Awi Friendly, Yu! Stop Rasisme! Orang Sunda, Mah Lir Ibarat Awi Jeung Gawirna

Sukabumiupdate.com
Senin 06 Okt 2025, 07:43 WIB
Awi Friendly, Yu! Stop Rasisme! Orang Sunda, Mah Lir Ibarat Awi Jeung Gawirna

Dalam filsafat Sunda, terdapat sebuah metafora yang merangkum esensi dari kehidupan sosial yang harmonis: "Hirup kumbuh jeung manusa kudu lir ibarat awi jeung gawirna" (Sumber : Canva)

SUKABUMIUPDATE.com - Di ranah filsafat Sunda, ada sebuah metafora yang merangkum esensi dari kehidupan sosial yang harmonis, Updaters, pernah dengan frasa ini? "Hirup kumbuh jeung manusa kudu lir ibarat awi jeung gawirna". Secara harfiah berarti "Hidup dan tumbuh bersama manusia haruslah seperti bambu dan tepian tanahnya," bukanlah sekadar pepatah, melainkan manifesto persaudaraan dan gotong royong.

Hirup (hidup) dan kumbuh (berkembang, berdekatan dengan tumbuh dalam Bahasa Indonesia) menekankan bahwa keberadaan sebuah entitas harus selalu bergerak ke arah peningkatan dan perkembangan positif (kumbuh), dan gerakan ini tidak boleh soliter. Kita harus menjalaninya jeung manusa (bersama manusia) lainnya.

Kemudian, hadir perbandingan lir ibarat (bagaikan/seperti/ibarat) yang merujuk pada awi jeung gawirna  bambu yang berdiri tegak, lentur, namun memiliki akar yang kuat menopang dan ditopang oleh gawir (tepian tanah curam), saling menopang.

Dalam konteks sosial dan spiritual, bambu mengajarkan kesabaran, keteguhan hati, dan kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan tanpa kehilangan jati diri.Dalam konteks sosial dan spiritual, bambu mengajarkan kesabaran, keteguhan hati, dan kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan tanpa kehilangan jati diri.

Gawir di sini melambangkan tantangan, lingkungan, atau komunitas tempat ia berpijak, ia adalah entitas yang memberikan fondasi namun juga membutuhkan daya dukung. Dengan demikian, filosofi ini mengajarkan bahwa manusia harus saling menopang, erat melekat, dan tidak terpisahkan pada kebersamaan sekuat dan seerat hubungan alami antara rumpun bambu dan bumi yang menahannya, hal ini menunjukkan bahwa kekuatan sejati terletak pada keterhubungan dan sinergi, bukan pada individualitas yang terisolasi.

Baca Juga: Main Bola Lalu Ngojay, Dua Anak Tenggelam di Sungai Cimandiri Warungkiara Sukabumi

Keajaiban Bambu Ibarat Alat Pemersatu dan Guru Bagi Orang Sunda

Kini, di tengah gejolak dunia yang terkoyak oleh batas-batas negara, dogma agama, warna kulit, dan ideologi politik, ras, berdiri tegaklah satu entitas alam yang lentur, sunyi, namun bersuara lantang dalam menyatukan umat manusia, yakni bambu (awi). Tanaman purba ini telah lama diakui sebagai janji pemersatu universal.

Wolfgang Ebertz, seorang pemerhati bambu, mendeklarasikan esensi ini dengan tegas: "No matter what country we are from, no matter what religion we belong to, no matter what colour skin has, no matter what political system we belong to, bamboo is our friends and, therefore we are all friend." Pandangan ini bergema melintasi benua.

bagi Urang Sunda bukan sekadar tanaman fisik, tetapi lambang kehidupan yang penuh makna: kekuatan, keteguhan, kesabaran, hubungan sosial yang harmonis, dan kesadaran spiritual akan asal-usul manusia.Bagi Urang Sunda bukan sekadar tanaman fisik, tetapi lambang kehidupan yang penuh makna: kekuatan, keteguhan, kesabaran, hubungan sosial yang harmonis, dan kesadaran spiritual akan asal-usul manusia.

Di India, bambu dijuluki 'The wood of the poor' (Kayu untuk orang miskin), menunjukkan karakternya yang demokratis dan dapat diakses oleh siapa pun. Bagi orang Tiongkok, ia adalah 'The friend of the people' (Kawan bagi manusia), dan bagi orang Vietnam, bambu bahkan dipanggil 'The brother' (Saudara). Lebih dari sekadar material, bambu adalah simbol persaudaraan universal, sebuah jembatan hijau yang menolak segala bentuk diskriminasi.

Kedalaman Filosofi di Tatar Sunda

Tak ada wilayah di Indonesia, mungkin di dunia, di mana ikatan dengan awi terjalin seerat di Tatar Sunda (Jawa Barat). Di sini, awi melampaui perannya sebagai material bangunan ia adalah guru, falsafah hidup, dan cerminan dari hubungan kosmik antara manusia dan alam. Masyarakat Sunda hidup dalam nuansa kehidupan yang sangat resiprokal (sifat atau tindakan saling memberikan atau membalas sesuatu antar pihak, seperti tindakan timbal balik, perlakuan yang seimbang, atau perbuatan yang dilakukan secara bergantian ) dengan lingkungan mereka, meyakini prinsip timbal balik yang diabadikan dalam peninggalan leluhur (titinggal karuhun).

Sikap hormat mendalam ini melahirkan konsep keselarasan dan keharmonisan, yang dicontohkan dalam pepatah "laukna beunang caina herang" (mendapatkan ikan tanpa mengeruhkan airnya)  sebuah prinsip anti-destruktif dalam mencari kepuasan materiil.

Nilai filosofi awi: Awi singkatan dari Ajining Wiwitan Ingsun Medal, manusia hidup berdasarkan asal muasal dan hakikat kejadian dari Sang Pencipta.Nilai filosofi awi: Awi singkatan dari Ajining Wiwitan Ingsun Medal, manusia hidup berdasarkan asal muasal dan hakikat kejadian dari Sang Pencipta.

Keutamaan bambu sebagai guru diakui secara spiritual dan etimologis: Awi dimaknai sebagai "Ajining Wiwitan Ingsun medal" (ilmu diri yang lahir ke dunia) atau "Ajining Wiwitan Ingsun dahar" (ilmu kehidupan). Bahkan struktur fisiknya menjadi lambang: parungpung (lubang kosong di tengah batang) melambangkan bahwa manusia lahir dalam keadaan kosong. Kekosongan ini harus diisi dengan sareat (usaha) dan ilmu agar dapat melahirkan nilai-nilai estetika dan etika, mencerminkan betapa pentingnya proses pengisian diri dan pembelajaran dalam menjalani kehidupan.

Baca Juga: Perkuat Lembaga Kemasyarakatan Desa, DPMD Sukabumi Latih Puluhan RT/RW Pondokkaso Tonggoh

Kekuatan Fisik, Ekologis, dan Warisan Keseharian

Kehebatan bambu tidak hanya terletak pada filosofinya, tetapi juga pada realitas fisik dan ekologisnya. Daeng Sutigna, yang dikenal sebagai Bapak Bambu Indonesia, pernah menggambarkan bahwa bambu adalah material serbaguna: rumah, lantai, dinding, perabot, hingga peralatan dapur (aseupan, boboko), bahkan keranda dan penanda kuburan (tetengger) dapat dibuat dari bambu. Ini menunjukkan peran bambu sebagai material yang demokratis, lentur, kuat, dan melingkupi seluruh siklus kehidupan manusia.

Secara ekologis, dapuran awi (rumpun bambu) berfungsi sebagai benteng alam yang tangguh: mencegah erosi, menahan gerakan tanah, menyaring air tanah, dan meredam suara/panas. Fungsi vital ini yang membuat Emil Salim, mantan Menteri Lingkungan Hidup, berpandangan bahwa "apabila ingin menghancurkan orang Sunda, maka terlebih dahulu harus membinasakan pohon bambunya," sebuah pernyataan yang menegaskan betapa eratnya ikatan kultural dan ekologis antara masyarakat Sunda dan bambu.

Warisan ini termanifestasi dalam keseharian masyarakat pedesaan  mulai dari mainan masa kecil (bebedilan), rumah panggung dengan lantai palupuh dan dinding bilik, hingga sistem pengairan talang awi. Kreativitas masyarakat di sentra kerajinan seperti Rajapolah dan Kampung Naga telah mengubah awi menjadi barang bernilai ekonomi tinggi yang menembus pasar internasional, membuktikan bahwa bambu, si fleksibel nan kuat, bukanlah sekadar komoditas, melainkan akar budaya yang mengalirkan kehidupan dan jembatan hijau yang menyatukan semua manusia, tanpa terkecuali.

(Berbagai sumber)

Editor :
Berita Terkait
Berita Terkini