Ketika Perempuan Berkata "Cukup": Fenomena Gugatan Cerai Pasca Lulus PPPK dan CPNS

Sukabumiupdate.com
Senin 28 Jul 2025, 13:55 WIB
Ketika Perempuan Berkata "Cukup": Fenomena Gugatan Cerai Pasca Lulus PPPK dan CPNS

Ilustrasi: Memandang Fenomena gugat cerai ASN dan PPPK setelah dilantik (Sumber: freepik)

Oleh: Hamidah

Belakangan ini, di berbagai daerah muncul fenomena sosial yang cukup mengundang perhatian: sejumlah guru perempuan yang setelah lulus seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) atau Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) memilih menggugat cerai suami mereka. Tak sedikit yang dengan cepat menghakimi, menyebut mereka sebagai "kacang lupa kulit", perempuan tak tahu diri yang meninggalkan suami setelah berhasil.

Namun, benarkah persoalannya sesederhana itu?

Sebagian masyarakat melihat fenomena ini secara dangkal — mengaitkan status kepegawaian dengan perubahan sikap. Bahwa ketika seorang perempuan mendapatkan pekerjaan tetap dan penghasilan yang layak, ia menjadi sombong, merasa tidak butuh suami, lalu pergi begitu saja. Narasi ini bukan hanya keliru, tapi juga merendahkan kompleksitas persoalan yang sering kali jauh lebih dalam dari yang tampak di permukaan.

Bukan Soal Gaji, Tapi Soal Daya

Penting untuk dipahami bahwa status sebagai ASN — baik PPPK maupun CPNS — bukan hanya perkara gaji tetap atau jaminan pensiun. Lebih dari itu, status ini membawa serta perasaan aman, pengakuan sosial, dan yang paling penting: rasa berdaya.

Selama ini, banyak perempuan berada dalam posisi rentan, baik secara finansial maupun emosional. Dalam hubungan yang timpang, tidak sedikit istri yang merasa harus bertahan karena merasa tak punya pilihan. Mereka hidup dalam ketakutan: takut tidak bisa menghidupi anak-anak jika berpisah, takut dianggap gagal, atau takut hidup sendirian. Maka, banyak yang memilih diam. Bertahan dalam relasi yang mungkin sudah lama tidak sehat — atau bahkan penuh kekerasan verbal, emosional, hingga fisik.

Ketika seorang perempuan mendapatkan penghasilan sendiri yang stabil, pandangannya terhadap kehidupan berubah. Ia tidak lagi merasa "harus bergantung". Ia mulai menyadari bahwa kebahagiaan, keamanan, dan harga diri adalah hak yang tak bisa terus-menerus dikorbankan atas nama pernikahan. Di sinilah momen "kesadaran diri" muncul, dan dengan itu, keberanian untuk berkata: cukup.

Relasi yang Tak Siap Berubah

Masalahnya, tidak semua pasangan siap dengan perubahan ini. Ketika sebelumnya istri selalu menunduk, mengalah, dan menanggung segalanya, lalu kemudian mulai bersuara dan menuntut kesetaraan, sebagian suami merasa terganggu, bahkan terancam. Relasi yang dulu berbasis dominasi mulai bergeser ke arah relasi yang lebih setara. Dan sayangnya, banyak laki-laki tidak dibesarkan untuk siap hidup dalam relasi yang setara.

Alih-alih tumbuh bersama, banyak dari mereka malah bersikap defensif: mencurigai, mengekang, bahkan menyalahkan. Hal-hal inilah yang sering menjadi sumber konflik setelah istri mulai bekerja tetap, bukan status PPPK atau CPNS-nya yang menjadi akar masalah.

Keputusan yang Tidak Tiba-Tiba

Yang perlu digarisbawahi adalah: keputusan menggugat cerai hampir tidak pernah datang secara tiba-tiba. Itu adalah hasil dari akumulasi luka, kesepian, pengabaian, dan ketimpangan relasi yang berlangsung bertahun-tahun. Lulus PPPK atau CPNS hanyalah pemicu — bukan penyebab. Yang baru hanyalah keberanian untuk mengambil langkah yang dulu dianggap mustahil.

Karena pada akhirnya, tidak semua perempuan pergi karena merasa hebat. Banyak yang pergi karena sudah terlalu lama merasa tidak dihargai.

Kita Butuh Perspektif yang Lebih Adil

Dalam menyikapi fenomena ini, masyarakat perlu memiliki perspektif yang lebih adil dan utuh. Menghakimi perempuan yang menggugat cerai tanpa memahami latar belakang kisah mereka adalah bentuk kekerasan sosial yang halus namun menyakitkan. Apalagi jika dilakukan tanpa empati dan hanya dengan asumsi dangkal seperti “dulu ditopang, sekarang malah ditinggalkan”.

Tidak semua rumah tangga bisa diselamatkan, terlebih jika hanya satu pihak yang mau berjuang. Dan tidak semua pernikahan layak dipertahankan jika hanya melanggengkan luka. Perempuan yang memilih keluar dari pernikahan bukan selalu karena tak tahu diri, tapi karena ingin menyelamatkan diri — secara fisik, mental, dan emosional.

Penutup

Fenomena guru perempuan yang menggugat cerai pasca-lulus PPPK/CPNS tidak seharusnya dilihat sebagai bentuk pembangkangan atau arogansi. Ia adalah sinyal sosial bahwa semakin banyak perempuan yang sadar akan hak dan martabatnya, dan memilih untuk tidak terus hidup dalam relasi yang menyakiti.

Kita tidak sedang menghadapi krisis keluarga. Kita sedang menyaksikan lahirnya keberanian perempuan untuk hidup lebih bermartabat. Dan itu, seharusnya tidak kita cemaskan tapi kita hormati.

Editor :
Berita Terkait
Berita Terkini