SUKABUMIUPDATE.com – Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, memiliki panjang jalan kabupaten mencapai 1.424 kilometer yang terbentang di 229 ruas. Dengan wilayah terluas kedua di Pulau Jawa, beban infrastruktur jalan di daerah ini sangat besar. Permasalahan makin kompleks karena banyaknya jalan desa yang dialihkan menjadi jalan kabupaten tanpa memenuhi syarat teknis.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kabupaten Sukabumi, Dede Rukaya, mengungkapkan bahwa pengalihan status jalan pada masa lalu dilakukan tanpa mempertimbangkan kelayakan kondisi fisik jalan.
“Dulu kita melaksanakan pengalihan status jalan desa menjadi jalan kabupaten itu tanpa syarat, artinya kondisi apapun jalan yang ada kita tetapkan di jalan kabupaten,” ujarnya kepada sukabumiupdate.com, Selasa (22/07/2025).
Menurut Dede, kebijakan tersebut kini berbeda dengan mekanisme terkini, di mana pengalihan status ke provinsi atau pusat harus memenuhi syarat kondisi jalan yang mantap. Kebijakan lama ini menjadi beban berat bagi kabupaten dalam hal penyediaan infrastruktur yang memadai.
“Ini yang menjadi beban kabupaten, kita berbagi untuk penyediaan infrastruktur yang baik, barangkali memakan biaya yang besar,” ucapnya.
Baca Juga: 555 Km Jalan di Sukabumi Rusak! Butuh Rp 2,2 Triliun untuk Keluar dari Krisis Infrastruktur
Selain faktor administrasi, Dede menyebut kondisi infrastruktur jalan di Kabupaten Sukabumi juga diperparah oleh bencana alam yang sering terjadi.
Usulan Pelimpahan Ruas Jalan ke Provinsi
Untuk mengurangi beban, Dinas PU Kabupaten Sukabumi telah berkoordinasi dengan Dinas Bina Marga Provinsi Jawa Barat agar sebagian ruas jalan bisa dilimpahkan ke provinsi. Namun, proses pelimpahan tersebut memerlukan kajian teknis yang ketat.
Salah satu ruas jalan yang dianggap layak untuk dilimpahkan adalah jalan Pangleseran–Cibatu di Kecamatan Cikembar.
“Itu sebenarnya jalan kabupaten tapi digunakan untuk lintas daerah. Kepadatannya termasuk tonase jalannya sama dengan jalan provinsi atau nasional,” jelas Dede.
Diketahui, kapasitas beban jalan kabupaten hanya sekitar 8 ton. Namun di ruas tersebut, kendaraan berbobot 20 hingga 30 ton kerap melintas setiap hari.
Contoh lainnya adalah jalan Bojonglopang–Cimerang yang menghubungkan antarjalan provinsi. Dede menyebut ruas penghubung Kecamatan Jampangtengah dengan Kecamatan Purabaya ini lebih tepat jika dikelola oleh pemerintah provinsi.
Pelimpahan jalan alternatif seperti di Nagrak dan Cicurug juga dipertimbangkan, namun tergantung pada lebar badan jalan. Jalan alternatif yang ingin dialihkan ke provinsi minimal harus memiliki lebar 5,5 hingga 6 meter sesuai ketentuan teknis.
“Syarat jalan alternatif itu kan lebih lebar jalannya, jadi harus memenuhi unsur teknis. Jalan provinsi itu di 5,5 atau 6 meter. Jadi harus lebih lebar. Kalau tidak memenuhi syarat, mungkin tidak akan bisa diajukan,” tuturnya.
Standar Ideal Jalan Kabupaten
Dede mengungkapkan bahwa pengalihan jalan desa ke kabupaten tanpa syarat teknis masih terjadi hingga tahun 2024. Idealnya, jalan kabupaten memiliki lebar total 8 meter yang terdiri dari badan jalan 3 meter, bahu jalan 1 meter di tiap sisi, drainase, dan ruang milik jalan.
“Yang penting dari sisi ruas jalan, misalkan luas jalannya itu. Lebarnya jalan kabupaten itu seharusnya 5,5 meter dengan nanti badan jalan 3 meter, bahunya 1 meter kiri kanan, kemudian ada drainase dan ada ruang milik jalan. Jadi sebenarnya total idealnya jalan kabupaten itu 8 meter,” jelasnya.
Butuh Rp 2,2 Triliun Atasi Kerusakan Jalan
Lebih lanjut Dede mengungkapkan bahwa dari total 1.424 km jalan kabupaten, hanya 60,58% yang kondisinya baik atau sedang. Sisanya 39,02% dalam kondisi rusak, dengan wilayah paling terdampak meliputi Jampangtengah, Sagaranten, Jampangkulon, Palabuhanratu, Cicurug, dan Cibadak.
“Rusak berat dan rusak (39,02 persen). Ini yang menjadi permasalahan kita. Angka kita adalah yang terendah di Jawa Barat untuk kondisi kemantapan jalan dibandingkan dengan Kota Sukabumi, Kabupaten Bogor, jauh lebih tinggi mereka,” kata Dede.
Untuk memperbaiki 555,65 km jalan rusak, menurutnyya dibutuhkan anggaran sekitar Rp 2,2 triliun dalam lima tahun atau Rp 550 miliar per tahun. Metode rigid (beton) menjadi pilihan utama demi meningkatkan kemantapan jalan.
“Untuk perbaikan jalan, saya sudah hitung di angka 555,65 kilometer (panjang jalan rusak). Itu per kilometernya lebih banyak metode rigid atau beton yang diperlukan untuk meningkatkan kemantapan. Jadi hitung-hitungan kita kalau jalan dibeton saja, penanganan per kilometer sebesar Rp 4 miliar, tinggal dikalikan saja,” ujar Dede menjelaskan.
“Penyelesaian per tahun sebesar Rp 444,52 miliar. Jadi kebutuhan per tahun Rp 444,52, ditambah Rp 100 miliar, dibulatkan jadi Rp 550 miliar per tahun,” sambungnya.
Dede juga menekankan pentingnya pemeliharaan rutin agar umur jalan bisa mencapai 10 tahun. Namun, pada 2025, anggaran infrastruktur sangat terbatas, hanya sekitar Rp 100 miliar untuk seluruh kegiatan jalan, akibat pemangkasan anggaran yang besar.
“Tahun ini untuk jalan saja kita hanya di kisaran Rp 100 miliar. Itu untuk semuanya, rekonstruksi, pemeliharaan, ada rehab. Jadi semuanya di 2025, karena di tahun ini kita mengalami tsunami anggaran, pemotongan anggaran yang besar,” tandasnya. (adv)