SUKABUMIUPDATE.COM - Pernyataan vokal dari selebritas dan aktivis pendidikan, Cinta Laura Kiehl, baru-baru ini mengetuk kesadaran publik dan memicu diskusi nasional yang mendesak. Melalui video reels-nya yang tajam dan emosional, ia tidak hanya menyoroti disparitas, tetapi juga mengecam sistem yang secara struktural memecah para pahlawan tanpa tanda jasayang kita sebut gurumenjadi dua kasta: Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang "beruntung" dengan kepastian karir dan jaminan hari tua, serta guru honorer yang "kurang beruntung" yang sering kali harus menghadapi ketidakpastian serta status kontrak yang menggantung selama bertahun-tahun.
Inti dari kritik keras Cinta Laura bukanlah sekadar masalah status kepegawaian, melainkan angka yang memilukan dan tak manusiawi: "20% guru honorer digaji di bawah Rp500 ribu sebulan. LIMA RATUS RIBU RUPIAH. Untuk orang yang kita percayain bentuk masa depan anak kita." Angka ini, yang jauh lebih rendah daripada Upah Minimum Regional (UMR) mana pun di Indonesia, adalah kisah tentang perjuangan martabat dan pengorbanan yang tidak terbayar lunas.
Kesenjangan finansial yang ekstrem inilah yang menjadi akar masalah. Untuk memberikan gambaran yang jelas, mari kita lihat perbandingan ironis ini. Seorang Guru PNS baru, golongan III/a, akan menerima gaji pokok bulanan di kisaran Rp2,7 juta hingga Rp4,4 juta, belum termasuk tunjangan fungsional dan tunjangan daerah, yang bisa melipatgandakan pendapatan totalnya. Bandingkan angka tersebut dengan realitas pahit yang diungkapkan oleh Cinta Laura, di mana 20% guru honorer menerima honorarium di bawah Rp500.000 sebulan. Artinya, gaji pokok seorang Guru PNS bisa 5 hingga 8 kali lipat dari total pendapatan bulanan guru honorer yang berjuang di sekolah yang sama, mengajar mata pelajaran yang sama, dan menghadapi tantangan murid yang sama.
Baca Juga: Lagi Ramai Nikah Siri Online di Medsos: Sah Nggak? Eksploitasi atau Modus Poligami Terselubung
Ironi Pendidikan: Pahlawan tanpa tanda jasa hbonorer mengukir Generasi Emas ini, namun gajinya tak menyentuh UMP.
Situasi ini semakin diperparah oleh kasus-kasus ekstrem yang viral, seperti slip gaji guru honorer sekolah dasar di Ciamis beberapa tahun lalu yang hanya tercatat Rp66.000 untuk sebulan pengabdian. Kasus-kasus memilukan ini menjadi simbol yang memperkuat kritik warganet dan menyulut dukungan luas terhadap pernyataan Cinta Laura. Angka-angka yang sangat rendah ini membuktikan bahwa honorarium guru honorer seringkali hanya dibayarkan dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang terbatas, dan bergantung pada kebijakan lokal yang tidak konsisten.
Cinta Laura dengan lugas menjelaskan konsekuensi logis dari situasi ini terhadap kualitas pengajaran di kelas, sebuah dampak yang jauh lebih besar daripada sekadar urusan gaji. Ia mengatakan: "Guru yang overwhelmed, stres secara finansial, terkuras secara emosional, mereka gak bisa kasih yang terbaik. Fisik ada di kelas, pikiran di tempat lain mikirin gimana bayar utang, gimana isi kulkas." Kualitas pendidikan tidak hanya ditentukan oleh kurikulum atau fasilitas, tetapi yang utama oleh stabilitas mental dan finansial pengajarnya.
"Hargai Dedikasi, Jangan Eksploitasi. Gaji guru honorer harus layak. Titik" - Ajay lodaya
Energi kognitif yang seharusnya digunakan untuk merancang metodologi pembelajaran inovatif terpaksa dialihkan untuk mengatasi kecemasan tentang cara membayar tagihan. Inilah yang membuat murid dan guru kita "layak mendapatkan yang lebih baik". Guru-guru ini terus mengajar, bukan karena sistemnya layak menghargai mereka, tetapi karena kecintaan murni mereka pada murid-muridnya sebuah dedikasi yang sayangnya, telah dieksploitasi oleh sistem.
Pemerintah Indonesia menyadari masalah ini dan telah mengambil langkah besar melalui program pengangkatan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) khusus guru. Program ini bertujuan memberikan jalan bagi guru honorer untuk mendapatkan status kepegawaian yang lebih jelas dengan gaji dan tunjangan yang layak. Upaya ini membuahkan hasil signifikan: per akhir tahun 2023, sebanyak 774.999 guru honorer telah berhasil lulus seleksi dan diangkat menjadi ASN PPPK. Angka ini adalah realisasi luar biasa dari janji reformasi yang layak diapresiasi.
Namun, meskipun masif, krisis guru honorer adalah masalah struktural yang lebih dalam dari sekadar kuota pengangkatan. Hingga kini, masih banyak guru honorer yang tersisa dan harus berjuang karena total jumlah guru non-PNS jauh lebih besar. Selain itu, disparitas honorarium antar-daerah yang ekstrem masih menjadi tantangan, menunjukkan bahwa kebijakan pusat belum sepenuhnya mampu mengatasi masalah pendanaan lokal.
Baca Juga: 10 Makanan Termewah di Dunia Ini Harganya Di Luar Nalar
Hari Guru Nasional selalu diperingati pada tanggal 25 November setiap tahunnya.
Untuk secara fundamental mengatasi masalah yang disorot oleh Cinta Laura, kebijakan publik harus bergerak melampaui sekadar pengangkatan PPPK dan fokus pada perlindungan seluruh guru honorer. Solusi harus mencakup Mandat Gaji Minimum Nasional bagi semua guru honorer yang terdaftar di Dapodik, memastikan mereka menerima honorarium yang setidaknya setara dengan Upah Minimum Provinsi (UMP). Pendanaan ini harus dijamin oleh Pemerintah Pusat, mungkin melalui peningkatan porsi Dana Alokasi Khusus (DAK) atau revisi penggunaan Dana BOS, untuk mengakhiri ketergantungan gaji pada kebijakan lokal yang seringkali minim.
Selain itu, proses pengangkatan PPPK perlu disederhanakan melalui Jalur Khusus Afirmasi yang secara substantif mengakui masa pengabdian yang panjang. Ini penting untuk segera menuntaskan sisa target 1 juta guru honorer dan mengakhiri ketidakpastian karir.
Pernyataan penutup Cinta Laura Kiehl yang menyebutkan, "And as a society, we will continue to get exactly what we pay for. Nothing," merupakan sebuah refleksi tajam yang harus diakui oleh seluruh masyarakat. Kalimat tersebut merangkum kebenaran faktual bahwa kualitas output pendidikan suatu bangsa akan selalu berkorelasi langsung dengan kualitas investasi yang diberikan kepada para pendidiknya. Ketika ditemukan fakta bahwa guru honorer, yang merupakan tulang punggung sistem di banyak sekolah, digaji jauh di bawah standar kelayakan hidup, maka tidak realistis mengharapkan mereka dapat memberikan potensi pengajaran terbaiknya secara berkelanjutan.
Kritik ini secara spesifik menyoroti praktik eksploitasi di mana "dedikasi" guru dijadikan alasan untuk menutupi kegagalan struktural dalam menjamin kesejahteraan mereka. Dedikasi adalah nilai moral, namun ia bukanlah pengganti upah yang layak atau jaminan karir yang pasti. Data menunjukkan bahwa guru yang mengalami stres finansial dan kelelahan emosional tidak dapat memusatkan pikiran di ruang kelas; energi yang seharusnya digunakan untuk inovasi pembelajaran terpaksa dialihkan untuk bertahan hidup, seperti mencari pekerjaan sampingan. Kondisi ini secara sistematis menghambat peningkatan mutu pendidikan nasional.
Baca Juga: Politikus Nasdem Menang Gugatan Melawan Bank BRI Cabang Cibadak dan Sejumlah Pihak
Pemerintah memang telah mengambil langkah signifikan melalui program pengangkatan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), yang hingga akhir 2023 telah memberikan kepastian karir dan gaji layak kepada ratusan ribu guru honorer. Namun, upaya ini perlu disertai dengan jaminan perlindungan bagi guru honorer yang tersisa, termasuk menetapkan standar honorarium minimum nasional yang setidaknya setara dengan Upah Minimum Provinsi (UMP). Langkah ini penting untuk menghentikan disparitas gaji ekstrem antar-daerah dan memastikan bahwa tidak ada lagi pendidik yang mengajar sambil terbebani masalah ekonomi dasar.
Pada akhirnya, masa depan anak-anak Indonesia adalah taruhan utama dari ketidakseimbangan sistem ini. Murid-murid berhak mendapatkan pengajaran terbaik dari guru yang fokus, termotivasi, dan sejahtera. Oleh karena itu, tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat adalah membangun sebuah sistem pendidikan yang secara adil menghargai, melindungi, dan memberdayakan guru secara finansial. Hanya melalui investasi yang setara dengan pentingnya profesi ini, bangsa dapat berharap untuk menerima hasil pendidikan yang optimal.
Di tengah refleksi kritis mengenai realitas gaji dan status, momentum Hari Guru Nasional hari ini (25 November) harus dimaknai sebagai titik balik. Ini adalah hari di mana kita tidak hanya mengucapkan terima kasih, tetapi juga menuntut pertanggungjawaban kolektif untuk menyelesaikan masalah struktural ini. Jika kita sungguh-sungguh menghormati jasa para pahlawan tanpa tanda jasa, penghargaan itu harus diwujudkan dalam bentuk kesejahteraan yang terjamin, status yang jelas, dan perlindungan finansial yang setara dengan pentingnya tugas mereka. Hanya dengan mengakhiri ironi gaji rendah ini, kita dapat benar-benar merayakan martabat guru dan memastikan kualitas pendidikan yang layak bagi masa depan Indonesia.



