Ancaman Kepunahan dan Asa di Balik Indah Pesona Rafflesia

Sukabumiupdate.com
Selasa 25 Nov 2025, 08:38 WIB
Ancaman Kepunahan dan Asa di Balik Indah Pesona Rafflesia

Ancaman Kepunahan dan Asa di Balik Indah Pesona Rafflesia. (Sumber: x)

SUKABUMIUPDATE.COM - Penemuan mengejutkan baru-baru ini oleh para peneliti dari University of Oxford yang mengidentifikasi sekitar 20 spesies Rafflesia baru yang belum terdeskripsi dan menyimpulkan bahwa semua spesies Rafflesia yang diketahui saat ini berada dalam status terancam punah, menjadi peringatan keras bagi upaya konservasi di Asia Tenggara.

Ironisnya, di tengah kabar ini, Indonesia melalui para penelitinya, termasuk Joko Ridho Witono dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), terus berjuang mengungkap dan melindungi keajaiban botani yang rapuh ini. Kesenjangan antara potensi penemuan dan ancaman kepunahan menyoroti urgensi konservasi, di mana ekowisata muncul sebagai salah satu strategi kunci untuk menyelamatkan "bunga bangkai" yang memukau ini.

Para peneliti Indonesia, seperti Joko Ridho Witono, telah lama berada di garis depan eksplorasi dan studi Rafflesia. Dedikasi mereka telah menghasilkan temuan signifikan, mulai dari deskripsi spesies baru seperti Rafflesia zollingeriana di Jawa Timur yang sempat dianggap punah, hingga pendokumentasian rekor dunia Rafflesia tuan-mudae dengan diameter 111 cm di Sumatera Barat. Mereka tidak hanya mengidentifikasi dan mengklasifikasikan spesies, tetapi juga menyelami kompleksitas siklus hidup Rafflesia yang unik sebagai parasit holotropik bergantung sepenuhnya pada inang liana dari genus Tetrastigma.

Penelitian taksonomi yang cermat, seperti yang dilakukan BRIN, menjadi sangat vital. Dengan puluhan spesies baru yang diindikasikan oleh riset Oxford, kemampuan untuk membedakan dan memahami setiap entitas Rafflesia menjadi fondasi untuk strategi konservasi yang tepat sasaran. Setiap spesies memiliki keunikan genetik dan mungkin preferensi inang yang berbeda, menuntut pendekatan konservasi yang disesuaikan.

Baca Juga: Suara Tapal Batas Jabar Di HGN 2025: Keberhasilan Kami Diukur dari Keberhasilan Siswa di Masa Depan

Setelah 17 Tahun, Ahli Botani Ini Temukan Rafflesia Banaona Langka di Hutan Kalinga, FilipinaAhli Botani Oxford bersama tim penelti Indonesia Temukan Rafflesia Banaona Langka di Hutan Kalinga, Filipina

Selain itu, Protes keras dari kalangan netizen dan beberapa komunitas ilmiah lokal di Twitter (X) sempat mewarnai respons terhadap publikasi tim Oxford mengenai status kritis genus Rafflesia, terutama yang berfokus pada spesies di Filipina. Kritik utama yang dilontarkan adalah dugaan adanya kegagalan menghormati pengetahuan lokal (epistemic injustice) dan minimnya penyebutan (atau atribusi) yang memadai terhadap kontribusi para peneliti Filipina yang telah lama bekerja di lapangan, termasuk temuan dan deskripsi spesies Rafflesia endemik di negara tersebut.

Netizen menyoroti bahwa walaupun riset Oxford menggunakan data komprehensif, narasi yang dibangun oleh lembaga riset Barat seringkali mengabaikan atau meminggirkan peran peneliti lokal dalam eksplorasi dan konservasi keanekaragaman hayati, memicu perdebatan sengit tentang etika kolaborasi ilmiah global dan representasi data dari negara-negara berkembang.

Mengapa Rafflesia Terancam?

Temuan Oxford yang menyimpulkan semua Rafflesia terancam punah bukan isapan jempol. Sebagian besar spesies Rafflesia, termasuk Rafflesia arnoldii yang berstatus Rentan (Vulnerable) dalam Daftar Merah IUCN, menghadapi ancaman multidimensional:

  1. Kehilangan dan Fragmentasi Habitat: Penebangan hutan, konversi lahan menjadi perkebunan sawit atau pertanian, serta pembangunan infrastruktur memusnahkan habitat alami Rafflesia dan, yang lebih penting, inang liananya. Fragmentasi memecah populasi menjadi kelompok-kelompok kecil yang terisolasi, menghambat penyerbukan dan mengurangi keragaman genetik.
  2. Siklus Hidup yang Unik dan Rapuh: Ketergantungan total pada inang, masa mekar yang sangat singkat (hanya 5-7 hari), dan proses reproduksi yang kompleks membuat Rafflesia rentan terhadap gangguan sekecil apa pun.
  3. Tekanan Antropogenik: Selain kehilangan habitat, ada ancaman dari koleksi ilegal atau kerusakan yang tidak disengaja oleh pengunjung yang tidak bertanggung jawab.

Ahli Botani Oxford Temukan Rafflesia Langka Peringatkan 60% Spesies Terancam Punah (Credit Foto:@thorogoodchris1/X.com)Ahli Botani Oxford Temukan Rafflesia Langka Peringatkan 60% Spesies Terancam Punah (Credit Foto:@thorogoodchris1/X.com)

Di sinilah peran ekowisata menjadi dilematis sekaligus menjanjikan. Dengan mekarnya Rafflesia yang selalu menjadi daya tarik, ekowisata memiliki potensi besar untuk berkontribusi pada konservasi:

  • Nilai Ekonomi untuk Masyarakat Lokal: Melibatkan masyarakat sekitar lokasi Rafflesia sebagai pemandu wisata atau penjaga lokasi mekar dapat memberikan pendapatan alternatif. Ini mengubah Rafflesia dari sekadar "bunga bangkai" menjadi sumber penghidupan, memberikan insentif langsung bagi masyarakat untuk melindungi hutan dan isinya.
  • Edukasi dan Kesadaran Publik: Ekowisata menyediakan platform untuk mengedukasi pengunjung tentang pentingnya Rafflesia, ancaman yang dihadapinya, dan peran yang dapat dimainkan setiap individu dalam konservasi.
  • Pemantauan dan Perlindungan: Kehadiran pemandu lokal dan wisatawan dapat secara tidak langsung berfungsi sebagai sistem pemantauan terhadap aktivitas ilegal di dalam hutan.

Namun, ekowisata juga memiliki sisi gelap jika tidak dikelola dengan baik. Oleh karena itu, implementasi ekowisata harus dilakukan secara bertanggung jawab dan berkelanjutan, dengan pengaturan pengunjung yang ketat dan pembangunan jalur yang jelas.

Baca Juga: Bantah Hoax Kekeringan, Warga Sebut Kehadiran Pabrik Aqua Justru Permudah Akses Air Bersih

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memegang peran sentral dalam memastikan Rafflesia tidak menjadi sekadar legenda masa lalu. Selain konservasi in-situ melalui pemetaan populasi dan dukungan penetapan kawasan lindung, fokus utama BRIN saat ini adalah menaklukkan tantangan terbesar: konservasi ex-situ.

Para peneliti giat berupaya keras melalui riset kultur jaringan untuk menemukan formula ajaib menumbuhkan Rafflesia tanpa liana inangnya, atau paling tidak, mengembangkan teknik perbanyakan liana inang yang sudah terinfeksi secara buatan di kebun raya. Terobosan ini, meski sulit dicapai karena sifat parasit Rafflesia yang unik, merupakan satu-satunya jalan untuk memiliki back-up genetik jika populasi di alam liar runtuh.

Dengan demikian, ancaman kepunahan global yang diangkat oleh Oxford tidak disambut dengan kepasrahan, melainkan dengan peningkatan intensitas penelitian. BRIN tidak hanya berupaya melindungi Rafflesia yang sudah ada, tetapi juga berusaha merekayasa masa depan spesies ini melalui ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kolaborasi penelitian taksonomi (yang membedakan spesies) dan upaya bioteknologi konservasi (yang mencoba menumbuhkannya) adalah punchline Indonesia dalam menjawab krisis keanekaragaman hayati. Melindungi Rafflesia bukan hanya tentang menjaga keindahan, tetapi tentang mengamankan salah satu misteri botani terbesar di dunia, menjadikannya simbol daya saing ilmiah Indonesia di kancah global.

Editor :
Berita Terkait
Berita Terkini