Cibadak, Ci-nya Ada! Badaknya Nggak Ada? Bongkar Jejaknya di Tatar Sunda!

Sukabumiupdate.com
Minggu 28 Sep 2025, 17:39 WIB
Cibadak, Ci-nya Ada! Badaknya Nggak Ada? Bongkar Jejaknya di Tatar Sunda!

Keberadaan nama Cibadak yang tersebar di penjuru Jawa Barat, dari Sukabumi hingga Ciamis, bukanlah suatu kebetulan, melainkan warisan kearifan toponimi Sunda yang bersifat deskriptif. (Ilustrasi AI, Prompting:ChatGPt)

SUKABUMIUPDATE.com - Sabda alam sering kali tidak berwujud gemuruh, melainkan terawetkan tanpa formalin dalam bisikan nama. Di Jawa Barat, nama Cibadak menyajikan sebuah paradoks sunyi. Ia adalah nama besar yang berarti "Sungai Badak," namun kini, tak ada lagi badak yang minum di alirannya. Di manakah Sang Raja Sungai yang perkasa itu menghilang? Ini adalah penelusuran tentang jejak yang hilang, tentang sejarah ekologi Nusantara, khususnya di tatar Sunda yang tercetak langgeng dalam sebuah kata.

Keberadaan nama Cibadak yang tersebar di penjuru Jawa Barat, dari Sukabumi hingga Ciamis, bukanlah suatu kebetulan, melainkan warisan kearifan toponimi Sunda yang bersifat deskriptif. Nama ini, yang secara harfiah berarti "Sungai Badak", lahir dari sebuah pola penamaan yang sederhana namun bermakna dalam, di mana suatu lokasi dicirikan berdasarkan fenomena alam yang menonjol di masa lalu dalam hal ini, kemungkinan besar keberadaan atau jejak badak Jawa di dekat aliran sungai.

Popularitas nama ini, yang melekat pada setidaknya lima lokasi administratif utama seperti Kecamatan Cibadak di Sukabumi serta berbagai desa dan kelurahan di Bogor, Cianjur, Bandung, dan Ciamis, justru membuktikan betapa umumnya hewan perkasa itu dahulu menjalin keberadaannya dengan bentang alam Provinsi Jawa Barat, sebelum akhirnya hanya meninggalkan jejaknya yang paling abadi, naon deui jika bukan nama.

Baca Juga: Dewan Pers Soal Istana Cabut ID Card Reporter CNN, Gegara Tanya MBG ke Prabowo

Ketika Badak Menjadi "Ci"

Lima abad lalu, hutan rimbun membentang di Jawa Barat. Di sana, Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) adalah pemegang tahta. Dengan kulit lapis baja dan cula tunggal yang anggun, ia adalah arsitek ekosistem, makhluk perkasa yang kehadirannya diakui oleh penduduk setempat.

Masyarakat Sunda memiliki kearifan dalam menamai dunia mereka. Sungai adalah urat nadi (Ci). Ketika mereka mengamati badak menjadikan sungai tertentu sebagai habitat tetapnya, mereka memberinya nama Cibadak.

Pada masa itu, Cibadak adalah sebuah foto realitas sebuah deskripsi lugas yang dapat disaksikan mata. Nama ini bukan sekadar identitas, melainkan pengakuan atas biodiversitas yang melimpah, di mana manusia dan satwa berbagi ruang dengan harmonis.

Fosil Linguistik dan Kesunyian Ekologis

Seiring waktu, keseimbangan itu runtuh. Pembukaan hutan, perburuan cula yang masif, dan ledakan populasi manusia mendesak Badak Jawa. Mereka terfragmentasi, terdesak, dan akhirnya menghilang total dari lanskap Cibadak.

Cibadak pun berubah. Dari rumah, ia menjadi nisan tanpa jasad. Nama itu tetap melekat di peta dan di bibir penduduk, tetapi makna aslinya telah menguap. Yang tersisa hanyalah fosil linguistic sebuah jejak memori yang terawetkan dalam bahasa, membuktikan bahwa dahulu, tempat ini adalah rumah bagi sang raja.

Baca Juga: Marc Marquez Mengunci Gelar Juara Dunia MotoGp 2025

Nama tempat seperti Cibadak mengajarkan kita bahwa geografi bisa menjadi saksi kepergian, seperti Cimacan ("Sungai Harimau")saksi bisu hilangnya Harimau Jawa, Pasirlandak ("Bukit Landak") refleksi hilangnya mamalia kecil dari habitat lamanya, atau Pasiripis (“Bukit Tipis”) Berarti bukit atau gunung kecil. Nah! Nama-nama ini adalah toponimi Sunda yang berfungsi sebagai prasasti ekologis kita.

Kini, Cibadak adalah kota yang sibuk, dan generasi baru tumbuh tanpa mengetahui arti harfiah namanya. Namun, bagi yang mau mendengar, nama Cibadak adalah sebuah bisikan dari masa lalu yang harus kita cermati.

Cibadak bercerita tentang sebuah era di mana kita harus berbagi ruang dengan makhluk sekuat badak. Ia adalah pengingat abadi bahwa kekayaan alam Nusantara begitu luar biasa, sebuah kekayaan yang kini hanya tersisa dalam ejaan.

Jadi, di manakah Sang Raja Sungai yang hilang? Secara fisik, ia telah mengungsi, mencari perlindungan terakhirnya di Taman Nasional Ujung Kulon, berjuang melawan kepunahan. Tetapi secara metaforis, tetap hadir di dalam nama.

Baca Juga: IDAI Desak Pemerintah Bentuk Tim Mitigasi Keracunan Makanan di Program MBG

Cibadak adalah warisan yang tak ternilai. Ia menantang kita untuk merenung: Lanskap mana lagi yang akan kehilangan "badak"-nya, dan nama apa yang akan kita wariskan besok? Dengan menghargai arti di balik Cibadak, kita mungkin bisa lebih bijak melindungi sisa-sisa "Cikancra" (Sungai Ikan Mas) atau "Cikawung" (Sungai Enau/Nira) sebelum mereka pun hanya menjadi nama sunyi di dalam peta.

Dua Mazhab Toponimi Sunda, Geologi versus Linguistik

  1. Bachtiar (dikenal sebagai Titi Bachtiar Geo) adalah seorang ahli terkemuka di bidang Geografi dan Toponimi Indonesia, khususnya yang berfokus pada wilayah Jawa Barat. Beliau dikenal karena pendekatannya yang lintas disiplin dalam mengkaji asal-usul nama tempat. T. Bachtiar memanfaatkan ilmu geografi, geologi, botani, zoologi, sejarah, dan bahasa untuk membaca dan merekonstruksi makna di balik toponimi.

Karyanya yang monumental, "Toponimi: Susur Galur Nama Tempat di Jawa Barat," menjadi rujukan penting. Fokus utamanya adalah menghubungkan penamaan suatu tempat dengan kondisi fisik dan alamiah kawasan tersebut, seperti formasi Cekungan Bandung atau potensi mitigasi kebencanaan. Kontribusinya diakui luas, dibuktikan dengan perolehan anugerah Bhumandala Nama Rupabumi dari Badan Informasi Geospasial (BIG).

Baca Juga: Stand Diarpus Sukabumi Hadirkan Sensasi Kopi, Dongeng Anak, dan Edukasi Kearsipan

Di sisi lain, terdapat pula akademisi dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), seperti Dr. Dede Kosasih, M.Si., yang sangat diakui dalam kajian Toponimi Masyarakat Sunda. Meskipun memiliki subjek kajian yang sama (toponimi Sunda), fokus akademisi UPI seringkali lebih menyoroti aspek linguistik, sosiologis, dan kultural dari penamaan tempat.

Mereka mengkaji secara rinci pola penamaan Sunda berdasarkan fitur biologis (tumbuhan dan hewan), sosial-kultural (profesi, legenda, atau kejadian), dan morfologis (bentuk kata), bertujuan untuk memperkuat kesadaran akademis mengenai kekayaan budaya dan bahasa yang terawetkan dalam nama-nama lokal. Kedua tokoh ini, T. Bachtiar dan akademisi dari UPI, sama-sama berperan penting dalam mempopulerkan dan mendokumentasikan warisan toponimi di Jawa Barat.

Artikel ini terinspirasi oleh kearifan toponimi Sunda dan dedikasi para konservasionis yang berjuang melestarikan warisan alam Nusantara.(Dari berbagai sumber)

Editor :
Berita Terkait
Berita Terkini