SUKABUMIUPDATE.com - Kasus akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh PT ASDP Ferry Indonesia telah memasuki sidang pembacaan Duplik dari tim pembela hukum terdakwa. Dalam kesempatan itu, Soesilo Ariwibowo selaku ketua tim kuasa hukum tiga mantan direksi PT ASDP Ferry Indonesia (Persero) menyampaikan pembelaannya di hadapan majelis hakim.
Soesilo Ariwibowo, menegaskan bahwa replik jaksa penuntut dalam kasus akuisisi PT Jembatan Nusantara tidak berdasar pada fakta persidangan. Ia menilai Undang-Undang BUMN yang baru harus diterapkan secara mutlak dalam kasus ini.
“Apa gunanya DPR membuat UU BUMN baru itu kalau tidak diterapkan di kasus seperti ASDP ini. Mau tidak mau kalau kita mau menegakkan hukum UU BMN baru itu mutlak harus diberlakukan, lebih khususnya yang kaitannya dengan pasal 2 dan 3 UU Tindak Pidana Korupsi,” kata Soesilo usai sidang pembacaan duplik kasus ini, Kamis (13/11/2025), dalam keterangan resminya.
Baca Juga: Chord Rindu Purnama Dedi Mulyadi, Gampang Dimainkan untuk Pemula
Ia juga menjelaskan, Pasal 4B Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2025 tentang UU BUMN menyebutkan bahwa kerugian BUMN bukanlah kerugian negara. Dengan demikian, menurutnya, jaksa tidak tepat jika masih menggunakan pasal kerugian negara sebagaimana pada pasal 2 dan 3 dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor.
”Dalam hukum dikenal ada asas Lex Posterior Derogat Legi Priori, UU BUMN 2025 lebih baru dibanding UU Tipikor, sehingga mengungguli aturan lama,” kata Soesilo lagi.
Ia menegaskan bahwa modal dan keuntungan BUMN merupakan kekayaan BUMN, bukan kekayaan negara, sehingga kerugian BUMN tidak bisa dikategorikan sebagai kerugian negara.
Baca Juga: Sidang Kasus ASDP: Ira Puspadewi Tegaskan Akuisisi Sah, Bukan Korupsi
Pembela Nilai Replik Jaksa Tak Sesuai Fakta Persidangan
Anggota tim pembela lainnya, Gunadi Wibisono, juga menyoroti sejumlah kejanggalan dalam replik jaksa. Menurutnya, banyak bagian replik hanya mengutip keterangan saksi secara sepihak tanpa mempertimbangkan kesaksian lain yang justru menguatkan pembelaan.
“Banyak bagian jawaban PU (penuntut umum) hanya mengutip sepihak tanpa mempertimbangkan keterangan saksi lain. Keterangan saksi justru menguatkan pembelaan,” ujar Gunadi.
Dalam duplik setebal 40 halaman, tim pembela menyoroti beberapa hal yang disebut tidak sesuai fakta yang sudah dibantah oleh saksi di persidangan, antara lain soal pengaturan jadwal kapal PT Jembatan Nusantara (PT JN), ketergantungan keuangan PT JN terhadap ASDP, hingga jamuan makan yang terjadi dua tahun setelah akuisisi dan tetap dijadikan dasar tuntutan oleh jaksa.
Baca Juga: Suara Mantan Dirut ASDP dari Ruang Sidang: Bukan Korupsi, Kriminalisasi Profesional BUMN
Soroti Validitas Audit dan Bukti Elektronik
Terkait penghitungan kerugian negara, jaksa penuntut umum disebut masih bersandar pada hasil auditor forensik KPK, Miftah Aulani Rachman, yang menurut pembela tidak memiliki sertifikasi resmi.
“Dia tidak memiliki sertifikat yang disyaratkan untuk menghitung kerugian negara. Analisisnya juga tidak memenuhi standar audit BPK. Miftah sendiri menyalahi kode etik karena dia memiliki konflik kepentingan, dalam struktur yang sama dengan jaksa dari KPK,” kata Gunadi lagi.
Gunadi menambahkan, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2016 dan SEMA Nomor 2 Tahun 2024, “Hanya BPK yang berwenang menyatakan adanya kerugian negara. Instansi lain boleh menghitung, tapi harus sesuai standar BPK. Syarat ini tidak dipenuhi oleh ahli KPK,” ujar Gunadi.
“Kami tegas keberatan terhadap seluruh dalil dalam replik penuntut umum, karena alasan-alasan tersebut tidak sesuai dengan fakta hukum yang terungkap di persidangan,” ujar penasihat hukum Gunadi.
Tim pembela hukum juga mempertanyakan validitas sejumlah alat bukti yang digunakan jaksa, termasuk bukti percakapan elektronik yang belum diverifikasi secara forensik. Jaksa membangun narasi dakwaan dengan bumbu percakapan elektronik, tapi tidak dikonfirmasi kebenarannya dengan saksi-saksi
“Bukti percakapan yang dijadikan dasar oleh penuntut umum tidak dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah, karena tidak diperoleh sesuai ketentuan hukum,” kata Gunadi..
Kasus akuisisi PT JN oleh ASDP in menjerat mantan Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) Ira Puspadewi, Harry Muhammad Adhi Tjaksono (Direktur Perencanaan dan Pengembangan 2020–2024), dan Muhammad Yusuf Hadi (Direktur Komersial dan Pelayanan 2019–2024).
Ketiganya didakwa merugikan keuangan negara sebesar Rp 1,25 triliun terkait. Sidang akan dilanjutkan pada Kamis 20 November dengan agenda pembacaan vonis dari hakim. Ketika dimintai tanggapannya, Ira Puspadewi hanya berkata pendek,”Doakan saja kami ya,”





