Saat Keadilan Terhambat Prosedur

Sukabumiupdate.com
Sabtu 22 Nov 2025, 19:45 WIB
Saat Keadilan Terhambat Prosedur

Ilustrasi untuk artikel opini berjudul Saat Keadilan Terhambat Prosedur. (Sumber Foto: Google Gemini/AI)

Oleh: Hamidah, Praktisi Pendidikan

Kasus dugaan pelecehan oleh seorang guru di Surade yang kabarnya terjadi delapan tahun lalu kembali mencuat setelah beberapa korban akhirnya berani bersuara. Mereka membawa cerita yang serupa, pola yang sama, dan luka yang selama bertahun-tahun disimpan dalam diam. Namun, ketika laporan resmi diajukan, proses hukum menghadapi tembok prosedural: tidak adanya visum, minimnya bukti fisik, dan lamanya jeda waktu membuat kasus ini dinilai “kurang cukup bukti”.

Di sinilah persoalannya: hukum membutuhkan bukti, sementara korban menyimpan trauma. Dua realitas yang sering tidak saling bertemu.

Kasus kekerasan seksual, terutama yang melibatkan relasi kuasa seperti guru dan murid, hampir selalu menyimpan dinamika yang kompleks. Banyak korban baru mampu berbicara setelah waktu yang sangat lama — ketika mereka sudah dewasa, lebih aman secara emosional, atau ketika ada orang pertama yang berani membuka suara sehingga korban-korban lain merasa tidak sendirian. Mereka bukan terlambat; mereka baru kuat.

Sayangnya, sistem hukum kita masih menempatkan visum atau bukti fisik sebagai penentu utama. Padahal dalam banyak kasus lama, bukti semacam itu sudah tidak mungkin didapatkan. Sementara itu, kesaksian korban yang konsisten — satu hal yang seharusnya punya bobot — seringkali dianggap kurang cukup kuat untuk menjerat pelaku.

Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar: sampai kapan suara korban harus kalah oleh rigidnya prosedur? Mengapa testimoni banyak korban yang saling menguatkan tidak bisa menjadi pintu pembuka keadilan? Kita tidak sedang membicarakan satu pengakuan tunggal, melainkan rangkaian kisah yang saling menegaskan pola perilaku pelaku.

Tentu saja proses hukum tidak boleh sembrono. Namun, penegakan hukum juga tidak boleh kaku sehingga justru menciptakan ruang aman bagi pelaku. Karena pada akhirnya, ketidakmampuan sistem menindak pelaku bukan hanya kegagalan pada korban, tapi juga kegagalan melindungi generasi berikutnya.

Ketika bukti fisik sudah tak mungkin dihadirkan, negara seharusnya mulai memberi ruang lebih besar bagi bukti psikis, testimoni berulang, serta asesmen ahli. Keadilan tidak boleh hanya bergantung pada apa yang terlihat—kadang, yang tak terlihat justru lebih nyata dalam kehidupan para korban.

Kasus ini adalah alarm keras bahwa reformasi prosedur dalam menindak kekerasan seksual bukan lagi kebutuhan, melainkan urgensi. Suara para korban sudah cukup lama tenggelam; kini saatnya negara memastikan suara itu benar-benar punya tempat untuk didengar dan dipercaya.

Sukabumi, 22 November 2025

Berita Terkait
Berita Terkini