SUKABUMIUPDATE.com - SMK Bhakti Kencana, sekolah swasta di Desa Mekarsari, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi, mengalami penurunan jumlah siswa baru secara signifikan pada tahun ajaran baru 2025/2026. Penurunan ini adalah dampak kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang memperbesar rombongan belajar atau rombel hingga 50 murid per kelas dan membuka jalur khusus bagi pelajar dari keluarga tidak mampu di sekolah negeri.
Sekolah yang berdiri sejak 2010 itu baru menerima sepuluh siswa baru hingga awal Juli 2025. Kepala SMK Bhakti Kencana Amelia Windasari mengatakan kebijakan Dedi Mulyadi atau KDM sebenarnya baik untuk membuka akses pendidikan bagi siswa tidak mampu. Namun di sisi lain, imbasnya sangat dirasakan oleh sekolah swasta.
“Kebijakan Kang Dedi Mulyadi bagus untuk siswa tidak mampu agar bisa sekolah. Tapi targetnya sekolah negeri, siswa yang sebelumnya tidak diterima di negeri sekarang bisa diterima semua. Jadi yang biasanya ke swasta, sekarang tidak ada lagi,” ujar dia, Jumat (11/7/2025).
Situasi itu membuat jumlah siswa di SMK Bhakti Kencana menurun drastis. Dari kelas X hingga XII, total murid hanya sekitar 40 orang. Sementara jumlah tenaga pengajar dan staf mencapai 22 orang. “Segala kebutuhan kami ditopang dari siswa. Kalau jumlahnya sedikit, kami kesulitan menjalankan operasional sekolah, termasuk gaji guru,” kata Amelia.
Baca Juga: 3.480 Guru Swasta Terancam PHK, FKK SMK Sukabumi Desak KDM Cabut Kebijakan Rombel
Amelia menyebut penurunan jumlah siswa sudah lebih dari 50 persen dibanding tahun lalu. Untuk menyesuaikan kondisi, pihak sekolah mengambil kebijakan pengurangan jam pelajaran, penyesuaian gaji guru, dan menghentikan kegiatan ekstrakurikuler. “Kami bahkan menawarkan kepada guru, kalau sanggup bertahan dengan kondisi ini silakan lanjut. Kalau tidak, kami kembalikan ke masing-masing guru,” katanya.
Dampak lainnya adalah berkurangnya dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) karena dana tersebut dihitung berdasarkan jumlah siswa. “Jam pelajaran tetap, beban guru tetap, tapi pendapatan turun karena siswa sedikit. Otomatis BOS juga ikut kecil,” jelasnya.
Amelia tidak menutup kemungkinan bahwa jika kondisi ini terus berlangsung, sekolah bisa tutup. “Sekarang kami masih bertahan dengan kondisi gawat darurat. Tapi ke depan bisa saja tutup, padahal lulusan kami banyak yang langsung kerja di apotek-apotek, bahkan sebelum menerima ijazah,” kata dia.
Menurutnya, kebijakan ini kurang adil bagi sekolah swasta. “Harusnya dibantu semua, bukan hanya negeri. Misalnya, anak-anak dari keluarga tidak mampu tetap dibantu biaya sekolahnya, tapi bisa juga diarahkan ke swasta. Jadi kami tidak mati perlahan,” ucapnya.
Ia juga mengungkapkan, motivasi guru mulai menurun akibat jumlah siswa yang sedikit. “Itu jadi tugas saya sebagai kepala sekolah, bagaimana guru tetap semangat mengajar walau siswa tinggal segelintir,” ungkap Amelia.
Pihak sekolah sudah menyampaikan persoalan ini melalui forum kepala sekolah swasta kepada Kantor Cabang Dinas (KCD) Pendidikan Jawa Barat Wilayah V. “Ternyata bukan hanya kami. Banyak sekolah swasta lain yang mengalami hal serupa,” lanjutnya.
Amelia berharap Dedi Mulyadi bisa mengkaji ulang kebijakan ini agar tidak berdampak buruk pada keberlangsungan pendidikan swasta. “Kalau tujuannya agar semua anak bisa sekolah, bantu juga agar sekolah swasta bisa bertahan. Kami punya jurusan farmasi, dan anak-anak kami biasanya sebelum lulus pun sudah kerja. Sayang kalau sekolah seperti ini terancam tutup,” kata dia.