Soeharto: Pahlawan dengan Tanda Tanya

Sukabumiupdate.com
Rabu 12 Nov 2025, 13:05 WIB
Soeharto: Pahlawan dengan Tanda Tanya

Presiden RI ke 2, Soeharto (Sumber: dok negara)

Oleh: Boby es-Syawal el-Iskandar

PENGANUGERAHAN Gelar Pahlawan Nasional kepada mantan Presiden Soeharto pada peringatan Hari Pahlawan Nasional pada tanggal 10 November 2025 tetap menjadi salah satu keputusan yang paling mengundang perdebatan. Gelar ini memaksa bangsa Indonesia untuk kembali merenungkan cara terbaik dalam memaknai sejarahnya yang kompleks. Di tengah hiruk-pikuk pro dan kontra, penulis berpijak pada sebuah prinsip kebijaksanaan: "Orde Baru bisa saja salah, tetapi era reformasi juga belum tentu benar." Prinsip ini mengajak kita untuk keluar dari jebakan dikotomi hitam-putih dan menilai warisan Soeharto secara lebih utuh dan kontekstual, dengan melihat jasanya yang tidak terbantahkan maupun dosa sejarahnya yang tidak boleh diabaikan. Pemberian gelar ini, yang telah diusulkan sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, hendaknya dipandang sebagai pengakuan atas kontribusi historis, bukan pembenaran atas segala tindakannya.

Warisan Kelam: Mempertanggungjawabkan Dosa Sejarah

Mustahil membahas Soeharto tanpa mengakui warisan kelam yang menyertai 32 tahun pemerintahannya. Rezim Orde Baru membawa konsep stabilitas dengan harga yang sangat mahal: pengebirian demokrasi, penyempitan ruang kebebasan sipil, dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang sistematis. Peristiwa 1965-1966, Penembakan Misterius (Petrus), penanganan konflik di Timor Timur, Aceh, dan Papua, serta penculikan aktivis, adalah luka kolektif yang masih membekas dalam memori bangsa. Praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang merajalela telah membentuk budaya koruptif yang masih sulit diberantas hingga hari ini. Inilah sisi "salah" dari Orde Baru yang menjadi alasan utama penolakan terhadap pemberian gelar pahlawan. Bagi korban dan keluarganya, gelar ini dianggap menginjak-injak nilai keadilan dan mengubur harapan untuk memperoleh rekonsiliasi.

Pondasi Pembangunan: Mengakui Jasa yang Tak Terbantahkan

Namun, di sisi lain, menutup mata terhadap kontribusi Soeharto sama kelirunya dengan mengabaikan kesalahannya. Pasca kekacauan politik dan ekonomi era Demokrasi Terpimpin, Soeharto dan Orde Baru-nya berhasil membawa stabilitas yang menjadi pondasi bagi pembangunan ekonomi. Indonesia yang sempat mengalami hiperinflasi berhasil dibawa menuju swasembada pangan, bahkan meraih penghargaan dari FAO pada 1984. Pembangunan infrastruktur—dari jalan, jembatan, hingga sekolah dan puskesmas—digerakkan secara masif hingga ke pelosok negeri. Program Keluarga Berencana (KB) sukses menekan laju pertumbuhan penduduk, yang berkontribusi signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan keluarga. Dari kacamata ini, gelar "Bapak Pembangunan" yang disandangnya bukanlah isapan jempol belaka. Ia meletakkan dasar-dasar ekonomi modern Indonesia dan meningkatkan taraf hidup jutaan rakyat pada masanya.

Mencari Kebenaran di Antara Dua Era: Sebuah Refleksi Kritis

Di sinilah prinsip "Orde Baru bisa saja salah, tetapi era reformasi juga belum tentu benar" menemukan relevansinya. Kita mudah menghakimi masa lalu dengan standar moral dan informasi masa kini. Orde Baru memang salah dalam banyak aspek, khususnya HAM dan demokrasi. Namun, apakah era Reformasi yang menggantikannya telah sepenuhnya "benar"? Kebebasan yang kita nikmati kini sering disertai dengan politik identitas yang tajam dan hoaks yang merajalela. Korupsi tidak hiladalam, tetapi hanya berubah bentuk. Kesenjangan ekonomi masih lebar, dan penegakan hukum sering dipertanyakan. Dengan menyadari bahwa "kebenaran" tidak mutlak berada di satu era, kita menjadi lebih rendah hati dalam menilai sejarah. Pemberian gelar pahlawan bukanlah pembenaran atas kesalahan Orde Baru, melainkan pengakuan bahwa dalam sebuah periode yang kelam sekalipun, terdapat karya nyata yang membentuk Indonesia modern. Ini adalah wujud kedewasaan bangsa untuk menyimpan dua memori yang bertolak belakang dalam satu ingatan kolektif.

Kesimpulan: Pahlawan dengan Catatan Kaki untuk Masa Depan

Pada akhirnya, Soeharto adalah cermin dari kompleksitas Indonesia sendiri. Pemberian Gelar Pahlawan Nasional kepadanya harus dipahami bukan sebagai titik akhir perdebatan, melainkan sebagai undangan untuk terus berdialog dengan sejarah kita secara lebih bijak. Kita diajak untuk menghargai prestasi tanpa melupakan dosa, dan mengkritik kesalahan tanpa buta terhadap jasa. Seperti kata hikmah, "Ambillah yang baik dan tinggalkanlah yang buruk." Figur Soeharto mengajarkan bahwa kepemimpinan nasional penuh dengan trade-off dan pilihan sulit. Warisannya, baik yang terang maupun yang gelap, menjadi pelajaran berharga bagi generasi sekarang dan mendatang untuk membangun Indonesia yang tidak hanya stabil dan sejahtera, tetapi juga adil, demokratis, dan menghormati martabat setiap warganya. Dengan demikian, Soeharto tetap dikenang sebagai pahlawan, tetapi dengan catatan kaki yang panjang yang memuat pelajaran untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Sukabumi, 11 November 2025

Editor :
Berita Terkait
Berita Terkini