SUKABUMIUPDATE.com - Di sebuah warung kopi sederhana di Priangan Timur, senja mulai menyelimuti kota. Aroma kopi dan kupat tahu berbaur dengan obrolan ringan, namun percakapan antara seorang kakek dan cucunya menyentuh sesuatu yang lebih dalam dan hampir terlupakan, kearifan lokal dalam bentuk peribahasa Sunda.
"Nincak kana eusi, teu nincak kana wadah,” ujar Aki Surya (67) kepada Raka, cucunya yang sibuk dengan smartphone terbarunya. Raka tertegun. Peribahasa yang berarti “menginjak isi, bukan menginjak wadah” itu terdengar asing, namun sarat makna. Ini adalah salah satu dari sekian banyak peribahasa Sunda yang mulai tergerus zaman.
"Banyak anak muda sekarang yang seperti ngaliwat cai nu ngocor, teu ngaliwat leuwi nu jero,” lanjut Aki Surya. “Mereka hanya hidup di permukaan, belum banyak merasakan kedalaman pengalaman hidup."
Kekhawatiran Aki Surya beralasan, sebab menurutnya puluhan peribahasa Sunda bahakan ratusan yang penuh dengan nasihat, filosofi, dan panduan hidup kini jarang terdengar. Mereka adalah permata linguistik yang berisiko punah.
Dan dari obrolan tersebut, mari kita telisik 10+ peribahasa Sunda langka yang berhasil dihimpun, dikelompokkan berdasarkan tema untuk memudahkan pemahaman.
Baca Juga: Perkuat Gerakan Literasi, Diarpus Sukabumi Hadiri Pendampingan TBM di Cicurug
Filosofi Hidup dan Kebijaksanaan
Orang Sunda selalu diajarkan untuk hidup selaras. “Cai jadi saleuwi, taneuh jadi salebi,” kata orang tua dulu, mengajarkan arti kebersamaan dan gotong royong. Namun, manusia seringkali lupa diri dan serakah, ingin menguasai segalanya, atau dalam bahasa Sunda, “Munding dipusti peot, hayam dipusti luka.”
Dalam pergaulan, kita diingatkan untuk berhati-hati dengan ucapan. “Jangan sampai ngagebug hate, ngagebug basa,” nasihat Aki Surya. Perkataan yang menyakiti hati ibarat memukul dengan bahasa. Jika menghadapi masalah, janganlah plin-plan seperti “Lauk henteu dihakan, batu henteu dihulang”.
Kearifan tertinggi adalah mampu memilah. “Kudu bisa ngabedakeun naon anu dihakan jeung anu diulakan,” tegas Aki. Bedakan mana yang baik dan buruk. Jangan sampai kita “ngarampa gelap ngaliwatan paku”, mencari keselamatan justru melalui jalan berbahaya.
Baca Juga: Investasi di Kota Sukabumi Melonjak, Semester I Tembus Rp739 Milliar
Perilaku dan Watak Manusia
Aki Surya melanjutkan, banyak peribahasa yang menggambarkan watak manusia. Ada orang yang nekat, “Lauk ngalalana ngaliwatan jala”, berenang melewati jala yang justru akan menjebaknya. Ada pula yang beruntung tanpa diduga, “Siga supa tembong ku poek”, seperti jamur yang tumbuh subur di malam hari.
“Tapi waspadalah pada orang yang ceuli kuya, ceuli moyan,” katanya sambil tersenyum. Mereka adalah orang yang pura-pura tidak mendengar. Atau yang kerjanya hanya mencari kesalahan orang lain, “Ngali gali sesela, neangan paku hate”.
Yang paling berbahaya adalah mereka yang “ngarampa cai dina nyiru”, melakukan hal yang mustahil dan sia-sia, atau yang “leumpang ngemplok, carios ngemplok”, bertindak dan berbicara tanpa perhitungan.
Nasihat dan Petuah Bijak
Di akhir perbincangan, Aki Surya memberikan wejangan. “Hidup harus adil, ucing diimpakan, munding ditambangan. Beri sesuatu sesuai kebutuhannya.” Keahlian juga harus diasah hingga mendalam, hingga “ngareruh kana jukut raja”.
“Jangan pernah nyiar huntu nu henteu ompong,” pesannya. Jangan mencari-cari kesalahan orang yang tidak bersalah. Dan yang terpenting, “Kudu silih asih, silih asah, jeung silih asuh”. Ini adalah pondasi hidup bermasyarakat: saling mengasihi, mengasah ilmu, dan mengasuh.
Baca Juga: Rekap Hasil Pertandingan Liga Champions 2025/2026 di Pekan Pertama
Bagi Raka, sore itu adalah sebuah pencerahan. Perbendaharaan katanya tidak hanya bertambah, tetapi pemahamannya tentang hidup menjadi lebih dalam. Peribahasa langka ini bukan sekadar kata-kata indah, melainkan kompas moral yang telah menuntun generasi sebelumnya.
Melestarikannya bukan hanya tugas para sesepuh, tetapi juga tanggung jawab generasi muda. Sebelum semuanya benar-benar hilang, tertinggal hanya dalam ingatan, seperti “seuneu di ateul, haneut di cangkring” kehangatan yang hanya bisa dirasakan, tetapi sulit dijelaskan.
Pada akhirnya, apa yang disampaikan Aki Surya adalah pesan universal. Peribahasa Sunda ini mengajarkan kita untuk kembali ke akar, menghargai nilai-nilai luhur, dan hidup dengan penuh makna. Di tengah derasnya arus globalisasi, kita memiliki kesempatan untuk memastikan bahwa kearifan lokal ini tidak hanya menjadi kenangan, tetapi juga pedoman hidup bagi generasi mendatang. Mari kita mulai dari diri sendiri untuk mengenal dan menggunakan kembali peribahasa-peribahasa ini, menjadikannya jembatan antara masa lalu dan masa depan.