Penulis : Edhy Aruman, Dosen London School of Public Relations (LSPR)
Lahir di Juwana, Jawa Tengah pada 11 Januari 1935, Pak Kwik Kian Gie adalah sosok ekonom, pendidik, dan tokoh publik yang merepresentasikan dedikasi dan integritas.
Sebagai anak kelima dari tujuh bersaudara dalam keluarga peranakan Tionghoa, nilai-nilai kerja keras dan semangat kewirausahaan ayahnya, almarhum The Kwik Kie, mewarisi pondasi penting dalam hidupnya.
Ia menamatkan SMA Bagian C pada 1955, melanjutkan studi ekonomi di Universitas Indonesia, lalu melanjutkan pendidikan di Nederlandsche Economische Hogeschool di Rotterdam—tempat ia menyelesaikan ujian doktoralnya pada 1963—dan aktif sebagai Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Belanda.
Segera setelah kembali ke Indonesia, Kwik bekerja sebagai staf lokal di Kedutaan Besar RI di Den Haag (1963–1964), sebelum mendirikan Nederlands Indonesische Goederen Associatie pada 1965, sebuah perusahaan ekspor hasil bumi yang walaupun tidak berjalan lancar, membuktikan keberaniannya mengambil inisiatif bisnis.
Pada masa yang sama, ia memimpin NV Handelsonderneming “IPILO” di Amsterdam (1965–1970), firm perdagangan impor-ekspor yang menghubungkan komoditas Indonesia dengan pasar Eropa.
Baca Juga: Mahasiswa KKN IPB Bangun Insinerator Ramah Lingkungan untuk Atasi Sampah di Mekarjaya Sukabumi
Sesampai di tanah air, ia menyibukkan diri mendirikan PT Indonesian Financing & Investment Company pada 1971, dan menjabat sebagai direkturnya hingga 1974. Setelahnya, ia memilih jalur independen sebagai finance management consultant, mengabdi kepada banyak perusahaan.
Pada 1978, ia kembali mengemban tanggung jawab korporasi besar sebagai Direktur PT Altron Panorama Electronics dan Direktur Utama PT Jasa Dharma Utama, serta menjadi Komisaris PT Cengkih Zanzibar.
Sosok Kwik Kian Gie dikenal tidak hanya sebagai praktisi bisnis, tetapi juga sebagai tokoh yang sangat peduli pada kualitas pendidikan manajemen.
Ia melihat bahwa sistem pendidikan ekonomi dan akuntansi di Indonesia terlalu menitikberatkan pada teori, tanpa cukup memberi ruang bagi penerapan praktis. Ia menilai kurikulum yang monologis tidak menjawab tantangan nyata dunia usaha.
Dengan pendekatan yang berbasis diskusi, studi kasus industri, dan keterlibatan praktisi sebagai dosen tamu, ia membangun model pembelajaran yang langsung menjembatani teori dan praktik di Institut Manajemen Prasetiya Mulya, sebuah lembaga yang ia pimpin sebagai Ketua Dewan Direktur.
Di samping kiprahnya di dunia pendidikan dan bisnis, Kwik juga aktif secara sosial-politik. Ia menjabat sebagai Ketua Bidang Ekonomi Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa (Bakom PKB), yang menawarkan visi “Persatuan dan Kesatuan Bangsa” sebagai alternatif konsep “pembauran”—sebuah pendekatan yang menurutnya lebih efektif untuk menghadapi persoalan sosial secara konstruktif.
Jejaknya semakin lengkap ketika ia memasuki politik praktis. Bergabung dengan PDI-P sejak era Orde Baru, ia pernah menjadi anggota DPR RI, Wakil Ketua MPR RI, dan kemudian dipercaya sebagai Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri selama era Presiden Abdurrahman Wahid (1999–2000)
Ia kemudian diangkat menjadi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional sekaligus Ketua Bappenas (2001–2004) di masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. Kebijakan-kebijakannya di kala berkuasa kerap menarik kritik publik dan diskusi kritis, memperlihatkan betapa ia sangat vokal serta idealis dalam memandang kebijakan ekonomi sebagai instrumen keadilan sosial.
Kariernya juga mengalir lintas partai hingga masa akhir hidupnya. Meskipun dikenal dekat dengan PDI-P, pada Pilpres 2019 ia konsisten memilih independen dalam sikap politik, menjadi penasihat bagi pasangan calon Prabowo Subianto–Sandiaga Uno, tanpa melepas komitmen idealisme dan independensi berpikir.
_“Kalau saya hidup, saya ingin berguna bagi banyak orang,” _katanya. Dan ia menjalani prinsip itu secara konsisten hingga akhir hayatnya
Pada Senin malam, 28 Juli 2025 sekitar pukul 22.00 WIB, dunia ekonomi-politik Indonesia kehilangan sosok besar.
Kwik Kian Gie berpulang di usia 90 tahun, kabar yang dikonfirmasi oleh tokoh senior PDI-P Andreas Hugo Pareira dan disampaikan secara terbuka oleh mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta sekaligus tokoh publik, Sandiaga Uno.
Sandiaga menyebutnya sebagai “ekonom, pendidik, nasionalis sejati. Mentor yang tak pernah lelah memperjuangkan kebenaran, yang berdiri tegak di tengah badai, demi kepentingan rakyat dan negeri”
Politikus senior PDIP, Hendrawan Supratikno, turut menyampaikan rasa duka mendalam: “Ekonom andal berintegritas. You’ll be missed”.
Pantulan penghormatan serupa juga muncul dalam banyak portal berita seperti Kompas, Liputan6, dan Kumparan yang mengenang kiprah dan nilai-nilai yang dibawanya.
Kehidupan pribadi Kwik tak kalah hangat. Ia menikah dengan Edith Johanna de Wit, wanita Belanda yang dikenalnya semasa studi di Rotterdam, dan dikaruniai tiga anak.
Ia tetap menyempatkan berenang, membaca, dan menulis—menghasilkan berbagai kolom kritis di media nasional tentang ekonomi, manajemen, dan integrasi sosial yang ilmiah tapi tetap manusiawi.
Rumah terakhirnya berada di Taman Radio Dalam II No. 3, Kebayoran Baru, Jakarta—lokasi yang pernah menjadi pusat refleksi, diskusi, dan perencanaan visi bangsa.
Kini Kwik telah berpulang, namun nilai-nilai yang ditorehkannya akan terus menginspirasi generasi masa depan: keberanian berpikir kritis, kepedulian terhadap pendidikan, dan pengabdian kepada bangsa sebagai prioritas utama.