SUKABUMIUPDATE.com - Ketika sebuah film berani menyentuh luka kolektif yang selama ini tersembunyi di balik citra suci, ia bukan lagi sekadar hiburan, melainkan sebuah pernyataan sosial. Film pendek “Wahyu”, karya berani dari sutradara Nada Leo Prakasa, telah melakukan hal itu. Berlatar di sebuah pondok pesantren di Jember, film berdurasi 15 menit ini sukses menggetarkan panggung festival dan memicu perdebatan sengit tentang isu kekerasan seksual sesama jenis yang kerap dibungkam di lingkungan religius.
Jauh sebelum menjadi karya sinematik, "Wahyu" berawal dari sebuah pengakuan dan trauma. Sutradara Nada Leo Prakasa mengungkapkan bahwa ia tergerak untuk membuat film ini setelah mendengarkan langsung pengalaman pahit yang dialami oleh temannya sendiri saat menjadi santri. Jadi film ini merupakan Sebuah Kisah yang Lahir dari Pengalaman Trauma.
"Dalam film ini saya ingin menyelami pengalaman traumatis yang dialami oleh teman saya saat menjadi santri dulu, dan ingin mendiskusikan agar pengalaman tersebut tidak terulang lagi," ujar Nada.Hal tersebut dengan gamblang menegaskan bahwa film pendek berjudul "Wahyu" memiliki tujuan yang jauh melampaui sekadar mencari perhatian atau sensasi belaka. Karya sinematik ini justru lahir dari sebuah visi yang lebih dalam dan mulia, yaitu berfungsi sebagai terapi sinematik sebuah medium untuk penyembuhan dan refleksi sekaligus merupakan upaya serius untuk mendiskusikan tabu sosial yang selama ini enggan disentuh.
Dengan membuka dialog mengenai isu-isu sensitif ini, film "Wahyu" secara substansial berkontribusi pada penciptaan lingkungan yang lebih aman dan terlindungi bagi setiap individu. Fokus utama dari upaya ini adalah lingkungan pendidikan, terutama institusi-institusi seperti pesantren, yang seharusnya menjadi benteng perlindungan dan tempat bertumbuh, bukan sumber ketidaknyamanan atau bahaya.
Baca Juga: Pesantren Ramah Anak & Revolusi Perlindungan Santri, Belajar dari Kasus Viral
Film pendek ini bertransformasi dari sekadar tontonan menjadi sebuah alat advokasi yang kuat, mengajak masyarakat untuk berani menghadapi realitas sosial, merombak norma-norma yang merugikan, dan memastikan bahwa ruang belajar adalah tempat yang benar-benar inklusif dan melindungi bagi semua orang yang berada di dalamnya.
Mengupas Konflik Sentral Tokoh Wahyu Melawan Cholis
"Wahyu" membangun narasi yang intens melalui kontras tajam antara dua tokoh utamanya. Wahyu (diperankan oleh Dafa Wahyu Lutfi F.), adalah santri baru yang digambarkan membawa 'penyimpangan seksual' dan menjadikan pesantren sebagai target untuk melampiaskan hasratnya. Di sisi lain, ada Cholis (Randa Achmad Surbakti), santri tunawicara yang secara tak sengaja menjadi saksi kunci.
Konflik memuncak ketika Cholis, yang dibatasi oleh ketidakmampuannya berbicara, harus berjuang untuk menghentikan perbuatan Wahyu dan menyampaikan kebenaran kepada otoritas pesantren. Kegagalan Cholis dalam berkomunikasi inilah yang menjadi simbol kritik utama film ini: ketidakberdayaan korban dan saksi di hadapan sistem atau birokrasi yang kaku, yang pada akhirnya seringkali memilih untuk melindungi citra institusi daripada kebenaran dan keamanan anggotanya.
Baca Juga: 9.644 Batang Rokok Ilegal Disita, Operasi Gabungan Satpol PP Sukabumi dan Bea Cukai Bogor
Diakui Secara Sinematik, Namun Mengundang Kemarahan
Meskipun materi yang diangkat dalam film pendek "Wahyu" terbilang sangat kontroversial dan berpotensi memicu perdebatan sengit, karya ini secara mengesankan berhasil membuktikan bahwa kedalaman isu tidak harus mengorbankan kualitas artistik yang mumpuni. Film tersebut, yang dengan cermat memilih Pondok Pesantren Miftahul Ulum di Jember sebagai lokasi syutingnya, tidak hanya memanfaatkan latar otentik tersebut untuk mendukung narasi yang kuat, tetapi juga mengeksekusi setiap aspek sinematografi dan penceritaan dengan sangat apik.
Kombinasi antara keberanian mengangkat tema tabu dengan penyajian visual dan naratif yang matang inilah yang menyebabkan "Wahyu" sukses besar dan secara luas meraih pujian tinggi dari para kritikus maupun penonton, menegaskan posisinya sebagai karya seni yang penting dan relevan.
Film tersebut meraih Puncak Penghargaan dengan masuk dalam 5 Nominasi Terbaik kategori Fiksi Umum di ajang IMAC (ILUNI UI Movie Award Competition) 2025. Selain pengakuan dari juri, karya ini juga sukses merebut hati publik, terbukti dengan dinobatkannya film tersebut sebagai "Audience Favorite Winner" dalam Klik Film Short Movie Competition pada acara Jakarta World Cinema (JWC) 2025. Namun, pujian ini diiringi badai kontroversi, terutama di media sosial.
Baca Juga: Kampung Kemajuan: Huntap untuk Korban Tanah Bergerak di Pabuaran Sukabumi Mulai Dibangun
Kontroversi, Kritik, dan Keheningan Institusi
- Reaksi Keras Netizen: Frustrasi dan Ending yang Menggantung
Di platform daring, film ini memicu banjir komentar emosional. Frustrasi penonton mencapai puncaknya pada ending film. Pertanyaan seperti "Kenapa Cholis disalahkan? Kami tidak paham!" menjadi trending topic. Ending yang ambigu tersebut memaksa penonton untuk menghadapi realitas yang paling menyakitkan: bahwa dalam kasus pelecehan, saksi atau korban seringkali menjadi pihak yang dipersalahkan atau kebenarannya diragukan.
- Kritik Sineas dan Pengamat: Isu Sensitivitas Seksualitas
Sejumlah pengamat film dan sineas lain, meski mengapresiasi keberanian film ini, turut melayangkan kritik konstruktif. Mereka menyoroti risiko penggunaan lensa homofobik dalam penggambaran karakter Wahyu. Kritik ini muncul karena film ini menghubungkan pelaku pelecehan (sebuah tindakan kriminal) dengan 'penyimpangan seksual' (sebuah istilah yang sensitif), yang dikhawatirkan dapat memperkuat stigma bahwa homoseksualitas identik dengan kekerasan seksual.
- Keheningan Agamawan: Tabu yang Belum Terpecahkan
Salah satu aspek paling signifikan dari kontroversi ini adalah ketiadaan tanggapan resmi dari organisasi keagamaan atau tokoh ulama besar. Isu yang diangkat film ini secara langsung menantang citra kesucian institusi. Keheningan ini mencerminkan betapa sulitnya dialog terbuka mengenai isu kekerasan seksual di lingkungan religius. Hal ini menunjukkan bahwa institusi seringkali lebih mengutamakan perlindungan citra kolektif daripada memfasilitasi diskusi yang transparan dan solusi nyata bagi korban.
Baca Juga: Dari Garasi ke Panggung Dunia! Film-Film Wajib Tonton buat Kamu Calon Anak Band Keren
Penting untuk dicatat bahwa film "Wahyu" adalah karya fiksi yang terinspirasi dari kisah nyata, dan TIDAK merepresentasikan seluruh atau semua pondok pesantren di Indonesia.
Tujuan utama film ini adalah memantik diskusi, bukan menuduh atau mendiskreditkan institusi keagamaan secara keseluruhan. Pelecehan seksual adalah masalah kemanusiaan dan kekerasan yang dapat terjadi di mana saja, terlepas dari latar belakang agama, sosial, atau pendidikan.
Film ini berfungsi sebagai cermin untuk melihat bahwa masalah hasrat, seksualitas, dan potensi kekerasan adalah universal dan memerlukan mekanisme perlindungan serta penanganan yang kuat di setiap institusi, termasuk pesantren. Mari kita jadikan film ini sebagai pembuka jalan untuk dialog yang konstruktif dan solutif. Film pendek "Wahyu" dapat disaksikan di platform KlikFilm dengan rating 17+.



