Tinjauan Sosiologis Program MBG: Multiplier Effect, Ketahanan Pangan dan Tantangannya

Sukabumiupdate.com
Kamis 30 Okt 2025, 13:43 WIB
Tinjauan Sosiologis Program MBG: Multiplier Effect, Ketahanan Pangan dan Tantangannya

Sahrul Anwar, Mahasiswa Pascasarjana Prodi Sosiologi Universitas Islam Negeri SGD Bandung | Foto : Dok. Pribadi

Oleh : Sahrul Anwar, Mahasiswa Pascasarjana Prodi Sosiologi Universitas Islam Negeri SGD Bandung

Makan Bergizi Gratis (MBG) sebagai salahsatu program strategis nasional sebagai wujud komitmen negara untuk memastikan tidak ada anak yang kelaparan atau gizi buruk (Stunting) demi terciptanya sumberdaya manusia yang berkualitas dalam menyongsong Indonesia emas 2045 telah menjadi sorotan diseluruh penjuru negeri. Dalam pelaksanaan Makan Bergizi Gratis (MBG) ini menjadi peluang menggerakkan ekonomi lokal—petani, nelayan, bisa menjadi aktor utama dalam menyokong kebutuhan pangan di setiap Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG).

Akan tetapi jika tidak dikelola dengan baik akan menjadi tantangan, bahkan ancaman, seperti krisis pangan. Bagaimana strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan ketersediaan pangan dan menjawab tantangan akan krisis pangan yang potensial dalam Program Makan Bergizi Gratis (MBG), dengan mempertimbangan tinjauan sosiologis?

Multiplier Effect Program Makan Bergizi Gratis

Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan program strategis nasional yang digalakkan pemerintah lewat Badan Gizi Nasional ialah sebagai bentuk jawaban atas persoalan gizi buruk di Indonesia. Dalam Perpres No. 83 Tahun 2025 (JDIH BPK RI, 2024) Tentang Badan Gizi Nasional dibentuk guna mempersiapkan sumberdaya manusia yang berkualitas—juga untuk memenuhi kebutuhan gizi bagi anak balita, anak sekolah, ibu hamil dan ibu menyusui.

Anak balita, anak sekolah, ibu hamil dan ibu menyusui—selanjutnya disebut sebagai penerima manfaat dihimpun oleh dapur makan bergizi gratis—disebut sebagai Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) dengan 3000-3500 penerima manfaat per satu SPPG.

Kita bisa mengkontekstualisasikan realitas ini dan kaitannya dengan persoalan pangan. Jika 1 Kg ayam itu 10 potong itu artinya harus ada 350 Kg ayam setiap hari untuk mencukupi kebutuhan 1 SPPG. Jika 1 sisir pisang ada 15 buah dan 1 tandan pisang meliputi 10 sisir, maka setiap hari harus ada sekitar 20-24 tandan pisang untuk mencukupi kebutuhan 1 SPPG.

Dirilis dari laman Badan Gizi Nasional, per tanggal 21 Oktober 2025, sudah ada 11.592 SPPG yang sudah beroperasi diseluruh Indonesia (Badan Gizi Nasional, 2025). Jika kita tarik korelasinya dengan bahasan diatas. Dibutuhkan berapa ribu ton ayam jika seluruh SPPG dalam satu hari yang sama memakai menu ayam dalam merealisasikan makan bergizi gratisnya hanya dalam satu hari? Dibutuhkan berapa ratus ribu tandan pisang jika seluruh SPPG memakai buah pisang hanya dengan satu hari? Dibutuhkan berapa ton ikan dan sayuran jika seluruh SPPG dalam satu hari yang sama memakai menu yang sama dalam satu hari?

Tentu jika kebutuhan atau permintaan pasar meningkat produksinya pun harusnya meningkat dan dari sisi pemasok barang pun ia menyerap tenaga kerja yang lebih banyak lagi.

Hal tersebut baru soal pangan, multiplier effect makan bergizi gratis (MBG) berkaitan dengan sumberdaya manusia dalam hal ini ialah relawan yang bekerja di SPPG. Jika 1 SPPG mempekerjakan sekitar 47 orang berarti sudah berapa ratus ribu orang yang bekerja di SPPG guna suksesi program makan bergizi gratis? Berapa puluh ribu orang pengangguran yang terserap kinerjanya dan berapa puluh ribu orang ibu-ibu yang bisa diberdayakan?

Kita bisa bayangkan ibu-ibu bekerja tidak hanya untuk mencukupi kebutuhan hidupnya tapi juga membantu ekonomi keluarganya. Kita bisa bayangkan beberapa pemuda di desa sangat antusias dengan adanya program makan bergizi gratis karena dia bisa berdaya dan bekerja untuk diri dan keluarganya. Tepat pada titik inilah bahwa kemudian program makan bergizi gratis bukan soal pengentasan gizi buruk (stunting) tapi ada efek domino secara sosio-ekonomi yang amat sangat luar biasa dan dirasakan sampai ke rakyat menengah ke bawah.

Baca Juga: Apresiasi Setahun Kepemimpinan Prabowo, Bupati Sukabumi: Program MBG Serap 10 Ribu Tenaga Kerja

Ketahanan Pangan, Tantangan, dan Resolusi

Ketahanan pangan merupakan konsep yang sangat penting dalam konteks program makan bergizi gratis (MBG) di Indonesia. Dalam hal ini, negara harus intervensi untuk memastikan pangan tersebar merata secara kualitas dan kuantitas. Namun untuk mencapai ketahanan pangan ini dibutuhkan upaya yang serius dan terintegrasi dalam meningkatkan produksi dan distribusi pangan. Karena jika tidak dikelola dengan baik program makan bergizi gratis (MBG) dalam kaitannya dengan ketahana pangan akan menjadi tantangan dan ancaman yang sangat serius diantaranya:

1. Keterbatasan sumber daya pangan lokal : seperti yang penulis dicontohkan diatas jika tidak diatur, diintervensi, dan dikelola dengan baik, bukan suatu hal yang mustahil kelangkaan atau krisis pangan atau lonjakan harga terjadi dan itu mengganggu stabilitas sosio-ekonomi.

2. Ketergantungan pada impor pangan : dalam hal ini satuan pelayanan pemenuhan gizi (SPPG) harus paham dalam pengelolaan anggaran belanja dan pemilihan bahan baku untuk selalu menggunakan produk lokal, selain membumikan konsep cinta tanah air—tetapi juga menjustifikasi konsep circular ecomony village yang merupakan blueprint program Makan Bergizi Gratis.

Dalam menjawab problem tersebut, setidak-tidaknya ada beberapa hal yang perlu dikedepankan yang menjadi strategi yang dapat dilakukan agar kemudian ketersediaan pangan terjaga dan rantai pasoknya ajeg dan stabil, yaitu sebagai berikut :

1. Pengembangan pertanian lokal : dalam hal ini Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) idealnya mendorong kepada stakeholder di daerahnya untuk sama sama terlibat aktif dalam suksesi program makan bergizi gratis (MBG). Seluruh elemen masyarakat diajak untuk menjadi pemasok bahan baku untuk makan bergizi gratis (MBG). Masyarakat tidak lagi bingung dengan menjual hasil berkebunnya kemana karena sangat memungkinkan untuk diserap oleh Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), dan ini hanya dimungkinkan ketika semua elemen bekerja.

2. Peningkatan kesadaran masyarakat : agar poin pertama tercapai, penitng kiranya untuk dilakukan semacam edukasi, memberikan pengarahan dan komunikasi yang intens dan terarah untuk kemudian membangunkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya penguatan ketahanan pangan tersebut.

3. Diversifikasi pangan : Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) mendorong penggunaan keanekaragaman pangan untuk mengurangi ketergantungan pada satu jenis pangan.

4. kerjasama antar lembaga : dalam hal ini pemerintah tidak mungkin programnya berjalan lancar jika tidak melibatkan stakeholder baik itu lembaga pemerintah, swasta masyarakat untuk mendukung program makan bergizi gratis (MBG) dan kaitannya dengan persoalan ketahanan pangan.

Monitoring evaluasi secara kontinuitas penting untuk dilakukan guna memastikan bahwa program makan bergizi gratis (MBG) berjalan dengan lancar.

Baca Juga: Bicara Deretan Dampak MBG di Sukabumi, Zainul Rekomendasikan SPPG Dievaluasi

Tinjauan Sosiologi atas Makan Bergizi Gratis

Talcott Parsons dengan empat sistem imperatif fungsional untuk semua sistem tindakan—AGIL (Ritzer, 2012). Suatu fungsi adalah kegiatan yang diarahkan kepada pemenuhan atau kebutuhan suatu sistem. Oleh karena itu, agar suatu sistem dapat lestari maka harus melaksanakan keempat fungsi tersebut:

1. Adaptation : Suatu sistem harus beradaptasi dengan lingkungannya dan kebutuhan-kebutuhannya;
2. Goal Attainment : Suatu sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya;
3. Integration : Suatu sistem harus mengatur dirinya sendiri dan bagian-bagiannya dari komponennya;
4. Latency : suatu sistem harus menyediakan pola, memperbaharui, serta memelihara dengan baik motivasi para individu maupun pola-pola budaya yang menopang motivasi tersebut.

Dalam hal ini kita bisa jelaskan bahwa setiap elemen masyarakat baik swasta, BUMDES, petani lokal, nelayan, peternak dan seluruh elemen yang terlibat harus mengadaptasikan dirinya dalam suksesi program Makan Bergizi Gratis. Kemudian semua system tersebut harus menyamakan persepsi dan merumuskan tujuannya bahwa yang dilakukan terkait penyadaran masyarakat terkait pentingnya ketahanan dan diservifikasi pangan untuk menjaga stabilitas sosio-ekonomi dalam relasinya dengan Makan Bergizi Gratis (MBG). Selanjutnya setiap sistem harus meregulasi dirinya sendiri melakukan monitoring evaluasi agar kemudian semuanya berfungsi dengan baik.

Kesimpulan

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) tidak hanya hadir sebagai solusi terhadap masalah gizi buruk dan stunting, tetapi juga memiliki multiplier effect yang signifikan terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. MBG menjadi instrumen negara—yang idak hanya mengentaskan persoalan gizi (Stunting) tetapi juga memperkuat ketahanan pangan nasional melalui penguatan ekonomi lokal, pemberdayaan petani, nelayan, dan pelaku usaha mikro, serta penciptaan lapangan kerja di berbagai daerah. Dengan demikian, program ini tidak hanya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan gizi, tetapi juga berfungsi sebagai mekanisme redistribusi ekonomi yang menstimulasi pertumbuhan sosial-ekonomi secara inklusif.

Namun demikian, program Makan Bergizi Gratis (MBG) juga membawa tantangan struktural yang harus diantisipasi, terutama berkaitan dengan ketersediaan sumber daya pangan, ketergantungan impor, dan potensi ketidakseimbangan rantai pasok pangan. Jika tidak dikelola secara komprehensif, kondisi tersebut dapat menimbulkan krisis pangan dan gejolak sosial-ekonomi. Oleh karena itu, strategi seperti penguatan pertanian lokal, diversifikasi pangan, peningkatan kesadaran masyarakat, kolaborasi antar lembaga, serta monitoring dan evaluasi berkelanjutan menjadi kunci utama dalam menjaga stabilitas dan keberlanjutan program Makan Bergizi Gratis (MBG)

Dalam perspektif sosiologi fungsional Talcott Parsons, keberhasilan MBG dapat dipahami melalui empat fungsi sistem sosial: Adaptation, Goal Attainment, Integration, dan Latency (AGIL). Masyarakat dan lembaga yang terlibat perlu beradaptasi dengan tuntutan baru, menetapkan tujuan bersama, menjaga integrasi sosial antaraktor, serta memelihara nilai dan motivasi kolektif yang menopang keberlangsungan program. Dengan berfungsinya keempat elemen ini secara harmonis, program MBG tidak hanya akan memastikan tercapainya gizi seimbang bagi seluruh warga negara, tetapi juga memperkuat solidaritas sosial dan menciptakan tatanan masyarakat yang lebih resilien dan berkeadilan.

Dengan demikian, Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan manifestasi dari integrasi antara kebijakan sosial, ekonomi, dan kultural yang merefleksikan tanggung jawab negara dalam membangun manusia Indonesia yang sehat, produktif, dan mandiri. Keberhasilannya bukan hanya diukur dari banyaknya penerima manfaat, tetapi dari sejauh mana program ini mampu membangun sistem sosial yang adaptif, inklusif, dan berkelanjutan dalam mewujudkan cita-cita Indonesia Emas 2045.

Referensi

Ritzer, George. (2012). “Structural Functionalism, Neofunctionalism, and Conflict Theory” in Sociological Theory (eight edition). Mc-Hill, USA.

Artikel/Sumber Internet:
Republik Indonesia. (2024). Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2024 tentang Program Makan Bergizi Gratis. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 83. Jakarta: Sekretariat Negara. Tersedia dalam https://peraturan.bpk.go.id/Details/295857/perpres/no-83-tahun-2024.

Badan Gizi Nasional (2025). Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi Nasional Operasional. Jakarta: Badan Gizi Nasional. Tersedia dalam https://www.bgn.go.id/operasional-sppg.

Berita Terkait
Berita Terkini