SUKABUMIUPDATE.com - Di banyak sudut kota dan gang di Indonesia ada aroma pedas yang menyengat disertai bunyi wajan yang berdesis telah menjadi penanda kehadiran salah satu kuliner paling populer saat ini yang disebut Seblak. Hidangan ini kini tampil dalam wujudnya yang paling maksimalis kerupuk kenyal berkuah kencur pedas,dan beroma daun jeruk yang dihiasi isian yang melimpah ruah, mulai dari bakso, sosis, seafood, ceker ayam, hingga aneka mie dan topping kekinian sertya sayuran bagi yang ingin. Seblak modern adalah fenomena street food yang riuh, sebuah perayaan rasa pedas dan tekstur kenyal yang berhasil menaklukkan lidah banyak generasi muda.
“Kami memilih jualan seblak, sebab peminatnya masih banyak sampai saat ini,” kata pelaku usaha kuliner kecil-kecilan di bilangan Cibadak, kabupaten Sukabumi. Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan bahwa kuliner seblak ini selain rasa pedasnya yang bikin seger tergolong ramai peminat dan murah meriah. “Usaha kan harus yang berkesinambungan, yang bikin kenyang biasanya dicari tiap hari,saya kira seblak dulu cuma tren kuliner usuman lah, tapi sampai beberapa tahun kemudian sampai hari ini tetap diminati. Cuman, ya banyak menjamur, jadi kita harus ngasih pilihan terbaiklah! Dan inovasi terus, entah itu topingnya atau cara kita mengundang mereka agar jajan seblak di sini,” terang Risris, pemilik usaha kuliner “Boehoen” di Kabupaten Tasikmalaya.
Namun, di balik kemeriahan usaha dan kekayaan isian yang kita saksikan hari ini ada sebuah hasil dari komersialisasi dan kustomisasi tersembunyi kisah akar rumput yang jauh lebih sederhana, dan jauh lebih filosofis. Realitas Seblak yang hedon dengan topping premium berbanding terbalik dengan asal-usulnya.
Seblak, bersama dengan Nasi Tutug Oncom dan Sambal Goang, bukanlah hidangan yang lahir dari kelimpahan, melainkan dari sebuah kebutuhan mendesak dan ‘minimalis’. Kuliner Sunda ini adalah bukti nyata kearifan lokal dalam menghadapi keterbatasan, di mana kreativitas dan efisiensi diubah menjadi solusi makanan yang praktis, murah, namun kaya rasa.
Baca Juga: Ancaman Kepunahan dan Asa di Balik Indah Pesona Rafflesia
Transformasi Kerupuk dari Pelengkap Makan menjadi Pengganti Lauk
Sebelum menjadi street food viral dengan aneka topping mewah, Seblak adalah perwujudan kearifan desa. Kisah Seblak bermula dari kondisi "minimalis" di kampung-kampung, terutama di era 80-an, di mana masyarakat membutuhkan lauk pendamping nasi saat sumber protein atau sayuran utama sulit didapatkan. Ide solutifnya sangat sederhana menggunakan kerupuk mentah, bahan yang murah dan selalu tersedia. Kerupuk ini tidak digoreng, melainkan direndam atau dimasak hingga menjadi lembek dan kenyal.
Secara naratif, proses ini adalah sebuah inovasi fungsional yang brilian. Dengan dibumbui kencur, bawang putih, dan cabai rawit pedas, kerupuk lembek tersebut berubah fungsi dari camilan menjadi hidangan berkuah yang mengenyangkan.
Transisi ini sangat mendasar mengubah kerupuk, yang secara tradisional hanya berfungsi sebagai pelengkap renyah, menjadi komponen utama yang memiliki volume dan kekuatan rasa. Konsep ini saking solutifnya, hidangan ini bahkan dilabeli sebagai "Sayur Kerupuk" sebuah istilah yang menunjukkan perannya sebagai lauk utama berkuah pendamping nasi di lingkungan desa.
Resep Nasi Tutug Oncom, Kuliner Lokal Khas Sunda Jawa Barat
Lantas, bagaimana hidangan minimalis ini bisa meledak dan menjadi primadona nasional? Kunci utama popularitas Seblak terletak pada kombinasi tekstur yang unik dan rasa yang adiktif. Rasa pedas yang menyengat, dikombinasikan dengan aroma kencur dan daun jeruk yang khas, memberikan sensasi yang langsung memuaskan (instant gratification) bagi lidah masyarakat Indonesia yang memang menyukai kuliner pedas. Ditambah dengan tekstur kenyal dari kerupuk yang sudah dilembutkan sebuah sensasi yang berbeda dari kerupuk renyah Seblak berhasil menciptakan diferensiasi yang kuat di pasar jajanan.
Baca Juga: Manfaat Kurma bagi Ibu Hamil: Nutrisi, Penelitian, dan Waktu Konsumsi yang Tepat
Selain faktor rasa, ledakan popularitas Seblak didorong oleh fleksibilitasnya dan peran media sosial. Seblak adalah kanvas kuliner yang terbuka lebar untuk kustomisasi (customization). Penjual dapat menambahkan hampir semua jenis topping, mulai dari bakso ekonomis hingga seafood premium, menjadikannya menarik bagi semua kalangan dan tingkat daya beli. Kemampuan untuk memilih tingkat kepedasan, dari level 'biasa' hingga 'neraka', juga menciptakan tantangan dan daya tarik konten di media sosial, yang secara organik menyebarkan ketenarannya dari Bandung ke seluruh penjuru negeri.
Meskipun Seblak modern yang kita kenal sekarang telah berevolusi menjadi hidangan "maksimalis", esensi awalnya tetaplah minimalis dan berbasis ekonomi. Evolusi ini juga menunjukkan daya tahan resep dasarnya; fondasi rasa pedas-kencur yang kuat berhasil diangkat dari dapur desa ke arena komersial perkotaan. Dengan demikian, Seblak adalah warisan yang membuktikan bahwa kreativitas saat menghadapi keterbatasan dapat menjadi modal utama bagi kesuksesan kuliner secara luas.
Kepraktisan Sarapan Melawan Keterbatasan Minyak
Nasi Tutug Oncom (Nasi T.O.) adalah simbol lain dari kearifan kuliner Sunda yang berfokus pada efisiensi, khususnya untuk sarapan. Nasi T.O. lahir dari kebutuhan akan makanan pagi yang cepat, berenergi, dan lezat, namun dibuat dengan bahan minimal. Kunci dari solusi ini terletak pada proses pengolahan oncom, fermentasi ampas kacang yang merupakan sumber protein nabati murah masyarakat desa, khususnya di kawasan Priangan Timur seperti Tasikmalaya.
Baca Juga: Eks Karyawan Aqua Sukabumi Aksi Tuntut Ganti Rugi 80 Persen, OPSI: Upaya Persuasif Sudah Mentok
Dalam konteks minimalis era lampau, oncom diolah secara ekonomis. Oncom tidak digoreng, karena minyak pada masa itu bisa jadi komoditas yang mahal dan terbatas. Sebaliknya, oncom diolah dengan cara dibakar (beuleum) langsung di atas bara api. Teknik ini sangat solutif karena menghilangkan kebutuhan akan minyak dan justru memberikan aroma smoky khas yang sangat menggugah selera, menunjukkan bagaimana keterbatasan bahan bakar dapat menghasilkan cita rasa unik.
Setelah dibakar, oncom diberi bumbu minimalis (bawang, cabai, kencur), lalu di-tutug (ditumbuk atau dicampur) langsung ke dalam nasi hangat yang baru saja diakeul. Proses tutug yang cepat dan praktis ini menghasilkan hidangan lengkap hanya dengan dua bahan utama, menjadikannya solusi ideal untuk sarapan yang mengenyangkan. Nasi T.O. membuktikan bahwa dengan memanfaatkan bahan lokal termurah dan teknik pengolahan yang paling efisien, seseorang tetap dapat menikmati hidangan yang memuaskan dan berenergi tanpa harus bergantung pada lauk mewah yang rumit.
Seiring berjalannya waktu, Nasi Tutug Oncom menjadi salah satu identitas kuliner yang tak terpisahkan dari Tasikmalaya. Di kota tersebut, popularitas Tutug Oncom tak lantas membiarkannya mandek sebagai hidangan minimalis. Proses komersialisasi dan persaingan bisnis lantas mendorong inovasi yang serupa dengan Seblak. Para penjual mulai menambahkan aneka lauk pauk sebagai topping pendamping, mengubah Nasi T.O. yang tadinya merupakan lauk pengganti, menjadi lauk inti yang didampingi lauk-pauk lainnya.
Baca Juga: Suara Tapal Batas Jabar Di HGN 2025: Keberhasilan Kami Diukur dari Keberhasilan Siswa di Masa Depan
Kini, Nasi Tutug Oncom di Tasikmalaya dan daerah lain sering disajikan dengan aneka topping yang jauh dari konsep minimalis aslinya, seperti telur dadar, ayam goreng, ikan asin, atau tempe mendoan. Evolusi ini mencerminkan adaptasi terhadap selera pasar dan peningkatan daya beli masyarakat. Meskipun demikian, esensi rasa oncom bakar yang di-tutug tetap menjadi fondasi utamanya, mengingatkan kita pada asal-usulnya sebagai hidangan rakyat yang lahir dari prinsip efisiensi dan kreativitas dalam keterbatasan bahan.
Kebutuhan Mendesak akan Sensasi Pedas yang Cepat
Jika Seblak dan Tutug Oncom adalah solusi untuk lauk, maka Sambal Goang adalah solusi untuk bumbu pendamping yang paling efisien. Sambal ini mewakili puncak minimalisme karena memenuhi kebutuhan mendesak akan rasa pedas yang kuat tanpa proses memasak yang rumit. Dikenal juga sebagai Sambal Dadak, Goang dibuat serba mentah dengan bahan paling dasar: cabai rawit (cengek), garam, dan sedikit bawang merah.
Meskipun sama-sama berbahan dasar oncom, Tutug Oncom dan Sambal Oncom memiliki fungsi dan fokus yang berbeda dalam hidangan Sunda. Nasi Tutug Oncom (NTO) adalah hidangan utama yang fokusnya adalah nasi itu sendiri, di mana oncom yang telah diolah (biasanya dibakar atau digoreng, kemudian diulek bersama bumbu seperti kencur, bawang, dan garam) dicampurkan dan di-'tutug' (ditumbuk atau dicampur) langsung dengan nasi panas, menjadikannya lauk-pauk sekaligus bumbu yang melumuri keseluruhan nasi.
Sebaliknya, Sambal Oncom berfungsi murni sebagai bumbu pendamping atau cocolan yang terpisah dari nasi, dengan tekstur yang lebih basah dan biasanya lebih pedas, di mana oncom diolah bersama cabai dan rempah lainnya untuk menjadi pelengkap yang dicocol bersama aneka lauk-pauk seperti tempe, tahu, atau sayuran rebus, serupa fungsinya dengan sambal terasi atau sambal dadak lainnya.
Filosofi di baliknya adalah kecepatan dan efisiensi waktu, tenaga, dan bahan. Sambal Goang dibuat dadakan (saat itu juga), tidak memerlukan proses penggorengan, perebusan, atau bahkan penambahan minyak, yang semuanya membuang waktu dan biaya. Penggunaan bahan mentah ini juga memaksimalkan kekuatan rasa pedas alami cabai, menjadikannya super-power dalam membangkitkan selera makan.
Aroma kencur mentah seringkali ditambahkan ke Sambal Goang, menciptakan segak (aroma tajam) yang unik dan menjadi penanda identitas Sunda yang kuat. Meskipun minimalis, Sambal Goang sudah cukup kuat untuk memberikan "tendangan" rasa yang sangat efektif terhadap lauk sederhana apa pun, seperti tahu atau tempe goreng. Ia adalah bukti bahwa untuk mencapai kepuasan rasa yang mendalam, yang diperlukan hanyalah kreativitas dalam meracik bumbu dasar yang tersedia.
Keunggulan utama Sambal Goang terletak pada keserbagunaannya yang ekstrem. Sebagai sambal mentah (dadak), ia paling sering dipasangkan dengan hidangan yang membutuhkan kontras suhu dan tekstur. Bayangkan perpaduan Goang yang dingin dan segar saat bertemu dengan tahu atau tempe goreng yang panas dan renyah; kontras inilah yang menciptakan pengalaman makan yang dinamis.
KWRI: Orang Indonesia Tidak Bisa Hidup Tanpa Sambal, Tapi ini bukan gambar Sambal Goang!
Dalam tradisi kuliner Sunda, Sambal Goang adalah pasangan tak terpisahkan dari hidangan yang dimasak dengan metode sederhana, seperti aneka pepes (ikan, jamur, atau tahu) yang dikukus, atau bahkan dengan nasi timbel (nasi panas yang dibungkus daun pisang). Ia bekerja sebagai penyeimbang yang membersihkan lidah dari rasa gurih, memberikan sengatan pedas instan yang memicu nafsu makan, menjadikannya 'pencuci mulut' sebelum dan sesudah setiap suapan.
Baca Juga: Cinta Laura Bicara Guru Honorer Mengajar Generasi Emas Tapi Digaji di Bawah UMP
Berbeda dengan sambal Nusantara lainnya yang membutuhkan proses panjang, Sambal Goang berdiri sebagai antitesis. Sambal Terasi memerlukan pengolahan terasi, biasanya digoreng, dan bahan lain seperti tomat dan gula. Sambal Bawang seringkali membutuhkan penggorengan bawang hingga layu.
Sambal Goang, dengan filosofi raw dan instant, mengalahkan mereka dalam kecepatan persiapan. Jika sambal lain berfokus pada kedalaman rasa (umami, manis, asam), Sambal Goang adalah murni tentang intensitas (pedas, asin, dan segak kencur). Perbedaan paling mencolok adalah teksturnya; sambal matang cenderung lembut dan berminyak, sementara Goang mempertahankan tekstur kasar dan crunchy dari cabai dan bawang mentah yang diulek sebentar. Sambal Goang adalah perwujudan jujur dari cabai itu sendiri.
Lebih dari sekadar lauk pendamping, Sambal Goang adalah simbol dari kearifan lokal Sunda dalam memanfaatkan sumber daya alam secara maksimal dan efisien. Sambal ini adalah cerminan gaya hidup masyarakat pedesaan atau masa lalu, di mana setiap detik dan setiap tetes minyak berharga.
Meskipun masakan Sunda kini telah berevolusi dan dipengaruhi oleh gaya hidup modern, keberadaan Sambal Goang tetap abadi sebagai 'rasa asli'. Ia mewakili cita rasa yang tidak dapat direplikasi oleh sambal botolan atau sambal yang dimasak dengan proses yang rumit, menjadikannya comfort food yang tak tergantikan. Inilah warisan yang memastikan bahwa meskipun bahan-bahan mentah itu sederhana, esensi rasa yang kuat dari cabai rawit yang diulek segar akan selalu menjadi elemen penting dari setiap hidangan Sunda.



