Penyair Binhad Nurrohmat memantik diskusi menarik lewat pertanyaannya: “Pada abad ke-19, lazimkah di Lebak ada orang bernama Adinda?” ๐ฟ
Pertanyaan ini menyingkap lapisan sejarah, sastra, dan bahasa dalam roman Max Havelaar karya Multatuli — kisah Saidjah dan Adinda yang lahir dari tanah Lebak, Banten.
Ternyata, “Adinda” bukan nama lokal, melainkan sapaan Melayu Tinggi yang dipilih Multatuli karena keindahan dan makna puitisnya. Dalam dialek Sunda-Banten yang egaliter, sapaan seperti “Nyi” atau “Euis” justru lebih umum.
Lewat kisah tragis itu, Max Havelaar bukan sekadar gugatan kolonialisme, tapi juga potret masyarakat Sunda Banten yang tangguh, setara, dan berakar pada bahasa serta budaya mereka sendiri. ๐ฌ