Jam 6 Teng, Guru Nur Aini

Sukabumiupdate.com
Selasa 25 Nov 2025, 08:38 WIB
Jam 6 Teng, Guru Nur Aini

Ilustrasi Guru Nur Aini | Foto : ChatGPT

Oleh : Edhy Aruman, Jurnalis Senior

Di sebuah rumah kecil di Bangil, seorang perempuan bernama Nur Aini bangun sebelum cahaya fajar sempat memantul di jendela. Rumahnya masih sunyi.

Sementara banyak orang masih terlelap, ia sudah berdiri di dapur, menyiapkan dirinya untuk perjalanan panjang yang tidak pernah benar-benar ia pilih, tetapi selalu ia jalani dengan hati yang sama: hati seorang guru.

Udara pagi masih menusuk ketika ia melilitkan kerudung dan merapikan seragam yang warnanya sudah memudar. Bukan karena usia, tetapi karena terlalu sering bergesekan dengan angin dingin pegunungan Tosari.

Di tangannya ada tas berisi buku, map, dan alat tulis yang mungkin sederhana, tetapi menjadi bekal paling berharga bagi murid-muridnya di SDN II Mororejo.

Pukul 05.30, ketika sebagian besar anak-anak masih dibuai mimpi, Nur Aini sudah berada di atas motor, atau duduk di boncengan suaminya, atau menunggu ojek yang datang dari ujung gang.

Tujuannya selalu sama: sekolah yang berada 57 kilometer dari rumahnya. Sebuah perjalanan yang menanjak sepanjang perbukitan Bromo, berliku, berkabut, dan terkadang dinginnya terasa seperti menggigit ujung jari.

Setiap hari ia menghabiskan lebih dari 100 kilometer perjalanan pulang-pergi untuk sampai ke kelas kecil yang menunggunya.

Murid-muridnya mungkin tidak tahu betapa panjang perjalanan gurunya. Mereka hanya melihat senyum sabar yang menyambut mereka setiap pagi, seolah tidak ada rasa lelah sedikit pun.

Baca Juga: 35 Quotes Hari Guru Bahasa Inggris Beserta Artinya: Penuh Makna dan Menyentuh Hati

Namun tubuh manusia selalu punya batas.

Di balik senyum itu, Nur Aini menyimpan rasa sakit yang ia sembunyikan dari murid-murid. Tubuhnya semakin sering sakit karena jarak yang jauh dan perjalanan yang melelahkan.

Tetapi yang lebih menyakitkan adalah ketika ia merasa tidak hanya diuji oleh jalanan berkelok Bromo, tetapi juga oleh sesama manusia.

Absensinya, kata Nur Aini, sering direkayasa. Hari-hari ia hadir dicatat seakan ia tidak ada. Tanda tangannya muncul dalam pinjaman koperasi yang tidak pernah ia ajukan.

Sebagian gajinya dipotong untuk cicilan yang bukan miliknya. Ia mencoba menyampaikan, mengadu, bertanya—tetapi jawabannya selalu mengambang, hilang, lenyap begitu saja.

Ia merasa sedih. Ia merasa kecil. Dan di satu titik, ia merasa benar-benar sendirian.

Bukan hal yang mudah bagi seorang guru untuk mengakui bahwa ia lelah. Guru terbiasa memberi semangat, bukan meminta dukungan. Tetapi Nur Aini akhirnya duduk di depan kamera podcast, memulai cerita yang tidak pernah ia bayangkan akan ia ceritakan.

Saat videonya viral, dunia tiba-tiba menoleh. Banyak yang bersimpati, banyak yang tergerak, tetapi ada juga suara-suara lain; keraguan, cibiran, tuduhan.

Publik bicara, pemerintah bicara, media sosial bergema, dan tiba-tiba hidupnya berubah menjadi ruang yang terlalu terang untuk seorang guru yang hanya ingin didengar.

Bupati Pasuruan pun turut angkat suara. Ia mengingatkan pentingnya bersikap bijak di media sosial dan menegaskan bahwa Nur Aini sedang menjalani pemeriksaan kedisiplinan.

Ia meminta masyarakat tidak terburu-buru menilai. Dalam dunia nyata yang keruh, kebenaran memang jarang hitam atau putih.

Dan di tengah hiruk pikuk opini, Nur Aini, seorang perempuan biasa yang hanya ingin mengajar dekat rumah, berdiri di antara dua arus besar: harapan dan keraguan.

Namun di balik semua ini, ada sisi lain dari kisah Nur Aini yang tidak muncul dalam berita.
Di balik semua kegaduhan, ia tetap bangun pagi. Ia tetap menempuh perjalanan yang sama.

Ia tetap tersenyum pada murid-muridnya—anak-anak kecil yang mungkin menjadi satu-satunya alasan ia bertahan.

Ada sesuatu yang sangat manusiawi tentang itu: tentang seorang perempuan yang ingin melakukan pekerjaannya dengan baik, tetapi harus berjuang lebih keras daripada yang seharusnya.

Nur Aini bukan simbol kesempurnaan. Ia juga bukan tokoh yang ingin menjadi pahlawan. Ia hanya seorang guru yang ingin pulang ke rumah tanpa membawa beban ketidakadilan di pundaknya.

Ia ingin mengajar, tetapi tidak ingin dihancurkan oleh sistem yang seharusnya melindungi.

Di negeri ini, ribuan guru mungkin tidak viral seperti dirinya. Ribuan lainnya berjalan sendirian, menyimpan cerita yang tak pernah diceritakan. Tetapi hari ini, melalui kisah Nur Aini, kita diingatkan bahwa guru bukanlah mesin ilmu pengetahuan. Mereka manusia; dengan keluarga, rasa lelah, rasa takut, dan harapan.

Dan di titik itulah, kisah Nur Aini menjadi sangat berarti.

Ia mengajarkan kita bahwa keberanian bukan hanya soal memperjuangkan kebenaran, tetapi juga tentang mengaku bahwa manusia pun punya batas.

Bahwa guru yang mengajar anak-anak bangsa juga pantas mendapatkan perlindungan, keadilan, dan jarak yang tidak menghabiskan hidup mereka di jalan.

Hari ini, Nur Aini masih menunggu kepastian. Tetapi keberaniannya sudah memberi suara bagi banyak guru yang diam selama ini. Dan mungkin, dari seorang perempuan yang bangun sebelum matahari, kita belajar sesuatu:

Bahwa pendidikan bukan hanya soal buku, tetapi tentang keberanian seorang guru untuk tetap berdiri, meski dunia terasa berat di pundaknya.

Berita Terkait
Berita Terkini