SUKABUMIUPDATE.com - Menjelang Idulfitri 2025, ratusan warga Sukabumi, Jawa Barat, harus menelan pil pahit. Tabungan yang mereka kumpulkan selama hampir setahun melalui skema tabungan hari raya atau tabungan Lebaran, raib tanpa jejak. Total kerugian diperkirakan mencapai Rp1 miliar.
Skema tahara ini dijalankan oleh seorang wanita berinisial DS (38 tahun) selama empat hingga lima tahun terakhir. Setiap tahun, dana tabungan biasanya dicairkan seminggu sebelum Ramadan atau dua minggu sebelum Lebaran.
Keberhasilan pencairan di tahun-tahun sebelumnya membuat banyak warga merasa aman dan percaya. Tahun ini, jumlah simpanan meningkat karena adanya janji uang baru yang akan dibagikan.
Kasus ini terungkap usai puluhan ibu-ibu mendatangi Polres Sukabumi Kota pada Senin (7/4/2025).
Rismawati, warga Cisaat Kabupaten Sukabumi mengaku berperan sebagai agen tabungan hari raya tersebut sekaligus menjadi korban. Ia menyebut terpaksa harus menyiapkan dana talang sebagai pengganti kerugian anggotanya.
“Saya pribadi yang memang agen saya kemarin tuh semaksimal mungkin cek basa Sunda mah gudar-gedor lah ya untuk menggantikan dulu ke member saya, saya ganti 50 persen Rp25 juta kurang lebih," ujar Rismawati kepada sukabumiupdate.com di Mapolres Sukabumi Kota.
"Yang bikin miris, ini terjadi menjelang Idulfitri. Uang yang sudah kami kumpulkan selama hampir setahun justru dibawa kabur," tambahnya.
Baca Juga: Sejarawan Sukabumi Bicara Penggabungan Kecamatan ke Kota: Lebih Efektif dan Efisien
Bukan hanya dirinya, kata Rismawati, agen lain pun disebut harus melakukan hal sama mengingat member atau anggotanya tidak mau tahu terkait persoalan yang sedang terjadi.
“Agen lain pun ada yang ngeganti 25 persen katanya. Karena memang kasihan juga agen-agen lain juga ibaratnya ga ada usaha. Kalau saya ada usaha dan saya bisa ibaratnya pinjam untuk upayain karena member itu kebanyakan nuntut ga mau tau,” kata dia.
Di sisi lain, terkait kedatangannya kembali ke Mapolres Sukabumi Kota, dia mengaku datang sebagai saksi korban untuk memenuhi panggilan Polisi setelah membuat laporan pada Jumat (21/3/2025) lalu.
“Kami dipanggil sebagai saksi, untuk tindak lanjutnya kita juga belum tahu karena memang hari ini baru pemanggilan dari semenjak saya bisa buka LP dan baru hari ini kita dipanggil sebagai saksi,” tutur dia.
Puluhan warga datangi Polres Sukabumi Kota laporkan seorang perempuan diduga bawa kabur uang Tabungan Hari Raya | Foto : Asep Awaludin
Menurutnya, masih banyak korban lain yang belum terdata dan melapor ke Polisi. Berdasarkan perhitungannya, untuk kerugian korban yang ikut bersamanya diperkirakan mencapai Rp575 juta.
“Yang menjadi mirisnya ketika kita mau idulfitri dan uang kita dibawa kabur oleh pelaku. Kerugian Rp575 juta, kalau info kerugian Rp1 m itu memang banyak korban juga tapi di luar kita,” jelasnya.
Untuk itu, pihaknya berharap agar Pihak Kepolisian dapat segera menangkap terduga pelaku.
“Yang kita harapkan kepada Polisi ingin segera menangkap pelaku, karena korbanya cukup banyak sekitar 300 lebih member,“ pungkasnya.
Ratih (27 tahun), warga Cidolog, juga menjadi korban. Ia kehilangan Rp58 juta dan terpaksa menjual sepeda motornya untuk mengganti sebagian dana anggota.
"Perjuangan kita kan kerja di warung, ada juga yang kerja di pabrik. Nabung sebisanya, uang itu buat beli sembako, mudik, baju anak-anak. Sekarang semua lenyap," ujarnya lirih.
Menurutnya kegiatan tabungan tahara itu sudah berlangsung sejak 5 tahun kebelakang.
“Pertamanya ini sudah berjalan 4-5 tahun sampai sekarang. Aku ikutan sudah tiga tahun, nah tahun sekarang aku nyobain buat jadi agen karena diajakin sama dia,” ujarnya.
“Awalnya baik-baik aja, pas hari Rabu diteleponin sama agen-agen lain katanya dia (DSR) kabur, jadi nggak tahu juga. Uang sama parcel kaya tabungan hari raya,” tambahnya.
Ratih menjelaskan bahwa tahara itu dipungut setiap satu bulan sekali dengan nominal yang beragam setiap membernya. Tahara akan dibagikan dalam bentuk uang tunai dan parsel sembako.
“Untuk agen sendiri ada 16 orang, kalau ditotal semuanya mungkin lebih dari 100 orang korbannya. Kalau kerugian diperkirakan uangnya aja Rp700 juta belum parselnya satu parsel itu harganya ada yang Rp 2 juta sampai Rp 3 juta, jadi kalau ditotal mah mungkin ada Rp1 M,” jelas dia.
Atas kejadian yang dialaminya, Ratih berharap agar polisi dapat segera mengamankan pelaku agar uangnya dapat kembali. “Ya kalau kita mah harapannya uang kita kembali apalagi para member juga kita harus ganti. Rp58 juta aku sama anggota member 21 orang,” pungkasnya.
Kasat Reskrim Polres Sukabumi Kota, AKP Tatang Mulyana, menyatakan bahwa pihaknya telah menerima sejumlah laporan dan sedang melakukan penyelidikan untuk menangkap pelaku.
“Laporan sudah diterima, kita masih melakukan pemeriksaan saksi-saksi, yang sudah diperiksa ada 10 orang, untuk identitas terduga pelaku sudah kita kantongi,” ujar Tatang kepada sukabumiupdate.com, Selasa (25/3/2025).
Untuk kerugian korban, Tatang menyebut belum menghitung secara keseluruhan kerugian para korban. “kalau untuk kerugiannya sendiri belum diketahui masih dalam rangka penyelidikan,” kata dia.
Baca Juga: Pandangan Akademisi soal Fenomena Joget Sadbor Sukabumi Viral di TikTok
Sementara itu, Siti Nur Aisyah, Dosen Program Studi Manajemen yang membidangi Bisnis, Hukum, dan Pendidikan di Nusa Putra University, menilai bahwa fenomena ini sebenarnya bisa dikategorikan sebagai bentuk investasi bodong, meski dalam skala mikro.
Ia menjelaskan bahwa modus semacam ini kerap terjadi bukan semata karena niat awal pelaku untuk menipu, melainkan karena adanya “kesempatan” dan celah penyalahgunaan kepercayaan.
"Pelaku tidak berniat menggelapkan dana, tapi merasa berhak atas uang yang mereka pegang, terutama karena kebutuhan ekonomi. Ketika uang yang dipegang besar, godaannya pun besar," ujarnya kepada sukabumiupdate.com, Selasa (29/4/2025).
Menurut Siti, tabungan lebaran atau arisan hari raya memang menarik bagi masyarakat kelas menengah ke bawah. Skema ini dianggap sebagai cara praktis dan terjangkau untuk mempersiapkan kebutuhan hari raya. Sayangnya, kesadaran untuk menyeleksi agen dan legalitas kegiatan tersebut masih rendah.
"Skema seperti ini mudah menarik minat karena bisa membantu masyarakat mengatur keuangan menjelang Lebaran. Tapi justru karena informal, mudah juga disalahgunakan," tambahnya.
Siti memaparkan bahwa penipuan tabungan THR pada dasarnya mengandalkan penyalahgunaan kepercayaan, mirip seperti investasi bodong lainnya. Pelaku seringkali adalah anggota komunitas yang dikenal baik, sehingga korban tidak merasa perlu menanyakan legalitas atau membuat kontrak tertulis. Bahkan, pelaku dapat memanipulasi psikologis korban dengan memberikan 'umpan' atau keuntungan kecil di awal untuk membangun rasa aman.
“Pelaku tidak membutuhkan strategi kompleks. Mereka hanya perlu bermain di ranah psikologis dan sosial. Masyarakat kecil rentan karena mereka butuh uang dan kurang memahami cara kerja keuangan,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa karakteristik umum penipuan ini bisa dikenali dari janji-janji imbal hasil tinggi, agen yang baru muncul tanpa rekam jejak, dan ketidakjelasan pengelolaan dana. Masyarakat perlu lebih kritis terhadap tawaran yang terlihat terlalu menggiurkan.
Dalam pengamatannya, Siti melihat bahwa fenomena ini tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan erat dengan rendahnya literasi keuangan, tekanan sosial, dan kultur gotong royong yang sering disalahgunakan.
“FOMO (fear of missing out), gengsi, hingga dorongan untuk tampil sukses secara cepat juga memperkuat daya tarik skema ini. Kalau tetangga ikut, kita merasa aman untuk ikut juga,” katanya.
Siti pun mengingatkan, kerugian akibat penipuan seperti ini tak bisa dianggap kecil. Selain kerugian finansial langsung, masyarakat korban bisa kehilangan kepercayaan pada sistem keuangan yang sah, seperti bank atau koperasi resmi. Trauma ini memperlebar jurang inklusi keuangan yang seharusnya ditutup melalui edukasi dan akses layanan yang memadai.
“Sayangnya, pelaku sering hanya dijerat pasal ringan seperti penipuan umum, padahal potensi kerugiannya besar. Ini yang membuat efek jera menjadi minim,” ujarnya.
Untuk itu, ia menekankan pentingnya peran pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam melakukan edukasi berbasis perilaku di tingkat komunitas. Selain itu, penguatan regulasi terhadap praktik simpan pinjam informal dan pemberian insentif bagi masyarakat untuk menggunakan layanan keuangan legal bisa menjadi solusi jangka panjang.
Siti menutup dengan prediksi bahwa modus seperti ini akan terus berkembang, terutama dengan munculnya platform digital bodong yang meniru aplikasi fintech legal. “Pelaku akan terus beradaptasi dengan zaman. Masyarakat harus lebih dulu paham cara melindungi dirinya sendiri,” pungkasnya.
Pada 22 Maret 2025, OJK sudah memberikan peringatan kepada masyarakat untuk berhati-hati terhadap berbagai modus penipuan di sektor keuangan, terutama menjelang Lebaran.
Beberapa modus yang sering terjadi antara lain pinjaman online ilegal, investasi ilegal, phishing, impersonasi, dan penawaran kerja paruh waktu.
Bahkan OJK bersama Satuan Tugas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (Satgas PASTI) telah membentuk Indonesia Anti-Scam Centre (IASC) untuk menangani laporan penipuan.
Skema tabungan informal seperti tahara yang tidak memiliki izin resmi dari OJK dapat dikategorikan sebagai investasi ilegal. Masyarakat diimbau untuk memastikan legalitas dan transparansi pengelola dana agar kejadian serupa tidak terulang.
OJK juga sebelumnya sudah mengingatkan agar tiap pihak terus mengedepankan 2-L yaitu Legal dan Logis sebelum berinvestasi. Legal artinya memastikan setiap pihak atau penyelenggara yang menawarkan investasi memiliki izin dari dari regulator/lembaga berwenang. Sementara logis ialah memastikan apakah keuntungan atau imbal hasil yang dijanjikan masuk akal dan realistis.
“Penawaran investasi yang menjanjikan keuntungan fantastis dalam waktu singkat dan tidak memiliki risiko, umumnya merupakan penipuan berkedok investasi,” ujar Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon OJK, Inarno Djajadi, kepada tempo.co pada Selasa, 8 Oktober 2024.
Ciri-ciri investasi bodong atau fiktif
Berikut ciri-ciri investasi bodong atau fiktif yang perlu diwaspadai dan dihindari.
1. Investasi dalam jangka waktu singkat dengan return fantastis
Investasi bodong biasanya menjanjikan imbalan yang tinggi dalam waktu singkat. Penawaran ini bahkan dikemas dalam bentuk investasi tertentu seperti emas, reksa dana, tabungan atau program investasi online melalui internet diikuti dengan perjanjian pengembalian dana investasi secara rutin, sehingga calon korban merasa yakin untuk menanamkan dananya.
2. Mengatasnamakan institusi atau lembaga keuangan
Pelaku kerap menggunakan atau mencatut nama institusi atau lembaga keuangan ternama, bahkan mencantumkan identitas lembaga tersebut untuk meningkatkan kredibilitas produk investasi bodong yang ditawarkan sehingga calon korban merasa semakin yakin untuk menanamkan dananya.
3. Tidak memiliki izin yang jelas
Investasi bodong biasanya tidak menyertakan nama regulator (pengawas) yang mengawasinya seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Karena investasi tersebut dilakukan secara ilegal dan tidak mendapatkan izin dari OJK.
4. Produk investasi yang ditawarkan dan proses penempatan dana tidak jelas
Tidak tersedianya informasi yang jelas serta valid atas produk investasi yang ditawarkan dan nama perusahaan yang menjual produk investasi tersebut. Selain itu, investasi bodong atau fiktif juga tidak memiliki sistem pencairan dana yang jelas dan proses penempatan dana tidak melalui Lembaga jasa keuangan yang menawarkan produk tersebut.
5. Menawarkan bonus jika berhasil mendapatkan pengguna baru
Investasi bodong biasanya akan meminta investor untuk mencari nasabah baru, dengan diiming-iming keuntungan yang besar jika kita berhasil mendapatkan nasabah baru. Apabila mendapatkan tawaran seperti ini, mohon cek keabsahan program yang dimaksud di saluran resmi institusi atau lembaga jasa keuangan yang disebutkan oleh investor.
Kasus penipuan tahara di Sukabumi menjadi pengingat akan pentingnya kehati-hatian dalam mengikuti skema tabungan informal. Masyarakat diimbau untuk memastikan legalitas dan transparansi pengelola dana agar kejadian serupa tidak terulang.