Mengapa Musik "Sabilulungan" Dinobatkan Netizen sebagai Lagu Sunda “Termahal" di Jawa Barat?

Sukabumiupdate.com
Jumat 26 Sep 2025, 08:55 WIB
Mengapa Musik "Sabilulungan" Dinobatkan Netizen sebagai Lagu Sunda “Termahal" di Jawa Barat?

Sebutan "Lagu Termahal" adalah metafora jenaka netizen merujuk pada tingginya biaya hajatan yang menyertai pemutaran musiknya, bukti unik bagaimana mahakrya Mang Koko berinteraksi dengan budaya digital (ilustrasi gambar: ChatGPT)

SUKABUMIUPDATE.com - Dalam beberapa tahun terakhir, sebuah fenomena unik viral di media sosial seperti TikTok, Instagram Reels, dan YouTube Shorts. Para pengguna internet yang terhormat, khususnya dari Jawa Barat, sering mengunggah video dengan sound lagu "Sabilulungan" dan menyematkan judul provokatif "Lagu Termahal."

Fenomena ini merujuk pada mahakarya abadi dari maestro karawitan Sunda, Mang Koko Koswara, yang liriknya secara filosofis menyerukan semangat persatuan dan gotong royong. Julukan "termahal" ini lahir bukan karena biaya hak cipta yang tinggi, melainkan sebuah metafora sosial yang unik.

Melodi agung yang mengalun lewat iringan Kecapi Suling atau Gamelan Degung ini telah bertransformasi menjadi penanda kultural yang tak terpisahkan dari momen paling berharga dan mewah di Tanah Sunda, yakni hajatan atau resepsi pernikahan besar.

Baca Juga: Warga Sukabumi Keracunan Lagi, Usai Santap Menu Makanan Acara Maulid Nabi di Lengkong

Inti dari Julukan: Harga Paket Kesenian, Bukan Harga Lagu

Sebutan "lagu termahal" sesungguhnya adalah metafora sosial yang merefleksikan tingginya biaya yang harus dikeluarkan untuk menggelar pertunjukan tradisional. Lagu ini hampir selalu menjadi bagian dari paket kesenian Sunda lengkap yang membutuhkan biaya sewa tinggi, bukan dimainkan secara sederhana.

  1. Kebutuhan Instrumen dan Seniman yang Lengkap

Alasan paling utama adalah lagu "Sabilulungan" mencapai keagungannya ketika dibawakan dengan iringan otentik, yang melibatkan pengeluaran signifikan:

  • Degung Klasik atau Modern: Membutuhkan satu set Gamelan Degung lengkap, sejumlah pangrawit (pemain instrumen), dan sinden profesional. Biaya sewa grup skala penuh untuk satu acara hajatan dapat mencapai jutaan hingga puluhan juta rupiah, tergantung popularitas dan kelengkapan grup.
  • Kecapi Suling: Meskipun terlihat lebih sederhana, format ini melibatkan seniman kecapi dan suling dengan keahlian khusus. Kualitas suara dan teknik mereka seringkali memiliki harga sewa premium.

Baca Juga: Sejarah Terulang! 29 Tahun Berselang, Adrie Subono Kembali Hadirkan Foo Fighters untuk Indonesia

Ketika "Sabilulungan" dimainkan, itu secara otomatis menunjukkan bahwa tuan rumah telah mengeluarkan biaya besar untuk menyewa keseluruhan paket kesenian tersebut. Biaya paket inilah yang secara kolektif diterjemahkan netizen sebagai "harga" lagu tersebut.

  1. Penanda Skala dan Kemewahan Hajatan

Di Tatar Sunda, menggunakan pertunjukan musik tradisional dalam sebuah resepsi pernikahan melambangkan penghormatan terhadap tradisi dan seringkali mencerminkan status sosial tuan rumah.

Lagu ini umumnya dimainkan pada momen-momen penting, seperti saat menyambut tamu kehormatan (patamu). Dengan demikian, lagu ini berfungsi sebagai "gerbang simbolis" yang secara tidak langsung mengumumkan skala dan kemewahan keseluruhan acara. Analisis netizen menjadi sederhana: "Kalau sudah dengar lagu Sabilulungan dengan iringan Degung, berarti hajatannya pasti gede (besar) dan modalnya mantap."

Aspek Emosional: Simbol Kedudukan yang Tak Tergantikan

Di luar perhitungan biaya, julukan "termahal" juga mencakup dimensi emosional dan identitas.Lagu "Sabilulungan" membawa semangat persatuan yang mendalam. Karena lagu ini konsisten digunakan dalam momen-momen paling sakral dan "mahal" (berharga) dalam kehidupan seseorang seperti pernikaha, maka frasa "termahal" menjadi bentuk apresiasi populer terhadap kedudukan lagu tersebut yang tak tergantikan.

Intinya: Sebutan "Lagu Termahal" adalah sebuah metafora jenaka dan tajam yang digunakan netizen untuk merujuk pada tingginya biaya event (hajatan) yang menyertai pemutaran musiknya. Ini adalah bukti unik bagaimana sebuah mahakarya tradisional dari Mang Koko dapat berinteraksi dengan budaya digital, mencerminkan realitas sosial-ekonomi dalam bingkai budaya Sunda.

Editor :
Berita Terkait
Berita Terkini