu adalah sebagai pencari nomor kontak target. “Tugas saya mencari nomor, pura-pura mencintai korban,” ungkapnya yang menyebut target utamanya adalah orang Indonesia, karena pasarnya memang dari negara asalnya sendiri. Namun ia secara sadar memilih untuk lebih banyak menargetkan orang Malaysia.

“Saya gak enak hati bangsa sendiri saya tipu. Saya tahu saya mencari nomor ini tujuannya akan ditipu. Saya lebih memilih korban kebanyakan dari Malaysia,” katanya.

Amirudin menyebut dia mencari nomor-nomor tersebut melalui platform online shop yang ternyata juga palsu. Skema penipuan ini dijalankan melalui aplikasi bernama Dating Love, di mana para scammer diminta mencari target korban dari media sosial seperti Facebook, Instagram, dan lainnya. Mereka menyamar sebagai wanita dengan memakai identitas selebgram atau karakter menarik lainnya. “Setelah saya dapat calon korban, nomornya saya serahkan ke tim lain,” ujarnya.

Tim lain itu kebanyakan dari warga negara Cina yang fasih berbahasa Melayu atau menggunakan translate. Mereka bertugas melanjutkan proses penipuan dengan membangun hubungan emosional dengan korban. Nantinya, korban diminta menginvestasikan uang melalui aplikasi palsu tersebut. Mereka diyakinkan dengan janji keuntungan atau dijebak dengan perasaan cinta palsu yang dibangun oleh karakter fiktif yang digunakan dalam prosesnya.

“Ada yang bukan tergiur dengan keuntungan, tapi mereka yang merasa sudah dekat dengan karakter yang digunakan untuk menipu,” kata dia.

Baca Juga: 2 dari 11 Korban TPPO Myanmar Asal Sukabumi Masih Tertahan di Thailand

Amirudin membongkar detail mengejutkan di balik skema penipuan yang ia jalani selama bekerja di Myanmar. Ia mengaku dijebak ke dalam praktik penipuan dengan sistem kerja penuh tekanan dan manipulasi.

Dalam kesaksiannya, Amirudin membeberkan bagaimana penipuan ini melibatkan berbagai platform palsu. Salah satunya adalah skema dropship atau affiliate yang memanfaatkan aplikasi daring untuk menipu korban. Para korban dijanjikan keuntungan besar, namun diminta menalangi pembayaran barang terlebih dahulu.

“Misalnya, barang seharga 100 dolar. Korban diminta setor uang lebih dulu sebagai dana talangan. Awalnya mereka diberi withdraw kecil untuk membangun kepercayaan,” ungkapnya. Namun, setelah korban percaya, nilai pesanan yang harus ditalangi meningkat drastis. “Ada korban yang tertipu hingga ratusan juta rupiah,” sambungnya.

Amirudin mengisahkan bahwa setiap pekerja yang baru tiba akan ditempatkan di bagian HRD dengan tugas merekrut orang baru. Jika gagal merekrut, mereka dipindahkan ke proyek scam. Ia sendiri dipindahkan pada 20 Juni 2024 setelah tidak lagi mampu merekrut. “Saat itu saya sudah tidak bisa mendapatkan rekrutan baru. Jadi saya dipindahkan ke proyek scam."

Jam kerjanya pun tidak manusiawi. Ia bekerja dari pukul 07.30 hingga pukul 20.00, bahkan pernah hingga tengah malam tanpa uang lembur. Sistem kerja berbasis target semakin menambah tekanan. Amirudin ditargetkan mendapatkan enam nomor kontak target setiap hari. Meski target tercapai, ia tetap harus bekerja hingga larut jika nomor tersebut tidak menghasilkan.

“Pernah saya selesai dapat enam nomor pada pukul 16.00, tapi tetap harus kerja sampai malam karena nomor-nomor itu tidak menghasilkan apa-apa,” ceritanya.

Amirudin mengaku awalnya percaya bahwa ini pekerjaan legal. Ia bahkan sempat mengajak beberapa orang dari kampung halamannya di Kecamatan Kebonpedes untuk bergabung. Ia berhasil merekrut tiga orang pada akhir Mei 2024. Namun, indikasi mencurigakan mulai muncul. “Kok agak lain, ya? Awalnya kelihatan seperti pekerjaan legal dan nyaman. Tapi makin lama, rasanya ada yang salah,” ujarnya.

Ia mulai menyadari ada pola ganjil dalam perekrutan. Sebagian besar pekerja yang didatangkan dari Indonesia berasal dari Bangka Belitung, dengan latar belakang yang terlihat kurang profesional. “Banyak yang tidak berpendidikan, kurang sopan, bahkan bertato. Itu semakin membuat saya curiga,” kata dia.

Puncaknya terjadi saat perusahaan menerapkan aturan baru bahwa siapa pun yang gagal merekrut orang tidak akan menerima gaji. “Ini sangat mencurigakan. Dari situ saya memutuskan berhenti merekrut dan memperingatkan orang-orang untuk tidak ikut ke sana,” ungkapnya.

Setelah menyadari situasi ini, Amirudin langsung menyetop segala upaya merekrut pekerja baru. Ia bahkan meminta mereka yang sedang mengurus visa atau persyaratan lainnya untuk membatalkan rencana keberangkatan. “Saya bilang setop saja. Kondisinya tidak seperti yang dijanjikan,” tegasnya.

Walaupun tidak pernah mengalami ancaman fisik secara langsung selama bekerja, Amirudin merasa nalurinya benar: tempat itu penuh bahaya. “Saya tidak pernah mengalami apa-apa, tapi saya yakin ini bukan tempat yang aman,” kata dia.

Pada Agustus 2024, Amirudin mulai merasakan adanya riak-riak kegelisahan di antara para pekerja asal Indonesia yang bekerja bersamanya. Ia menyebutkan ada sekelompok orang yang mulai merencanakan untuk pulang. Dua di antaranya adalah Samsul dan Ahmad Junaedi—dua orang yang sebelumnya direkrut langsung oleh Amirudin.

"Mereka sempat mengajak saya untuk ikut minta pulang," ungkap Amirudin. Tetapi ia mengaku ragu dan masih berhati-hati. Ia lalu bertanya kepada mereka, “Mau pulang dengan cara bagaimana? Saya juga sebenarnya sudah curiga ini bukan perusahaan yang benar, tapi bagaimana cara kita pulang? Kita harus hati-hati, jangan gegabah. Alon-alon asal kelakon, jangan grasak-grusuk. Ini kan negara orang, sementara kita belum tahu situasinya seperti apa.” kata Amirudin.

Menurutnya, karena sikap hati-hatinya itu, kelompok tersebut menganggap ia tidak ingin pulang. Akhirnya mereka mengambil keputusan untuk pulang tanpa mengajaknya.

Ketika kelompok itu menyampaikan keinginan mereka untuk pulang dan membuat video permintaan pulang yang kemudian viral di media sosial, pihak perusahaan langsung mengetahui informasi tersebut. "Memang biasanya kalau perusahaan yang terindikasi TPPO seperti ini, mereka suka melakukan penyekapan. Tapi di tempat saya bekerja, para pekerja yang minta pulang itu hanya dipisahkan dari karyawan lain. Takutnya mereka memengaruhi yang lain untuk ikut pulang."

Ia menambahkan bahwa selama dalam masa penyekapan itu, tidak ada penyiksaan fisik. Mereka tetap diberi makan dengan porsi empat kali sehari dan hanya dipisahkan dari pekerja lain.

Singkat cerita, pada awal 2025, Amir memutuskan untuk mencari jalan pulang yang lebih aman dan legal. Ia mengaku pernah menghubungi KBRI di Yangon, Myanmar. Tetapi justru ia diminta untuk membayar denda. "Menurut saya sama aja bohong, toh kalo punya duit mending saya pulang sendiri, melalui company pun bisa kalo harus bayar sendiri." ucap Amir.

Amir menjelaskan bahwa menurut pihak KBRI, ia harus membayar denda sekitar Rp 32 juta. Selain itu, ia harus membayar 35.000 bāht (sekitar Rp 17 juta) untuk biaya perjalanan ke Mae Sot, lalu ongkos sendiri dari Mae Sot ke Bangkok, dan dari Bangkok ke Indonesia pun menggunakan dana pribadi. Bahkan ia harus menunggu penjemputan dari KBRI dalam waktu yang tidak menentu.

“Itu membuat saya makin khawatir. Bagaimana kalau sudah bayar mahal tapi tetap tidak bisa pulang? Kami sudah pesimis di sini,” ungkapnya.

Amirudin akhirnya menghubungi istrinya dan meminta bantuan ke SBMI. Ketika itu SBMI sedang melakukan advokasi dan pergerakan yang ternyata ditanggapi langsung oleh Kemlu RI.

Lalu, pada 2 Februari 2025, Amir tiba-tiba dijemput dari tempat kerjanya. Ia dipanggil oleh pemimpin besar perusahaan dan ditanya alasan mengapa ingin pulang. “Saya jawab memang harus pulang, karena mesti mempertanggungjawabkan orang-orang yang sempat rekrut ke sini, takutnya keluarga mereka di Indonesia tidak suka dengan perekrutan itu,” katanya.

Setelah itu, ia dijemput sekelompok tentara. Amir menduga mereka bukan tentara resmi negara, melainkan kelompok pemberontak yang dikenal sebagai BGF.

Selama satu pekan, Amir ditampung di sebuah gedung yang menurutnya mirip seperti dinas sosial. Ia selanjutnya dipindahkan ke kamp tentara selama sepuluh hari, dan sepekan kemudian tinggal di basement sebuah hotel di Myanmar. "Total, saya menghabiskan satu bulan penuh dengan berpindah-pindah," ujar Amir.

Menjelang Ramadan 2025, ia dipindahkan ke Mae Sot. Satu hari di sana, ia lalu dibawa ke Bangkok. Dari Bangkok, Amir diterbangkan ke Indonesia tepat pada 1 Ramadan 2025. “Waktu itu saya dijemput langsung oleh Pak Judha Nugraha dari Kementerian Luar Negeri,” jelasnya.

Merekrut Orang Dekat

Amirudin mengenang awal mula dirinya terlibat pekerjaan di Myanmar. Ia mengatakan yang pertama kali berangkat dan bekerja di sana bukan dirinya, melainkan keponakannya yang bernama Serian Triana, bersama temannya, Seno Aji, yang juga berasal dari Kampung Ranji Kaler RT 02/08, desa yang sama.

Setelah di sana, Seno Aji mengajak dua orang lain: Angga Nugraha dan Saeful Jamil, yang juga dari RT 02/08 Kampung Ranji Kaler. Saeful Jamil kemudian merekrut Asep, warga Bojonggaling RT 01/02. “Saya sendiri merekrut tiga orang dari Kebonpedes,” kata Amirudin.

Ketiganya adalah Samsul, warga Kampung Ranji Tengah RT 02/09 Desa Kebonpedes; Ahmad Junaedi; dan Dede, yang berasal dari Jambenenggang. Namun, Amir menegaskan Dede ikut karena diajak Ahmad Junaedi. Selain warga Sukabumi, Amirudin juga mengajak dua warga Bogor untuk bekerja di tempat yang sama.

Amirudin mengaku bahwa saat masa-masa awal merekrut orang, ia sendiri belum merasakan ada yang aneh atau mencurigakan. Ia juga sedikit membahas soal isu kekerasan yang beredar.

“Mengenai isu penyiksaan di sana, kalau di perusahaan saya bekerja, penyiksaan seperti itu tidak ada. Kalau di company lain, ada warga Cina yang kabur, terus ketahuan dan sampai dikuliti hidup-hidup.” katanya.

Namun bukan berarti tempat kerja Amir bebas masalah. Ia menyebut penyitaan handphone adalah hal yang sering terjadi di tempatnya bekerja, dan itu membuatnya sulit berkomunikasi dengan keluarga di tanah air. “Bisa menggunakan handphone, kalo diantara kami ada yang bisa menghasilkan targetan besar,” jelas dia.

Ia pernah tidak menghasilkan target dan sempat terancam akan disiksa. Tetapi, menurut Amir, bentuk siksaan di perusahaannya tidak sampai menyentuh fisik secara langsung. “Saya sempat mau disiksa juga saya sebenarnya, tapi disiksa di company kami disiksanya seperti hanya berdiri di lapangan seharian saja,” ungkapnya.

Meski tidak mengalami penyiksaan langsung, tekanan mental terasa sangat berat. “Psikis itu makanan sehari-hari,” ungkapnya.

Amir mengatakan salah satu rekannya asal Bangka Belitung yang hampir mengalami gangguan jiwa karena takut dengan intimidasi. “Ada yang sempat hampir gila. Padahal ancamannya itu bohong, cuma buat menakut-nakuti,” ujarnya.

Kasus penipuan online yang melibatkan tindak kejahatan perdagangan orang memang terus meningkat tajam dan menjerat korban dari berbagai daerah, termasuk Sukabumi.

Seperti Amirudin, mereka kebanyakan dari keluarga ekonomi lemah, terjebak dalam skenario yang rapi dirancang: keberangkatan ke negara-negara seperti Myanmar yang nyatanya menjadi awal dari eksploitasi brutal. Data terbaru mengungkap lonjakan signifikan dalam jumlah kasus, mencerminkan tantangan besar dalam menanggulangi kejahatan transnasional.

Mengutip keterangan di website Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Direktur Perlindungan WNI Kemlu RI Judha Nugraha mengatakan kasus pertama yang tercatat pada 2020 hanya sebanyak 15. Namun, jumlah tersebut melonjak drastis menjadi 5.111 kasus pada 2024.

Negara-negara seperti Kamboja, Myanmar, Laos, dan Filipina, menjadi lokasi utama dari kejahatan ini, yang melibatkan berbagai skema seperti judi online dan penipuan online. Fenomena tersebut semakin mengkhawatirkan karena aktivitas-aktivitas tersebut mulai dianggap normal dan bahkan menjadi sumber mata pencarian bagi sebagian masyarakat.

“Saat ini kami melihat ada semacam normalisasi, judi online dan online scam menjadi bentuk mata pencaharian baru. Ada WNI yang secara sadar ingin bekerja di sektor itu, karena gaji tinggi. Jadi, tidak ada unsur TPPO-nya (Tindak Pidana Perdagangan Orang),” kata Judha, dalam diskusi bertajuk “Korupsi dan Kejahatan Siber: Membedah Skema Penipuan dan Judi Online”, di kantor AJI Indonesia, Jakarta, pada 13 Desember 2024.

Judha menerangkan, dari 5.111 kasus yang terdeteksi, hanya 1.290 dinyatakan sebagai TPPO.

Meninggal di Tanah Asing

Kasus lain datang dari Kampung Cikaramat, Desa Mekarsari, Kecamatan Ciemas, Kabupaten Sukabumi. Pemuda bernama Purnama Alam (24 tahun), menjadi korban TPPO. Berawal dari tawaran kerja dengan iming-iming gaji tinggi di luar negeri, perjalanan Purnama berubah menjadi kisah kelam eksploitasi, ancaman, dan kematian di negeri asing.

Semua bermula pada awal 2024 ketika Purnama menerima tawaran pekerjaan dari seseorang yang dikenalnya lewat Instagram. Tawaran itu tampak menggiurkan—gaji Rp 12 juta per bulan di Thailand, angka yang jauh melampaui penghasilannya di Sukabumi.

Janji itu hanyalah umpan dari jaringan perdagangan manusia yang menjerat korbannya lewat media sosial. Dengan bantuan perantara berinisial E di Medan dan F di Batam, Purnama membuat paspor dan memulai perjalanan yang tidak pernah ia duga akan berakhir tragis.

Setibanya di Malaysia, realitas mulai menampakkan wajahnya yang kejam. Purnama dipindahkan ke Kaimen Hong Casino di Kamboja, tempat ia dipaksa bekerja tanpa belas kasihan. Dalam sehari, ia harus bekerja hingga 15 jam dengan kondisi kerja yang buruk dan makanan yang tidak layak.

Melalui pesan singkat kepada keluarganya di Sukabumi, ia mengeluhkan keadaannya, memohon dikirimkan uang untuk membeli makanan, dan akhirnya meminta agar dirinya dipulangkan.

Namun, usaha untuk membebaskan diri dari cengkeraman jaringan gelap ini tidak semudah itu. Perusahaan tempatnya bekerja meminta uang tebusan sebesar Rp 50 juta sebagai syarat kepulangan. Dengan segala keterbatasan ekonomi, keluarganya hanya mampu mengumpulkan Rp 40 juta. Setelah uang itu dikirimkan, komunikasi dengan Purnama terputus.

Dokumentasi Lindawati (ibu korban TPPO) bersama nenek almarhum dikediamannya di Desa Mekarsakti Kecamatan Ciemas, Kabupaten Sukabumi | Foto : Ragil GilangLindawati, Purnama Alam, bersama nenek almarhum di kediamannya di Desa Mekarsakti Kecamatan Ciemas, Kabupaten Sukabumi. | Foto: SU/Ragil Gilang

Baca Juga: Kisah Pilu Ibu Korban TPPO Asal Sukabumi, Saksikan Anak Dikubur di Kamboja Lewat Ponsel

Harapan keluarga untuk melihatnya kembali ke tanah air perlahan pupus ketika mereka menerima kabar bahwa ia sedang dirawat di rumah sakit pada pertengahan Agustus 2024.

Janji pemulangan datang, tetapi hanya untuk Purnama. Istrinya, Rani, yang juga menjadi korban di tempat yang sama, tidak bisa ikut pulang karena harus menunggu tebusan tambahan Rp 40 juta. Dalam kebingungan dan keputusasaan, keluarga berusaha mencari jalan lain untuk menyelamatkan mereka.

"Ada kabar korban sedang dirawat di rumah sakit dan memberikan foto pada 14 Agustus. Lalu menyampaikan mau dipulangkan pada 16 Agustus, tetapi yang bisa pulang hanya satu orang yaitu Purnama Alam, sedangkan istrinya tidak bisa karena harus ditebus lagi sebesar Rp 40 juta," kata Jejen, selaku Ketua SBMI Sukabumi, Kamis, 29 Mei 2025.

Takdir berkata lain. Pada 19 September 2024, keluarga menerima kabar duka, Purnama telah meninggal dunia. Jenazahnya tidak pernah kembali ke kampung halaman: ia dimakamkan di Kamboja. Prosesi pemakaman yang berlangsung pada Idulfitri, Maret 2025, menjadi momen paling memilukan.

Lindawati, ibu Purnama, hanya mampu menyaksikan pemakaman anaknya melalui layar ponsel. Doa dan air mata yang mengalir dari jarak ribuan kilometer menjadi saksi bisu betapa jauhnya ia dari putranya yang seharusnya pulang membawa kebanggaan.

“Sudah kami perjuangkan selama hampir delapan bulan, meminta bantuan lewat anggota DPRD Kabupaten Sukabumi dan SBMI, namun kabarnya pemerintah tidak sanggup bantu karena kendala biaya. Perusahaan juga tidak bertanggung jawab. Akhirnya kami keluarga menerima setengah ikhlas,” kata Lindawati, menahan sesak.

Kisah ini tidak hanya menyentuh soal keluarga Purnama, tetapi juga menggambarkan bagaimana TPPO menjadi ancaman nyata bagi masyarakat Sukabumi, khususnya mereka yang berasal dari kalangan ekonomi lemah. Dengan janji-janji kehidupan yang lebih baik, jaringan perdagangan manusia terus menyusup ke pelosok, mencari korban baru yang terjebak dalam mimpi palsu.

SBMI Sukabumi, yang menjadi tumpuan keluarga korban, telah berulang kali menyuarakan keprihatinannya atas maraknya kasus TPPO. Laporan demi laporan diterima, mulai eksploitasi tenaga kerja hingga ancaman kekerasan terhadap korban yang mencoba melarikan diri.

Kasus Purnama Alam hanya salah satu dari sekian banyak tragedi yang mencerminkan lemahnya perlindungan terhadap calon pekerja migran, terutama mereka yang berangkat melalui jalur tidak resmi. Tragedi ini menjadi peringatan keras bagi semua pihak, dari pemerintah hingga masyarakat, untuk lebih waspada terhadap modus-modus perdagangan manusia.

Situasi yang dialami Amirudin dan Purnama Alam diperburuk oleh realitas ekonomi lokal yang sulit, di mana angka pengangguran masih tinggi. Berdasarkan dokumen "Kabupaten Sukabumi dalam Angka 2025," tercatat ada 27.397 pencari kerja sepanjang 2024. Data ini menggambarkan sebuah ironi pedih: wilayah yang kaya akan berbagai potensi sumber daya, tetapi terjebak dalam keterbatasan akses terhadap pekerjaan yang layak.

Dari jumlah itu, mayoritas pencari kerja berasal dari lulusan SLTA, yakni 21.978 orang, yang menunjukkan pendidikan menengah belum mampu menjadi jaminan untuk mendapatkan pekerjaan. Bahkan lulusan sarjana (S1), yang biasanya dianggap lebih mudah memasuki pasar kerja, juga mencatat 1.075 orang masuk kategori pencari kerja.

Ketimpangan ini menjadi tanda bahaya yang memotret betapa terbatasnya peluang kerja di Sukabumi, terlebih bagi mereka yang berpendidikan lebih rendah seperti lulusan SMP dan SD yang jumlahnya mencapai ribuan.

Kondisi itu menciptakan lahan subur bagi praktik TPPO. Mereka yang terdesak kebutuhan ekonomi kerap kali menjadi sasaran empuk. Modus yang digunakan pelaku TPPO hampir selalu sama: menjanjikan pekerjaan bergaji tinggi di luar negeri, namun di balik janji tersebut tersembunyi jebakan eksploitasi. Dengan tingkat pendidikan yang mayoritas masih terbatas, korban-korban potensial ini seringkali tidak memiliki cukup informasi atau kemampuan untuk memverifikasi kebenaran tawaran tersebut.

Di sisi lain, angka pencari kerja ini juga mencerminkan lemahnya struktur ekonomi lokal yang belum mampu menciptakan lapangan kerja memadai. Tidak hanya menjadi beban bagi masyarakat, kondisi ini juga menjadi celah besar yang dimanfaatkan oleh jaringan perdagangan manusia. Pemerintah daerah menghadapi tantangan berat untuk mengimbangi kebutuhan lapangan kerja dengan angka lulusan yang terus meningkat setiap tahunnya. Tanpa langkah nyata dan sistematis, korban-korban baru akan terus bermunculan.

Sukabumi membutuhkan solusi yang lebih dari sekadar wacana kebijakan. Infrastruktur ekonomi harus dibangun dengan pendekatan strategis yang mencakup peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan keterampilan kerja.

Dengan menciptakan peluang kerja yang layak di dalam negeri, Sukabumi dapat menekan angka pengangguran sekaligus menutup celah yang selama ini dimanfaatkan oleh jaringan TPPO. Ini adalah perjuangan yang harus dimenangkan, bukan hanya demi melindungi warga dari jebakan eksploitasi, tetapi juga untuk membangun masa depan yang lebih baik bagi daerah ini.

Ragil Gilang dan Ikbal Juliansyah berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Berita Terkait
Berita Terkini