Ditulis: Danang Hamid
Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur (MUI Jatim) kini memilih sikap tegas atas kehadiran Sound Horeg yang sudah melampaui batas wajar dan mengganggu ketertiban masyarakat dengan mengeluarkan fatwa haram.
KH Makruf Khozin, Ketua Komisi Fatwa MUI Jatim, menegaskan bahwa teknologi audio digital boleh dimanfaatkan selama tidak melanggar syariah dan hukum positif. Namun, ketika intensitas suara mengganggu kesehatan, merusak fasilitas umum, atau diiringi kemungkaran seperti joget dengan aurat terbuka, maka ia melintasi batas moral dan sosial.
Enam poin dalam fatwa tersebut menarik untuk direnungkan. Pertama, pengakuan bahwa kemajuan teknologi bersifat netral, ia bisa menjadi berkah atau musibah, tergantung penggunaannya. Kedua, penegasan bahwa hak individu tidaklah mutlak, ia berhenti ketika mulai mengusik hak orang lain. Ini adalah prinsip dasar kehidupan bermasyarakat yang sering terlupakan di era di mana kebebasan personal kerap diagungkan tanpa batas.
Fatwa haram yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur (MUI Jatim) terhadap penggunaan sound horeg bukan sekadar keputusan hukum agama, melainkan cermin kegelisahan akan tatanan sosial yang kian terfragmentasi.
Dalam fatwa bernomor 1/2025 itu, MUI Jatim menegaskan bahwa kebisingan yang melampaui batas, apalagi diiringi praktik joget dan pembukaan aurat, adalah pelanggaran syariah sekaligus gangguan terhadap hak orang lain.
Kebisingan sebagai Persoalan Peradaban
Fatwa MUI Jatim secara implisit menyentuh kegelisahan universal ruang publik yang inklusif. Ketika sound horeg dengan volume menggelegar memecah kesunyian permukiman, ia bukan hanya soal desibel, melainkan juga tentang klaim atas ruang bersama.
Dalam konsideran fatwa, frasa mengganggu kesehatan dan merusak fasilitas umum mengingatkan kita pada prinsip fiqh klasik yang berbunyi: laa dharar wa laa dhirar! tidak boleh membahayakan diri dan orang lain.
Tapi di sini, agama dan hukum positif berkelindan. Aturan kebisingan sebenarnya telah diatur dalam Undang Undang No. 36/2009 tentang Kesehatan dan Perda Kebersihan. Pertanyaannya mengapa fatwa diperlukan? Mungkin karena hukum negara kerap abai, sementara fatwa menyentuh kesadaran moral yang lebih dalam.
Teknologi dan Tanggung Jawab Kolektif
Yang menarik, fatwa tidak serta merta menolak kemajuan teknologi. Poin pertama justru mengapresiasi Sound Horeg selama digunakan secara positif. Ini sinyal bahwa Islam tidak anti modernitas, tetapi menuntut pertimbangan etis.
Namun, tantangannya adalah penegakan.
Fatwa tidak memiliki kekuatan hukum memaksa, kecuali diadopsi oleh pemerintah. Jika tidak, ia hanya akan menjadi wacana. Diperlukan sinergi dengan aparat setempat untuk menertibkan penggunaan sound horeg yang mengganggu tanpa mengebiri kreativitas.
Fatwa ini, pada hakikatnya adalah seruan untuk mengembalikan kesantunan dalam ruang publik. Ia mengingatkan bahwa kebebasan berakhir ketika hak orang lain mulai terinjak. Namun, agar tidak dipahami sebagai alat represif, MUI dan masyarakat perlu mendorong edukasi bukan hanya penghakiman.
Di tengah gemuruh sound horeg yang memecah kesadaran, mungkin kita memang perlu bertanya sudahkah kita menjadi tetangga yang baik, atau justru bagian dari kebisingan itu sendiri?