Mendidik untuk Bangkit, Pendidikan sebagai Jalan Menuju Indonesia Kuat

Sukabumiupdate.com
Selasa 20 Mei 2025, 13:47 WIB
Dosen Universitas Nusa Putra sekaligus Anggota Dewan Pendidikan Kabupaten Sukabumi, CSA Teddy Lesmana. | Foto: Instagram/@teddyzeeous

Dosen Universitas Nusa Putra sekaligus Anggota Dewan Pendidikan Kabupaten Sukabumi, CSA Teddy Lesmana. | Foto: Instagram/@teddyzeeous

Penulis: CSA Teddy Lesmana | Dosen Universitas Nusa Putra, Anggota Dewan Pendidikan Kabupaten Sukabumi

Di tengah peringatan Hari Kebangkitan Nasional ke-117, ketika gema tema “Bangkit Bersama Wujudkan Indonesia Kuat” dikumandangkan di seluruh penjuru negeri, kita patut bertanya ulang: apa arti kebangkitan dalam konteks bangsa yang kompleks dan terus berubah ini? Adakah kebangkitan yang lebih mendalam daripada kebangkitan nalar dan karakter warganya?

Sejarah telah mencatat bahwa kebangkitan nasional pertama bukan dimulai dari senjata, melainkan dari pena dan kesadaran. Lahirnya Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908 adalah simbol awal bahwa pendidikan dan kebudayaan adalah fondasi sejati kemerdekaan. Bukan hanya kemerdekaan dari penjajahan, tetapi juga dari keterbelakangan, ketidaktahuan, dan ketergantungan. Namun hari ini, lebih dari seabad kemudian, kita menghadapi bahaya yang lebih sunyi namun lebih mengakar: peniruan tanpa jiwa. Inilah yang disebut oleh DiMaggio dan Powell (1983) sebagai memetic isomorphism—sebuah gejala di mana lembaga-lembaga publik, termasuk pendidikan, meniru bentuk-bentuk dari institusi negara maju tanpa memahami konteks, nilai, dan tujuan di baliknya.

Indonesia dengan penuh semangat mengadopsi istilah-istilah global seperti competency-based education, learning outcomes, atau merdeka belajar dan sekarang berdampak, namun realitas di lapangan kerap menunjukkan sistem yang berjalan tanpa arah. Sekolah-sekolah kita makin ramai dengan ujian, ranking, dan akreditasi, tetapi makin sepi dari makna, refleksi, dan karakter. Seperti rumah mewah yang megah di luar namun kosong di dalam, sistem pendidikan kita banyak mengadopsi kulit, tetapi gagal menanamkan isi yang sesuai dengan jiwa bangsa ini.

Francis Fukuyama mengingatkan bahwa kekuatan suatu bangsa tidak ditentukan oleh formasi institusi semata, melainkan oleh kapasitas moral dan intelektual warga negara yang menghidupi institusi tersebut. Dalam hal ini, pendidikan memegang peran yang lebih strategis dari sekadar pembangunan ekonomi. Pendidikan adalah medan di mana bangsa mempertaruhkan legitimasi masa depannya. Sebab negara yang besar tidak dibangun oleh teknologi dan infrastruktur belaka, tetapi oleh manusia-manusia yang mengerti tujuan hidup bersama dan mampu mengambil keputusan dengan tanggung jawab etis.

Baca Juga: Hari Kebangkitan Nasional ke-116 Kota Sukabumi: Semangat Menuju Indonesia Emas 2045

Mengubah Arah Menuju Pendidikan yang Membangkitan

Kita tidak sedang kekurangan sekolah, guru, atau kebijakan. Yang kita butuhkan adalah keberanian epistemik untuk tidak sekadar meniru, tapi mencipta; tidak sekadar mengejar nilai, tapi menumbuhkan makna. Pendidikan harus kembali menjadi alat emansipasi, bukan domestikasi. Harus menjadi ruang pembebasan nalar dan penguatan karakter, bukan sekadar terminal untuk menunggu pekerjaan.

Kita tidak bisa berharap kebangkitan nasional jika siswa diajarkan untuk hanya patuh tanpa berpikir, menghafal tanpa memahami, atau bersaing tanpa rasa. Kita tidak bisa bangkit sebagai bangsa jika sekolah dan universitas hanya menjadi pabrik gelar, dan bukan taman pembibitan pemimpin yang jujur dan berani. Sebab demokrasi yang kuat lahir dari rakyat yang tercerahkan—dan itu hanya mungkin jika pendidikan menjadi pengalaman yang utuh: intelektual, etis, dan spiritual.

Kita memerlukan pendidikan yang tidak takut pada teknologi, namun tidak kehilangan kemanusiaan. Sekolah harus bisa mengajarkan matematika dan empati dalam waktu yang sama; mengajarkan literasi digital tanpa melupakan literasi moral. Jika tidak, kita hanya akan mencetak teknokrat tanpa nurani—profesional tanpa rasa tanggung jawab sosial. Fukuyama menyebut ini sebagai risiko besar dari modernisasi tanpa landasan nilai, yang akan melahirkan kehampaan institusional.

Namun jalan keluar bukan dengan menolak semua hal baru. Justru sebaliknya, kita harus mengakar kuat pada realitas sosial kita dan berani menggubah ulang sistem pendidikan agar sesuai dengan keunikan bangsa ini. Kita harus mulai membangun dari desa, dari komunitas, dari bahasa ibu, dari kearifan lokal, dari kebutuhan anak-anak kita yang tak sempat sarapan sebelum berangkat sekolah. Kita harus berhenti memimpikan Finlandia jika tidak siap memperjuangkan kesejahteraan guru, keamanan sosial, dan ruang partisipatif dalam pendidikan.

Hari Kebangkitan Nasional adalah momen yang tepat untuk melepaskan diri dari ilusi bahwa kita bisa bangkit hanya dengan meniru. Kebangkitan sejati selalu dimulai dari keberanian untuk mengenal diri sendiri—bangsa mana pun yang besar selalu membangun dari tanahnya sendiri, dengan caranya sendiri, dan untuk rakyatnya sendiri. Kita membutuhkan sistem pendidikan yang berpihak, bukan netral secara semu; berkarakter, bukan hanya berstandar; berdaya cipta, bukan hanya berdaya salin.

Maka, di antara gegap gempita slogan dan upacara, mari kita kembalikan pendidikan ke tempat semestinya: sebagai fondasi sunyi dari semua kebangkitan yang sejati. Mari kita didik generasi yang tak hanya cerdas, tapi juga arif. Tak hanya kompeten, tapi juga berani mencinta. Tak hanya siap kerja, tapi siap hidup sebagai warga bangsa yang merdeka dan bertanggung jawab.

Sebab kebangkitan Indonesia tidak akan datang dari luar. Ia hanya akan lahir ketika di setiap ruang kelas, di setiap dialog antara guru dan murid, di setiap mimpi yang lahir dari halaman-halaman buku yang dibaca dalam diam—terjadi sebuah proses sunyi yang disebut pendidikan. Dan di sanalah, Indonesia yang kuat sedang dipersiapkan. Semoga demikian adanya. Wallahu a'lam bishawab.

Berita Terkait
Berita Terkini