SUKABUMIUPDATE.com - Kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang menaikkan batas jumlah siswa dalam satu rombongan belajar atau rombel di sekolah negeri menjadi 50 orang mendapat sorotan banyak pihak. Pengamat kebijakan publik dari Sukabumi menilai aturan tersebut bertentangan dengan prinsip dasar pendidikan.
Bunyi Surat Keputusan Nomor 463.1/Kep.323-Disdik/2025 menetapkan satuan pendidikan SMA dan SMK negeri dapat menerima hingga 50 murid per kelas, dari sebelumnya 36 orang. Angka ini mengacu pada hasil analisis luas ruang kelas dengan dalih mengoptimalkan daya tampung tanpa melanggar ketentuan perundang-undangan.
Pengamat kebijakan publik sekaligus Kepala Program Studi Administrasi Publik, Universitas Muhammadiyah Sukabumi (UMMI), Dian Purwanti, mengatakan kebijakan Dedi Mulyadi terkait rombel juga tidak sesuai dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) dan akan menurunkan kualitas pendidikan.
“Meski kebijakan ini disebut sebagai solusi atas tingginya minat peserta didik pada sekolah negeri yang tidak sebanding dengan daya tampung. Namun itu menimbulkan perdebatan karena menyentuh aspek kualitas pendidikan, beban guru, dan proses belajar-mengajar, yang secara langsung berkaitan dengan peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip psikologi pendidikan, dan akan menghambat pencapaian tujuan pendidikan nasional," kata dia kepada sukabumiupdate.com pada Senin (28/7/2025).
Berdasarkan tinjauan UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, lanjut Dian, kebijakan Dedi Mulyadi dianggap bertentangan dengan Pasal 4 ayat (9) dan Pasal 40 ayat (2) yang memuat tentang prinsip keadilan pendidikan serta perlindungan guru. “Kebijakan menaikkan jumlah siswa per rombel menjadi 50 orang dapat dianggap bertentangan dengan prinsip keadilan dan kualitas pendidikan, karena berpotensi memperburuk kondisi belajar siswa dan meningkatkan beban guru. Kualitas pendidikan cenderung menurun jika rasio guru-siswa menjadi tidak proporsional,“ ucapnya.
Pengamat kebijakan publik sekaligus Kepala Program Studi Administrasi Publik UMMI, Dian Purwanti. | Foto: Istimewa
Baca Juga: Pelajar Sukabumi Ungkap Suasana Belajar di Kelas dengan Rombel 50 Orang
Lebih lanjut, Dian menyampaikan kebijakan itu juga bertentangan dengan prinsip Peraturan Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN-S/M) Nomor 13 Tahun 2020 tentang Instrumen Akreditasi Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. “Kebijakan gubernur bertentangan dengan standar nasional akreditasi. Jika tetap diberlakukan, sekolah-sekolah yang mengikuti kebijakan ini berpotensi mendapatkan nilai rendah pada akreditasi karena melampaui batas jumlah siswa yang direkomendasikan," katanya.
Selain itu, ditinjau melalui perspektif psikologi pendidikan, kelas yang gemuk akan berdampak pada penurunan komunikasi antara guru dan siswa serta menghambat penyerapan informasi yang diterima. “Kelas dengan 50 siswa akan tidak kondusif secara psikologis untuk pembelajaran yang optimal dan siswa akan mengalami penurunan perhatian, interaksi, dan motivasi, serta guru kesulitan membangun hubungan interpersonal yang mendalam dengan peserta didik,” ucap Dian.
Dian merekomendasikan Pemerintah Provinsi Jawa Barat sebaiknya menambah unit sekolah baru ketimbang menambah jumlah siswa dalam satu kelas.
“Pemerintah daerah sebaiknya menambah unit sekolah baru atau rombel tambahan, bukan menambah jumlah siswa per kelas. Lalu optimalisasi zonasi dan pemerataan distribusi siswa agar tidak terpusat pada sekolah-sekolah favorit. Kemudian penguatan kebijakan afirmatif terhadap sekolah swasta agar turut menampung siswa dengan dukungan dana BOS daerah. Selanjutnya, konsultasi dan koordinasi lebih erat dengan kementerian dan BAN-S/M sebelum menetapkan kebijakan struktural seperti ini,” lanjutnya.
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi sebelumnya telah merespons masalah ini dengan menyebut kebijakan rombel bersifat sementara karena Pemerintah Provinsi Jawa Barat tengah mengejar pembangunan 736 ruang kelas baru untuk SMA dan SMK negeri. Ia menargetkan kondisi 50 siswa per rombel hanya akan berlaku hingga Januari 2026. Bahkan pemerintah provinsi telah menyiapkan anggaran tambahan Rp 100 miliar untuk pembangunan ruang kelas baru tersebut.
Dian pun menanggapinya. " Itu kan baru rencana. Yang kita tanggapi kebijakan hari ini. Pak Dedi ini selalu terburu-buru dalam membuat kebijakan publik. (Trial and Error). Tidak sesuai alur formulasi kebijakan yang benar. Ujung-ujungnya banyak dikritisi. Barulah dia mengubah arah kebijakan."