Dulu Lumpuh Layu Sekarang Cacingan, Sukabumi Kembali Nyalakan Alarm Nasional

Sukabumiupdate.com
Jumat 05 Sep 2025, 18:18 WIB
Dulu Lumpuh Layu Sekarang Cacingan, Sukabumi Kembali Nyalakan Alarm Nasional

Ilustrasi. Bocah Raya di Sukabumi meninggal dunia dengan tubuh dipenuhi cacing gelang (Sumber: chatgpt & mattar)

SUKABUMIUPDATE.com - Kematian Siti Raya (3 tahun) balita warga Cianaga Kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi Jawa Barat, membangunkan bangsa Indonesia dari lelap pesona kemajuan. Ditengah semangat menggebu merealisasikan program pembangunan, balita yang pada oktober 2025 mendatang berusia 4 tahun ini sekarat dan akhirnya meninggal dunia karena cacingan.

Penyakit zoonosis yang sejak tahun 1975 dilakukan pencegahan secara nasional melalui program deworming massal di Indonesia.

“Selain upaya pencegahan, pemerintah juga rutin menyediakan obat cacing Albendazole yang diberikan gratis dua kali setahun kepada anak usia 1–12 tahun melalui posyandu maupun program UKS di sekolah. Masyarakat juga bisa mendapatkan penanganan cacingan secara gratis di puskesmas,” jelas Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Pratikno, kepada awak media Jumat 22 Agustus 2025, merespon kematian balita Raya di Kabandungan Kabupaten Sukabumi.

Pratikno menyebut Kasus Raya ini menjadi perhatian pemerintah, sekaligus mengakui jika ada masalah dengan tata kelola pelayanan kesehatan masyarakat di daerah. Kematian Raya, menjadi alarm nasional yang menuntut langkah cepat, terukur, dan koordinasi lintas sektor agar tak terulang.

Tragedi Raya menjadi pengingat masalah gizi buruk dan penyakit yang bisa dicegah, tidak boleh dibiarkan berlarut. "Dengan memperkuat Posyandu, memperkuat data kesehatan, serta memperkuat pendampingan keluarga rentan, kami berkomitmen memastikan setiap anak Indonesia tumbuh sehat dan terlindungi,” ucap Pratikno.

Pentingnya penguatan data kesehatan menjadi sorotan, khususnya terkait penyakit zoonosis dan pemantauan malnutrisi. Langkah yang disebutnya sebagai pencegahan dini agar kasus serupa tidak lagi terjadi.

Pratikno mengakui jika program pencegahan cacingan sebenarnya sudah berjalan lama, mulai dari obat cacing gratis, kampanye Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), pemeriksaan kesehatan gratis di sekolah dan pesantren, hingga pendampingan anak terlantar dan keluarga rentan.

Namun apa daya, tragedi Raya di Sukabumi mengungkap fakta bahwa program tersebut hanya berjalan diatas kertas-kertas laporan. Kematian tragis balita Raya, pada 22 Juli 2025 dengan lebih dari 1 kg cacing gelang yang dikeluarkan dari tubuh kurusnya, membungkam laporan pelayanan kesehatan dari posyandu, puskesmas, dinas kesehatan hingga ke kementerian kesehatan.

“Pemerintah berkomitmen memperkuat pencegahan agar kejadian serupa tidak terulang. Setiap anak Indonesia berhak atas masa depan yang sehat, aman, dan terlindungi,” kata Pratikno.

Perbaikan tata kelola pelayanan kesehatan masyarakat di Kabupaten Sukabumi menjadi catatan dan pekerjaan rumah. Hasil investigasi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI atas kasus meninggalnya balita Raya warga Desa Cianaga, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, mengungkap tak sekedar cacingan

Baca Juga: Rumah Doa dan Izin Beribadah: Mengurai Kusut Intoleransi, Studi Kasus Cidahu Sukabumi

Kemenkes RI dalam website resminya pada 25 Agustus 2025 menyatakan, Raya meninggal di RSUD R Syamsudin SH Kota Sukabumi setelah perawatan intensif selama sembilan hari sejak 13 Juli 2025. Ia datang ke IGD dalam kondisi penurunan kesadaran dan didiagnosa sepsis atau infeksi berat yang diperburuk dengan malnutrisi, stunting, dan meningitis TBC.

Prof. dr. Agnes Kurniawan, Sp.Par.K, Ketua Kolegium Parasitologi Klinik, menegaskan bahwa kematian Raya ternyata tidak disebabkan oleh cacing gelang (ascaris lumbricoides), melainkan kondisi medis berat yang sudah diderita sebelumnya. “Penyebab kematian bukan cacing. Pasien sudah masuk rumah sakit dalam kondisi kesadaran menurun. Albendazole tidak langsung membunuh cacing, tetapi memicu migrasi keluar tubuh. Hasil pemeriksaan foto abdomen tidak menunjukkan adanya obstruksi atau sumbatan pada usus yang dapat menyebabkan peritonitis (radang selaput usus),” jelasnya.

Hal senada disampaikan Prof. dr. Anggraini, Sp.A(K), dokter spesialis anak, yang mengatakan bahwa berdasarkan pemeriksaan, ditemukan adanya infeksi di susunan saraf pusat dan sepsis. Ditambahkan pula, cacing dewasa tidak masuk ke otak, paru, dan jantung, karena ukurannya yang besar. "Larva cacing gelang memang memiliki siklus hidup melalui pembuluh darah dan saluran napas yang kadang menyebabkan gangguan napas, namun tidak menyebabkan kematian," kata dia.

dr. Sianne, Sp.A, selaku dokter yang menangani Raya, menjelaskan bahwa saat tiba di IGD, pasien sudah tidak sadar, dan berdasarkan anamnesis, telah mengalami demam tinggi serta penurunan kesadaran sejak satu hari sebelumnya.

“Pasien pertama kali datang ke rumah sakit sudah mengalami penurunan kesadaran, dan demam serta batuk sejak satu hari sebelum masuk rumah sakit. Riwayat medis menunjukkan pasien telah menjalani pengobatan yang tidak jelas kemana, lebih dari sepuluh kali dalam tiga bulan terakhir, oleh karena demam dan batuk,” ujarnya.

Selama perawatan, tim medis memang menemukan cacing gelang dewasa. Hasil pemeriksaan radiologi toraks menunjukkan adanya TBC paru aktif dan pneumonia. Sementara radiologi abdomen memperlihatkan cacing dalam jumlah banyak tanpa tanda sumbatan. CT scan kepala juga mengkonfirmasi adanya radang selaput otak/meningitis.

Penanganan dilakukan secara menyeluruh, meliputi terapi anti-TB, antibiotik, koreksi elektrolit, pemberian obat-obatan untuk mempertahankan tekanan darah dan denyut jantung, serta pemberian obat cacing albendazole. Setelah terapi albendazole, pasien mengeluarkan cacing dalam jumlah banyak melalui buang air besar selama beberapa hari.

Pasien meninggal dunia pada hari kesembilan perawatan. Menurut dr. Sianne, diagnosis kematian langsung adalah sepsis, dengan penyebab antara malnutrisi berat kwashiorkor dan stunting, serta penyebab dasar meningitis TB stadium 3.

Hasil investigasi ini menunjukan jika kondisi kesehatan balita Raya memang tak terpantau oleh pemerintah, melalui jaringan pelayanan kesehatan yang ada. Program meningkatkan kesadaran sanitasi lingkungan, pemenuhan gizi anak, serta deteksi dini penyakit menular seperti TBC dan infeksi cacing, tak menyentuh keluarga Raya.

Diketahui sejak kecil, Raya tumbuh di lingkungan kotor, bermain di tanah bercampur kotoran ayam di bawah rumah panggungnya di Desa Cianaga, Kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi. Rumah yang ditempati keluarga Raya, tak memiliki jamban dengan sistem sanitasi buruk.

Baca Juga: Jerat Gelap di Asia Tenggara: Sukabumi dalam Pusaran Perdagangan Manusia

Hak Terpinggirkan Warga Negara dari Keluarga Rentan

Tak hanya soal kesehatan, kematian bocah raya juga mengungkap ‘bobroknya jika sistem pelayanan sosial dan administrasi kependudukan, bagi rakyat miskin dan keluarga rentan. Raya menghembuskan nafas dengan status keluarga tanpa dokumen adminduk (baik ktp, kartu keluarga. Ini membuat keluarga termasuk Raya tak memiliki akses apapun untuk mendapatkan pelayanan sosial dan kesehatan dari negara yang berbasis adminduk.

Relawan rumah teduh yang membantu Raya mendapatkan perawatan medis di RSUD R Syamsudin, mengungkapnya semuanya. 13 Juli 2025, bocah dari Desa Cianaga Kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi Jawa Barat, itu ke dievakuasi ke rumah sakit dalam kondisi kesehatan yang terus menurun, hingga akhirnya meninggal dunia di hari kesembilan perawatan.

Iin Achsien, Founder Rumah Teduh, kepada awak media Selasa 19 Agustus 2025, menjelaskan bagaimana Raya ditemukan tak hanya dalam masalah kesehatan tapi juga hambatan sosial. Balita malang ini tidak memiliki data kependudukan, sehingga tidak bisa langsung mendaftarkan sebagai pasien BPJS.

“Ternyata Raya itu tidak punya identitas sehingga ketika masuk ke rumah sakit sebagai pasien umum,” tegasnya.

Selama sembilan hari perawatan hingga Raya meninggal dunia, pihak Rumah Teduh harus membayar tagihan rumah sakit sebesar Rp23 juta. Setelah mendapat keringanan dari pihak Rumah Sakit, total biaya yang dibayarkan mencapai Rp15 juta.

Tentu tak bijak menyalahkah pola asuh keluarga khususnya kedua orang tua Raya, sebagaimana sempat diutarakan oleh jajaran pemerintan daerah saat kasus ini muncul dan viral. Diketahui jika kedua orang tua Raya mengalami gangguan kesehatan dan mental,

Menurut Ajeng, relawan rumah teduh seharusnya masyarakat sekitar dan pemerintah setempat bisa lebih sigap melihat kondisi tersebut. “Jadi sebetulnya kalau memang raya ini sudah diketahui (kondisinya) oleh masyarakat sekitar, harusnya masyarakat sekitar yang bergerak karena bagaimana kita bisa mengharapkan seorang anak diurus oleh dua orang tua yang odgj dan seorang nenek yang sudah sepuh,” ungkapnya.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai kasus meninggalnya balita Raya merupakan potret nyata kelalaian negara dalam melindungi warga. KPAI prihatin pemerintah desa setempat tak bisa membedakan mana situasi darurat dan rentan yang butuh pertolongan cepat.

Wakil Ketua KPAI, Jasra Putra, mengatakan peristiwa itu menunjukkan betapa akses layanan dasar anak masih terganjal oleh hal administratif seperti tidak adanya nomor induk kependudukan (NIK). “Begitu Raya tidak punya nomor kependudukan, gugurlah semua kewajiban negara. Maka Raya meninggal,” ujar Jasra dalam keterangan tertulis yang dilansir dari Tempo, Kamis, 21 Agustus 2025.
Padahal, kata Jasra, semestinya berbagai program negara di bidang kesehatan dan perlindungan sosial dapat diakses tanpa hambatan. KPAI menyoroti keluarga Raya hidup dalam kondisi yang sangat rentan. Sang ibu disebut mengalami gangguan jiwa, ayahnya sakit TBC dan juga ODGJ, sementara pengasuhan sehari-hari lebih banyak dilakukan oleh nenek.

Baca Juga: Catatan dan Kritik 100 Hari Kerja Ayep Zaki-Bobby Maulana Pimpin Kota Sukabumi

“Sayangnya, tidak ada satupun sistem layanan yang mampu menyentuh keluarga ini. Kita semua baru tahu ketika masalahnya sudah menjadi puncak: Raya meninggal,” kata Jasra.

Menurut dia, kematian Raya bukan hanya akibat sakit, tapi juga cermin dari pengabaian dan penelantaran anak yang berlangsung lama. Seharusnya pencatatan kelahiran dilakukan secara aktif oleh negara, bukan dibebankan kepada keluarga yang justru tidak mampu mengurus administrasi.

“Anak tidak bisa melindungi dirinya sendiri. Penderitaan keluarga Raya berlapis-lapis, tapi sistem pelayanan negara justru terhenti karena alasan administratif,” ujarnya.

KPAI mendesak pemerintah pusat maupun daerah segera menutup celah kebijakan agar anak-anak dalam pengasuhan keluarga dengan orang tua ODGJ atau sakit berat tidak kembali terabaikan.

Jasra juga menekankan pentingnya segera mengesahkan rancangan Undang-Undang Pengasuhan Anak yang sudah 15 tahun mangkrak di DPR. “RUU ini harus menjadi prioritas. Tidak ada kebijakan yang mampu menyentuh anak-anak yang hidup dalam pengasuhan keluarga ODGJ. Tanpa itu, pengabaian dan penelantaran akan terus berulang,” kata dia.

Bagi Jasra, meninggalnya Raya harus menjadi ‘lonceng kematian’ yang mengingatkan semua pihak, mulai dari RT/RW, posyandu, desa, hingga pemerintah daerah dan pusat, agar lebih sigap mendeteksi keluarga rentan. “Kepedulian kita telat. Negara lamban hadir. Karena itu, jangan sampai ada anak-anak lain yang bernasib sama seperti Raya,” ujarnya.

Cacingan di Lumbung Energi

Walaupun keluarga Raya masuk kategori pra sejahtera,Desa Cianaga Kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi bukalah wilayah miskin. Cianaga bukan desa sembarangan. Ia termasuk 13 desa ‘emas; di Kecamatan Kabandungan dan Kalapanunggal, Kabupaten Sukabumi, yang menerima Bonus Produksi (BP) dari Star Energy Geothermal Salak, Ltd (SEGS), perusahaan panas bumi raksasa yang beroperasi di kawasan itu.

BP panas bumi adalah potensi anggaran yang selama ini belum dimanfaatkan maksimal oleh Pemerintah Kabupaten Sukabumi untuk wilayah sekitar. Dana ini seharusnya menjadi instrumen pembangunan dan layanan yang menjawab kebutuhan warga di dekat proyek geothermal.

Catatan Civil Society Organization (CSO) Cinta Karya Alam Lestari (CIKAL), berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Kabupaten Sukabumi, BP dari Star Energy yang masuk ke kas Pemerintah Kabupaten Sukabumi pada 2022 mencapai Rp 11.008.568.447,00, kemudian pada 2023 naik menjadi sekitar Rp 14.330.140.614,00.

Merujuk pada Peraturan Bupati Sukabumi Nomor 33 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemanfaatan Dana Bonus Produksi Panas Bumi kepada Pemerintah Desa, Pemerintah Kabupaten Sukabumi menerima 50 persen dari BP tersebut, lalu 50 persen dibagi secara merata untuk enam desa di Kecamatan Kabandungan (Kabandungan, Tugubandung, Cipeuteuy, Cihamerang, Mekarjaya, dan Cianaga) serta tujuh desa di Kecamatan Kalapanunggal (Palasari Girang, Kalapanunggal, Kadununggal, Pulosari, Walangsari, Gunung Endut, dan Makasari).

Baca Juga: Pelajaran dari Tabungan Lebaran Fiktif: Saat Kepercayaan Tanpa Legalitas Menjadi Bumerang

Direktur CIKAL Didin Sa’dillah mengatakan, untuk 2024, Desa Cianaga memperoleh BP panas bumi Rp 461.538.462. Jika berasumsi seluruh desa menerima angka yang sama, maka pada 2022 Desa Cianaga mendapatkan BP Rp 423.406.478 dan tahun 2023 sekitar Rp 551.159.254.

Dalam regulasi yang sama, prioritas penggunaan dana adalah kesehatan. Namun, di desa yang setiap tahun mendapat ratusan juta rupiah itu, seorang balita justru mati tanpa perawatan dasar.

Lebih jauh, aliran dana panas bumi ke Kabupaten Sukabumi bukan hanya lewat BP. Ada juga Dana Bagi Hasil (DBH), jumlahnya jauh lebih besar.

Realisasinya pada 2022 kurang lebih Rp 82.910.097.080,00 dan tahun 2023 sekitar Rp 60.277.112.000,00. Sementara untuk 2025, menurut data Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) Dirjen Perimbangan Keuangan Daerah Kemenkeu RI, Pemerintah Kabupaten Sukabumi akan menerima DBH sebesar Rp 118.402.014.000,00.

Berdasakan pembagian untuk daerah penghasil dan pengolah panas bumi yang diatur Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, hasil hitungan CIKAL selama 2022 dan 2023, Pemerintah Kabupaten Sukabumi telah menerima tidak kurang dari Rp 45 miliar DBH panas bumi per tahun dari Star Energy.

“SEGS sebenarnya sudah menunaikan kewajiban, mulai dari DBH, BP, CSR, hingga sponsorship. Masalah utama ada pada pemerintah: bagaimana dana itu dikelola,” ujar Direktur CIKAL Didin Sa’dillah kepada sukabumiupdate.com pada Kamis (21/8/2025).

Ia menambahkan, di kawasan Salak Project, selain SEGS, ada pula PT PLN Indonesia Power. Tetapi kontribusi Indonesia Power masih minim, dan peran pemerintah seharusnya lebih besar dalam memastikan dana yang ada menjawab kebutuhan warga.

Sejak lama, CIKAL mendesak agar aturan pembagian dana direvisi. Dua kali audiensi digelar, hasilnya tetap buntu. Tiga tuntutan yang mereka ajukan adalah:

1. Perubahan regulasi terkait Peraturan Bupati Sukabumi Nomor 33 Tahun 2018, terutama yang mengatur tentang penggunaan dan pembagian.
2. Meminta BP 70 persen dikembalikan ke daerah penghasil dan pemerintah daerah hanya mengelola 30 persen.
3. Meminta DBH direalokasi sebesar 15 atau 20 persen ke daerah penghasil.

Baca Juga: Asam Manis Efisiensi APBD Sukabumi

Tuntutan itu diajukan bukan tanpa alasan. Kecamatan Kabandungan masih dipandang sebagai wilayah tertinggal dan miskin. Jika ditelusuri di situs Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE), pembangunan di Kabandungan jelas tertinggal dibanding kecamatan lain. Padahal, DBH geothermal yang masuk terbesar di provinsi.

Fokus tuntutan CIKAL sederhana: gunakan dana itu untuk layanan dasar (kesehatan, pendidikan, dan ekonomi) serta infrastruktur utama—khususnya akses jalan Bojonggenteng-Kalapanunggal dan Kabandungan yang hingga kini rusak parah.

Kematian Raya menyingkap paradoks nyata: desa yang disebut emas justru tak mampu memberi pelayanan dasar. Dana ratusan juta rupiah mengalir ke desa tiap tahun, miliaran masuk ke kas daerah, namun satu balita dibiarkan mati tanpa identitas dan jaminan.

Apakah uang itu terserap ke pembangunan? Atau justru menguap dalam program yang tak menyentuh akar persoalan masyarakat? Pertanyaan ini menggantung, tanpa jawaban yang jelas dari pemerintah desa maupun kabupaten.

SEGS diketahui memiliki hak eksklusif untuk mengembangkan area panas bumi berdasarkan Kontrak Operasi Bersama dengan PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) hingga 2040 dan menyediakan listrik hingga 495 MW berdasarkan Kontrak Penjualan Energi dengan PGE & PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).

SEGS yang berlokasi sekitar 70 kilometer dari Jakarta, menyuplai uap panas bumi untuk menghasilkan listrik melalui pembangkit listrik sebesar 180 MW yang dioperasikan oleh PLN. SEGS juga menyediakan uap panas bumi dan mengoperasikan pembangkit listrik sebesar 201 MW untuk Jaringan Listrik Interkoneksi Jawa-Madura-Bali (JAMALI).

Produksi uap panas bumi perdana pada 1994 menandai beroperasinya SEGS secara komersial dengan menyalurkan listrik sebesar 110 MW kepada PLN. Pada 2021, SEGS berhasil mencapai kapasitas listrik sebesar 381 MW, yang menempatkan SEGS sebagai salah satu operasi panas bumi terbesar di dunia.

Desa Cianaga sendiri terhampar di lahan seluas 1.926 hektare pada ketinggian 700–850 meter di atas permukaan laut. Dengan curah hujan ideal (600–700 mm/tahun), tanahnya juga subur untuk pertanian padi, perkebunan teh, dan peternakan, yang menjadi tumpuan hidup mayoritas warga.

Namun, potret kependudukannya menunjukkan data yang perlu diverifikasi lebih lanjut. Terdapat inkonsistensi jumlah penduduk: data internal desa per 2024 mencatat 3.458 jiwa, sedangkan laporan resmi Badan Pusat Statistik (BPS) dalam "Kecamatan Kabandungan dalam Angka 2023" menunjukkan populasi Desa Cianaga mencapai 6.323 jiwa. Perbedaan ini memerlukan penelusuran lebih dalam oleh pihak terkait.

Keterbatasan paling penting terasa di sektor kesehatan. Desa seluas ini hanya ditopang satu Puskesmas Pembantu (Pustu), tujuh Posyandu, dan satu Bidan Desa.

Baca Juga: Generasi Muda Sukabumi yang Terkunci Darah dan Senjata

Data desa juga menunjukkan fakta yang mengkhawatirkan: 925 Kepala Keluarga (KK) tergolong keluarga pra-sejahtera. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan representasi dari kerentanan ekonomi, risiko gizi buruk, dan minimnya jangkauan layanan dasar. Tragedi yang menimpa Raya adalah puncak gunung es.

Sukabumi Kembali Bunyikan Alarm Nasional

Sukabumi khususnya Kabupaten Sukabumi kembali menyalakan alarm nasional masalah pelayanan kesehatan bagi rakyat. 20 tahun sebelumnya, pemerintah juga dikejutkan dengan kasus polio yang ditemukan di Kecamatan Cidahu Kabupaten. Wilayah yang tak jauh dari tempat tinggal raya, masih di kawasan kaki gunung salak yang berada di Kabupaten Sukabumi.

Kementerian Kesehatan yang waktu itu bernama Departemen Kesehatan melakukan deteksi kasus lumpuh layuh di tiga kecamatan di Sukabumi Jawa Barat. Dari 17 kasus yang ditemukan saat itu, empat diantaranya dinyatakan positif polio.

"Dari semua kasus yang dilaporkan tidak satu pun yang mendapatkan imunisasi polio dasar," kata Dirjen PPM dan PL Depkes Prof Dr Umar Fahmi Achmadi dalam rilisnya kepada media di Jakarta, Rabu, 11 Mei 2005.

Data tersebut, kata Fahmi, merupakan data per 9 Mei 2005 dari Kecamatan Cidahu, Kecamatan Cicurug dan Kecamatan Bojonggenteng,Kabupaten Sukabumi. Tambahan dua kasus lumpuh layuh terakhir dilaporkan pada 6 Mei 2005.

Dijelaskan kasus lumpuh layuh di Sukabumi ditemukan sejak 13 Maret 2005, dan selanjutnya pada 21 April 2005 Laboratorium Nasional Polio Bio Farma Bandung melaporkan adanya virus liar polio di Sukabumi.

Berdasarkan temuan tersebut Depkes dan WHO kemudian melakukan penyelidikan lapangan yang diikuti dengan imunisasi polio massal. Dari penyelidikan epidemiologi itu ditemukan 15 kasus lumpuh layuh dan telah diambil spesimen tinjanya untuk pemeriksaan laboratorium.

Dari situlah diketahui empat kasus dinyatakan positif polio karena virus polio liar dan dipastikan merupakan kasus impor, sebab strain virusnya sama dengan yang ditemukan di Arab Saudi. Satu kasus dinyatakan bukan polio dan 10 kasus lain masih menunggu konfirmasi dari Laboratorium Bio Farma.

Empat anak yang dinyatakan positif polio adalah Sel (21 bulan). Bocah perempuan ini sekarang tengah dirawat di RSCM Jakarta. Hasil pemeriksaan Laboratorium Puslitbangkes Depkes pada 3 Mei 2005 ditemukan positif virus polio P1.

Baca Juga: Harapan Penyintas dan PR Pemerintah dalam Penanganan Pascabencana Sukabumi

Namun, untuk mengetahui jenis virusnya polio liar atau virus polio vaksin masih dilakukan pemeriksaan Intra Typic Differentiation (ITD).Tiga anak lain yang positif terkena polio adalah Fa (48 bulan), anak perempuan asal Kecamatan Cidahu, Al (32 bulan), anak laki-laki asal Cidahu dan Dar (24 bulan), bocah laki-laki dari Kecamatan Bojonggenteng. Ketiganya dinyatakan positif terkena virus polio liar tipe P1.

Editor :
Berita Terkait
Berita Terkini