Oleh : Iwa Kartiwa, Guru SD di Kabupaten Sukabumi
Ketika kita memasuki peringatan Hari Guru Nasional yang ke-80, dan bersiap menyongsong HUT ke-80 PGRI Kabupaten Sukabumi tahun 2025, ada satu pertanyaan besar yang mengusik batin saya sebagai seorang yang terlibat dalam perjuangan pergerakan pendidikan di Kabupaten Sukabumi: Apakah guru kita sudah benar-benar merdeka dalam kesejahteraan dan kepastian nasibnya? Sayangnya, jawaban itu masih jauh dari kata “iya”.
Realita Ketimpangan Guru di Kabupaten Sukabumi
Di tengah semangat merayakan dedikasi guru, kita dipaksa menatap kenyataan pahit. Masih banyak ketimpangan yang nyata, Baik bagi guru yang berstatus PPPK terlebih bagi guru yang masih berstats honorer. Gelombang keluhan terus datang dari berbagai kalangan guru di wilayah Kabupaten Sukabumi. dari guru yang sekadar berharap pada kepastian hak, hingga yang terpaksa menerima kenyataan tragis.
Salah satu luka paling dalam adalah kabar tentang guru PPPK yang meninggal dunia tanpa memperoleh santunan pensiun. Belum lagi ada guru honorer yang terpaksa dipensiunkan oleh sistem karena usianya yang sudah menhinjak usia pensiun. Mereka yang semasa hidup mengabdikan tenaga dan pengetahuan untuk mencerdaskan anak bangsa, ternyata di akhir hayat dan diakhir pengabdian justru tidak mendapatkan penghargaan layak dari negara. Keluarga diwariskan bukan kesejahteraan, melainkan kebingungan.
Ini bukan sekadar masalah administrasi. Ini persoalan keadilan.
Baca Juga: Sangat Menginspirasi, 15 Kata Mutiara Bahasa Arab Tentang Guru
Guru PPPK: Terdampar di Antara Status dan Ketidakpastian
Guru PPPK masih berada di posisi yang “menggantung.” Mereka bukan honorer, namun juga tidak mendapat perlindungan penuh seperti ASN PNS. Status ini menempatkan mereka di wilayah abu-abu: bekerja penuh, mengemban tanggung jawab besar, tetapi menikmati jaminan kecil.
Nasib seperti apa yang ingin kita berikan kepada para pendidik masa depan bangsa ini? Padahal di kelas, guru baik guru PPPK yang penuh waktu apalagi yang berstatus guru honorer yang katanya sebentar lagi akan dilantik jadi PPPK Paruh waktu mengajar dengan beban yang sama: menyiapkan administrasi, mengelola pembelajaran, membimbing akhlak, menghadapi tantangan sosial peserta didik. Namun, ketika berbicara soal pengakuan dan jaminan kesejahteraan, mereka yang paling sering berada di barisan belakang.
Refleksi di Hari Guru Nasional ke-80
Momentum Hari Guru Nasional seharusnya menjadi panggung besar bagi negara untuk menegaskan komitmennya kepada guru. Namun di lapangan, perayaan itu sering hanya terasa sebagai seremoni: pidato, spanduk, dan foto seremoni.
Sementara itu, guru masih bertanya-tanya:
• Apakah pengabdian kami sebagai guru honorer yang sudah bertahun tahun tidak cukup untuk membuka mata pemerintah supaya memperhatikan kami?
• Apakah kami Guru yang sudah berstatus PPPK tidak cukup layak mendapatkan perlindungan pensiun dan jaminan sosial?
• Apakah pengabdian kami dianggap kurang "resmi" dibandingkan PNS?
• Sampai kapan status kami digantung, sementara tuntutan profesi terus meningkat?
Hari Guru seharusnya menjadi panggilan bagi kita semua untuk menuntaskan pekerjaan rumah besar: menghapus ketimpangan kesejahteraan antar guru.
HUT ke-80 PGRI 2025: Harapan Atau Sekadar Perayaan?
Menjelang perayaan 80 tahun berdirinya PGRI, banyak guru berharap ini bukan sekadar acara seremonial lainnya. PGRI—sebagai organisasi guru tertua dan terbesar—memikul mandat moral untuk memperjuangkan kejelasan status, perlindungan, dan kesejahteraan semua guru, termasuk PPPK.
Mereka tidak menuntut sesuatu yang berlebihan. Mereka hanya meminta:
• kepastian status,
• jaminan kesejahteraan,
• perlindungan sosial yang adil,
• serta penghargaan atas pengabdian mereka.
Sebagai tokoh perjuangan pergerakan guru, saya melihat HUT ke-80 PGRI harus menjadi titik balik. Jangan biarkan ini menjadi tahun penuh ucapan manis, tetapi miskin aksi nyata. PGRI Cabang Sukabumi harus lebih berani bersuara, tidak hanya mengawal kebijakan, namun juga menggugat ketidakadilan yang dialami guru honorer dan PPPK.
Pendidikan Maju Tidak Bisa Berdiri di Atas Ketidakadilan
Kabupaten Sukabumi memiliki mimpi besar dalam sektor pendidikan. Namun mimpi itu tak akan tercapai jika para guru masih terpecah dalam perlakuan dan nasib. Ketimpangan yang dibiarkan hanya akan melahirkan sistem yang rapuh, karena pendidikan yang kuat hanya bisa dibangun oleh guru yang sejahtera dan dihargai secara layak.
Negara boleh terus bicara tentang transformasi pendidikan. Namun transformasi sejati tidak akan lahir apabila kesejahteraan guru dibiarkan stagnan.
Baca Juga: Aksi Surya Insomnia Tambal Jalan Berlubang di Tangsel Viral, Ditonton 1,4 Juta Kali
Penutup: Sebuah Seruan Moral
Di usia ke-80 Hari Guru Nasional dan PGRI, saya ingin mengajak semua pihak—pemerintah daerah, organisasi profesi, dan masyarakat—untuk melakukan refleksi mendalam.
Guru bukan sekadar “tenaga kontrak." Mereka adalah pilar pendidikan. Mereka menghibur anak-anak ketika kesulitan belajar. Mereka membangun karakter generasi masa depan. Mereka menjaga harapan bangsa tetap menyala.
Jika bangsa ini benar-benar menghormati guru, maka penghormatan itu harus tampak dalam kebijakan, bukan hanya dalam kata-kata.
Karena guru tidak hanya butuh ucapan terima kasih.
Guru butuh keadilan.






