Kisah Bunga dan Monica, Bawa Isu Perempuan Terpinggirkan dari Sukabumi ke Amerika Lewat YSEALI

Sukabumiupdate.com
Kamis 24 Jul 2025, 19:31 WIB
Kisah Bunga dan Monica, Bawa Isu Perempuan Terpinggirkan dari Sukabumi ke Amerika Lewat YSEALI

Rizki Bunga (Dinsos Jawa Barat) dan Monica Acosta (Program Director The Village Institute) saat wawancara dengan SukabumiUpdate.com dipandu Turangga Anom | Foto : Dok. SukabumiUpdate

SUKABUMIUPDATE.com - Rizki Bunga, pekerja sosial yang kini bertugas di Satuan Pelayanan Rehabilitasi Tuna Sosial di bawah UPTD Pusat Pelayanan Sosial Griya Wanita Mandiri Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat yang berlokasi di Nagrak, Kabupaten Sukabumi, menjadi salah satu peserta program bergengsi Young Southeast Asian Leaders Initiative (YSEALI).

YSEALI adalah sebuah program pertukaran yang diinisiasi oleh Pemerintah Amerika Serikat ini bertujuan membangun jaringan pemimpin muda di Asia Tenggara yang peduli pada isu-isu penting seperti pemberdayaan masyarakat, kewirausahaan, lingkungan, dan tata kelola pemerintahan.

Melalui YSEALI, Bunga mendapatkan kesempatan untuk mengikuti pelatihan kepemimpinan dan terlibat langsung dalam aktivitas komunitas di The Village Institute, Colorado, sebuah lembaga yang berfokus pada perempuan imigran dan kelompok rentan.

Dalam kunjungannya ke kantor sukabumiupdate.com, pada Jumat (18/7/2025). Rizki Bunga bersama Program Director The Village Institute, Monica Acosta, membagikan pengalamannya selama mengikuti YSEALI serta perjuangannya mendampingi perempuan di Sukabumi.

SukabumiUpdate: Bagaimana pengalaman Anda selama mengikuti YSEALI di Amerika Serikat?

Rizki Bunga : Kebetulan saya ditempatkan di The Village Institute, dimana banyak para perempuan yang mengalami kekerasan, di mana mereka termasuk marginalized groups, mereka juga mengalami trauma kekerasan dan segala macam. Ditambah juga selama 4 tahun ini saya (di Griya Lansia di Sukabumi) menyaksikan langsung gimana klien saya survive.

Sebetulnya faktor terbesarnya adalah ekonomi, kalau bukan karena kebutuhan mereka tidak akan melakukan, terpaksa dengan keadaan sampai ada yang dijual oleh suaminya, dijual oleh orang tuanya, bahkan sampai ada dipakai sama suaminya ke orang lain karena itu faktor ekonomi.

Sementara di sisi lain, mereka sebetulnya punya potensi, cuma masalahnya tidak ada yang mengarahkan. Mereka mengetahui dirinya punya potensi tapi tidak tahu harus ke mana dan di mana tempatnya, sehingga potensi mereka menjadi terpendam.

Sampai akhirnya dengan adanya program rehabilitasi sosial di Sukabumi ini tuh benar-benar sangat bermanfaat. Dan sayangnya di Jawa Barat tempat ini cuma cuma di Kabupaten Sukabumi, dan Cirebon.

SukabumiUpdate : Apa momen pertemuan yang paling mengubah cara pandang Anda tentang pemberdayaan perempuan?

Rizki Bunga: Macam-macam, yang aku temukan dari mulai remaja, paruh baya (40-50 tahun) juga bahkan ada yang 60 tahun (lansia), termasuk ada yang masih berusia 14 tahun. Padahal mereka punya potensi, tadi saya bilang cuma karena kayak pengaruh lingkungan.

Ada klien saya di usianya 14 tahun saya tanya alasan dia kenapa melakukan pekerjaan seperti itu karena dia ingin beli iPhone. Padahal dia punya bakat dan potensi.

Di tempat kita ada beberapa kelas keterampilan, dia jago menggambarnya, kalau misalnya bisa disalurkan mungkin dia bisa jadi desainer jadi desain grafis atau apapun.

Saya berusaha memberdayakan mereka, dan setelah beberapa tahun saya di sini saya rasa itu berhasil, bisa membuktikan jadi ada klien saya dia buka usaha kecil-kecilan lah seperti warteg, itu kan merupakan suatu perubahan yang wah ,menurut saya, karena dari yang asalnya serba instan mereka menjadi mau berusaha sabar, tekun, menjalani bisnis, itu nggak mudah, dia juga pakai hijab, nggak mudah mengubah mindset mereka dalam waktu tiga bulan,"

Ini mungkin bisa dibilang sebagai succes history nya mereka, karena sebelumnya anak-anak mereka juga merasakan dampak seperti bullying dan lain-lain, ketika kehidupan mereka perlahan berubah maka juga berdampak baik pula kepada anak-anaknya,"

SukabumiUpdate: Apa pergulatan pribadi atau pengalaman hidup yang mendorong Anda berkomitmen pada isu perempuan?

Rizki Bunga: Tergerak hati saya ketika mendengar cerita-cerita mereka, keluh kesah mereka, di sisi lain saya ingin bantu banyak tapi terbatas dengan sistem, dari situ ketika mereka sukses ada rasa kebanggan tersendiri walaupun itu orang lain, tapi saya ikut senang, kita memang holistik, kita nggak fokus sama klien kita doang, kita juga fokus dengan memperhatikan anak-anaknya, keluarganya, hingga pendidikan mereka.

Sukabumi Update : Apa makna kepemimpinan transformasional bagi Anda? Dan bagaimana itu tercermin dalam proyek pelatihan yang sedang Anda jalankan di Sukabumi?

Rizki Bunga: Kepemimpinan itu bukan berarti kita harus bisa memimpin banyak orang, tapi kembali lagi ke diri sendiri, ketika klien saya bisa membuat suatu keputusan berarti dia sudah bisa mengendalikan diri sendiri, awalnya mereka masih labil mengikuti arus, ketika mereka mengikuti program kita mereka bisa menentukan masa depan mereka, mereka tahu arah, mereka juga bisa mengatasi masalah mereka sendiri itu berarti mereka sudah bisa memimpin, itu lah mungkin kepemimpinan yang hebat itu sebetulnya dimulai dari diri sendiri.

SukabumiUpdate: Dalam konteks sosial Sukabumi, apa tantangan paling krusial yang dihadapi perempuan terkait akses terhadap informasi keuangan dan pekerjaan layak? 

Rizki Bunga: Di Sukabumi kebetulan mungkin tantangannya karena klien kita itu negatif stigmanya, untuk penyaluran saja kita coba kerja sama dengan beberapa pabrik, perusahaan itu agak sulit, karena dengan melihat background mereka, juga kebanyakan mereka sampai SD-SMP background pendidikannya. Makanya kita arahkan untuk berwirausaha, karena kalau untuk ke perusahaan, terbatas, melihat track record mereka.

SukabumiUpdate : Bagaimana mereka mendapatkan layanan kesehatan mental?

Rizki Bunga: Untuk layanan kesehatan mental, alhamdulillah ya, karena kita juga kerja sama dengan puskesmas juga, jadi masih bisa terfasilitasi, hanya kalau untuk pekerjaan agak susah, untuk keuangannya.

SukabumiUpdate: Apa strategi Anda agar hasil dari workshop ini tidak hanya jadi event seremonial, tapi menumbuhkan ekosistem dukungan jangka panjang?

Rizki Bunga: Di dalam workshop ini kan ada dua sisi ya, dari mental health dan bsinis, untuk dari sisi mental heathnya di akhir acara kita support health, jadi di situ ada trainernya, psikolognya, dan para klien kami, jadi walaupun setelah acara ini selesai nanti juga tetap berlanjut, jadi oke minggu depan kita adain zoom seperti itu, ini berkelanjutan dengan mereka.

Sementara dari sisi bisnisnya, karena pelatihannya masih basic, masih banyak step-step yang akan dilakukan nanti dan itu sementara pasti dilakukan lewat zoom dulu, jadi ya kita sama sama ingin bermanfaat, senang aja banyak bantu orang, semoga ini memang berlanjut terus ke depannya.

SukabumiUpdate: Adakah ketimpangan antara program pelatihan yang ditawarkan dan realitas kebutuhan konkret perempuan akar rumput? Bagaimana Anda mengatasi jurang itu?

Rizki Bunga: Sebenarnya untuk PTS, Dinsos Jabar bukan termasuk FTM, jadi yang lebih diprioritaskan itu seperti lansia, anak. Jadi memang nggak mudah, kita betul-betul berusaha untuk memperjuangkan hak mereka, di sisi lain ketika kita punya itikad baik tapi terkadang fasilitas juga kurang memadai, keterbatasan seperti sarana, prasarana, maka dari itu kita coba bekerja sama dengan beberapa perusahaan yang memiliki visi misi yang sama.

SukabumiUpdate: Apa kekuatan khas lokal Indonesia, termasuk praktik gotong royong, komunitas desa, atau nilai kekeluargaan, yang justru bisa menjadi model untuk dunia internasional?

Rizki Bunga: Setelah saya coba pelajari, menurut saya lebih ke ikatan kekeluargaan, ya memang sudah budayanya ketika mereka usia 18 sudah harus mandiri, ketika mereka menjadi orang tua mereka terikat dengan anaknya, mereka harus survive, dan itu beda dengan di Indonesia, kan kita masih harus membantu orang tua, berbakti, dimana sebetulnya yang saya tahu pendidikan pertama itu dimulai dari keluarga, itu basicnya, dimana dengan memiliki ikatan kekeluargaan yang sangat kuat mungkin seperti tidak terlihat tapi dampaknya besar, bisa sangat berpengaruh sekali terhadap karakter mereka, pengambilan keputusan mereka.

Contohnya kemarin saya di Jerman, mereka di sana masing-masing mereka memang punya hubungan keluarga, tapi yang saya rasakan beda kedekatanya ke-eratannya, saya melihat seperti itu.

SukabumiUpdate : Kesehatan mental sering dianggap tabu di komunitas konservatif. Bagaimana Anda membicarakan hal ini secara terbuka tanpa menimbulkan resistensi dari masyarakat?

Rizki Bunga: Ini juga banyak terjadi sama klien saya, kadang mereka bingung dengan apa yang mereka rasakan, padahal happy tapi tiba-tiba mereka menangis, dan mereka nggak berani untuk menceritakan, mereka takut dikira stres, atau gila, ada klien saya juga yang suka menyakiti diri sendiri, mereka nggak berani meminta pertolongan kepada orang lain, makanya di kita untuk isu mental health itu masih berproses, tapi yang saya lihat tidak seperti yang dulu-dulu, sekarang itu di sosial media banyak konten mental health awareness.

Hal kecil saja ditempat saya mereka tidak ingin menceritakan karena mungkin mereka berpikir itu tabu, tapi dengan adanya trust dan kenyamanan akhirnya mereka berani untuk menceritakan, jadi saya lihat isu mental health di indonesia sudah mengalami progres lah,"

Apa hal paling sederhana yang membuat Anda merasa “terhubung” dengan peserta perempuan di Sukabumi?

Rizki Bunga: Kalau ekstrem mungkin tadi ya, dia dijual oleh suaminya yang tadinya dia berkeluarga dan berharap punya keluarga yang bahagia, punya anak, kehidupan bahagia, tetapi karena kebutuhan ekonomi semuanya berubah, dan mereka itu sering banget mengalami KDRT, mayoritas klien saya mengalami KDRT, ketika hamil pun ditendang-dipukul, itu seperti mereka menormalisasikan itu, karena mereka bergantung kepada suami mereka.

SukabumiUpdate: Apakah Anda pernah menghadapi kisah peserta pelatihan yang memiliki trauma berat atau tekanan hidup ekstrem? 

Rizki Bunga: Mungkin karena sama-sama perempuan ya, itu sih karena saya juga merasakan sebagai perempuan, saya lebih peka, lebih bisa mengerti perasaan mereka, tanpa mereka cerita juga saya sudah langsung terkoneksi, karena juga mungkin setiap hari saya berinteraksi dengan mereka, udah hafal banget.

Rizki Bunga bersama rekan-rekan di The Village Institute di Amerika | Foto : Dok. YSEALIRizki Bunga bersama Monica Acosta serta rekan-rekan di The Village Institute di Amerika | Foto : Dok. YSEALI

SukabumiUpdate: Bagaimana YSEALI sebagai program lintas negara memfasilitasi dialog antar budaya tentang perempuan dan keadilan sosial?

Monica Acosta : Kamu tahu dia bisa melihat secara langsung apa yang kami lakukan setiap hari, dan aku pun belajar sedikit dari programnya. Lalu datanglah kesempatan yang tidak terduga ini. Sekarang aku berada di sini dan belajar langsung darinya, melihat apa yang sebenarnya dia lakukan betapa luar biasanya kesempatan ini untuk saling melihat satu sama lain, baik secara pribadi maupun dalam profesi kami masing-masing.

Dan apa yang aku pelajari di sini tidak hanya tentang budaya atau orang-orang yang luar biasa, tetapi juga tentang programnya, bagaimana dia menjalankannya dan bagaimana aku bisa belajar darinya. Aku juga seorang pelajar

Menurutku, ini membuka begitu banyak pintu. Kamu bisa melihatnya sekarang, betapa besar dampaknya, dampak yang bisa menjangkau para peserta program atau rekan-rekan kerja kami, karena aku akan membagikannya dengan kolegaku di The Village Institute.

Aku akan mempresentasikan video kami dan membagikan tentang apa yang sedang kami lakukan. Dan menurutku ini akan memberikan dampak yang jauh lebih besar dari yang bisa kubayangkan.

Untuk perempuan dan keadilan sosial, program ini apa yang kalian lakukan adalah menciptakan kesempatan untuk mempelajari keterampilan baru dan pelatihan yang bisa mengubah arah hidup para perempuan. Dan itu memerlukan banyak sumber daya dan dukungan, jadi jalan yang kalian sediakan ini akan memberikan pengaruh besar bagi para perempuan yang luar biasa ini.

Mungkin sekarang kita belum melihat dampaknya sepenuhnya, tapi seiring waktu, itu akan terlihat jelas. Penting sekali memiliki jenis kesempatan seperti ini, terutama bagi perempuan, karena kenyataannya secara global, sayangnya, perempuan masih sering diabaikan mereka dianggap tidak layak mendapatkan pendidikan atau kesempatan.

Dan program ini benar-benar menyulut semangat dan menunjukkan betapa luar biasanya ini. Program ini juga dipimpin oleh perempuan. Ini benar-benar ‘perempuan untuk perempuan, dipimpin oleh perempuan’ dan guru terbaik adalah perempuan yang punya rasa solidaritas dan persaudaraan.

Jadi apa yang kita lihat di sini adalah pemberdayaan yang benar-benar memampukan. Karena salah satu pertanyaan yang muncul adalah, 'Bagaimana aku bisa mendapatkan rasa percaya diri?

Itu sangat menyentuhku, karena sebagai seorang perempuan, aku juga sedang dalam perjalanan menemukan kekuatanku. Butuh waktu lama bagiku untuk mengetahuinya, dan aku masih terus belajar. Program ini lebih dari sekadar memberikan keterampilan; ini membangun rasa percaya diri.

Dan kalian melakukannya dengan menunjukkan betapa kalian peduli pada perempuan. Hatinya penuh cinta untuk komunitasnya, juga dengan keterampilan dan dukungan jangka panjang. Aku melihat itu, aku melihat rencananya. Dan ini akan berdampak secara lintas generasi terhadap kesejahteraan generasi mendatang. Ini butuh waktu, butuh kerja keras, dan juga sistem yang mendukung program ini.

Berita Terkait
Berita Terkini