SUKABUMIUPDATE.com - Bagi Mana, HIZAKI, dan musisi onnagata lainnya, penampilan feminin bukanlah sekadar gimik marketing murahan; itu adalah hasil dari dedikasi filosofis yang mendalam. Ketika ditanya mengapa mereka mempertahankan citra yang begitu feminin, jawabannya selalu mengarah pada seni dan drama. Musisi V-Kei melihat kostum dan riasan sebagai "armor" atau "persona" yang memungkinkan mereka menyampaikan emosi dan musik mereka dengan kekuatan yang lebih besar.
Mereka memanfaatkan akar budaya Jepang dari teater Kabuki, di mana peran onnagata dianggap sebagai pencapaian seni tertinggi yang membutuhkan disiplin fisik dan mental luar biasa. Dengan menjadi androgynous, mereka percaya bahwa mereka mencapai ranah artistik yang lebih tinggi, di mana keindahan melampaui dikotomi gender, menciptakan citra yang tidak mungkin ditemukan di dunia musik rock konvensional.
Namun, dedikasi pada persona ini terkadang berbatasan dengan penyiksaan fisik yang ekstrem. Konon, beberapa musisi androgini V-Kei mempraktikkan diet ketat dan bahkan rutin menggunakan corset pengencang di balik gaun mereka untuk mempertahankan bentuk pinggang yang tidak realistis sebuah tindakan yang mereka anggap sebagai "korban" demi seni yang sempurna.
Baca Juga: Saat Keadilan Terhambat Prosedur
Gosip gelap mengatakan bahwa salah satu gitaris yang terkenal dengan penampilan bak putri bangsawan harus dirawat karena pingsan di belakang panggung akibat dehidrasi dan tekanan corset yang terlalu ketat, membuat para staf kaget bahwa di balik keindahan ilusi tersebut tersembunyi perjuangan fisik yang menyakitkan hanya untuk 'tampil cantik'.
Memisahkan Pribadi Panggung dan Pribadi Nyata
Kunci keberhasilan mereka dalam mempertahankan persona ini adalah pemisahan yang ketat antara identitas panggung dan kehidupan pribadi. Begitu riasan dibersihkan, dan kostum dilepas, mereka kembali menjadi diri mereka yang biasa, fokus pada penulisan lagu dan bisnis band.
Bagi mereka, citra panggung adalah persembahan visual sama pentingnya dengan musik yang mereka mainkan, yang terkadang bernuansa pop, metal, atau bahkan punk. Mereka jarang mencoba menyembunyikan gender asli mereka di luar panggung; justru, mereka bangga telah menciptakan karakter yang begitu memukau hingga mampu menghasilkan "Visual Shock" yang kuat.
Ilusi visual Band yang mahal, membuktikan bahwa "Visual Shock" yang kuat sering kali merupakan lapisan tipis yang menutupi kemiskinan dan pengorbanan ekstrem (Foto:@HIZAKI/youtube).
Ketika penggemar terkejut, itu berarti mereka telah berhasil memecahkan dinding antara realitas dan fantasi. Fenomena ini juga berlaku pada musisi lain seperti Aya dari Psycho le Cemu yang tampil imut atau Bou dari An Cafe yang cute, yang semuanya menggunakan visual ekstrem sebagai bagian dari identitas band mereka.
Kisah paling menghebohkan adalah ketika salah satu vokalis V-Kei paling ikonik, yang dikenal karena persona panggungnya yang penuh misteri dan hampir tidak pernah berbicara, kedapatan bekerja paruh waktu di sebuah toko serba ada biasa saat band-nya sedang hiatus.
Seolah petir menyambar di tengah konser yang megah, pemandangan itu meruntuhkan pilar ilusi yang telah dibangun selama bertahun-tahun. Bagi para penggemar, yang terbiasa melihat idola mereka sebagai makhluk non-manusia yang anggun, berdiam di kastil gema dan hanya berkomunikasi melalui syair-syair gotik, melihatnya menyortir botol minuman berenergi adalah sebuah pengkhianatan yang membuat penggemar patah hati.
Kenyataan bahwa tangan yang sama yang biasa memegang mikrofon bertahtakan permata kini menghitung kembalian uang receh di kasir semuanya tanpa riasan dramatis yang menyembunyikan mata lelahnya adalah dosis realitas pahit yang tak tertahankan. Ini bukan lagi seni melainkan pengingat brutal bahwa pahlawan panggung hanyalah pekerja yang membayar sewa, dan bahwa keajaiban Visual Kei, pada dasarnya, adalah sebuah kontrak fana yang harus diakhiri saat jam kerja berakhir.
Fenomena kontrak dalam Visual Kei bukanlah sekadar perjanjian bisnis; itu adalah pakta ilusi yang mengikat musisi pada persona yang mereka ciptakan, bahkan di luar batas kemampuan finansial atau emosional mereka. Kontrak ini menuntut konsistensi visual yang mutlak, di mana biaya kostum, riasan, dan properti panggung sering kali jauh melampaui pendapatan aktual band, memaksa anggota untuk menanggung hutang besar demi mempertahankan citra "mewah" yang mustahil.
Kontrak tak tertulis lainnya adalah dengan para penggemar: Band tersebut harus tetap 'misterius', 'androgini', atau 'dark' selama masa kontrak, dan pelanggaran terhadap persona ini (seperti menikah, memiliki anak, atau bahkan hanya tampil tanpa makeup) sering kali dianggap sebagai pelanggaran kontrak moral yang berujung pada hilangnya dukungan penggemar secara massal. Dengan demikian, musisi V-Kei secara harfiah terperangkap dalam peran mereka, di mana realitas pribadi mereka dikorbankan demi kesinambungan fantasi yang dijual kepada publik.
Mengingat intensitas dan dedikasi absolut yang dituntut oleh Visual Kei baik dari musisi maupun penggemar muncul kisah-kisah tragis yang menunjukkan betapa rapuhnya garis antara fantasi panggung dan kenyataan. Dalam budaya rock Jepang, di mana hubungan parasosial antara idola dan penggemar sering kali mencapai tingkat obsesi yang ekstrem, kehancuran ilusi dapat berdampak fatal.
Ada laporan kelam, meskipun sulit diverifikasi secara massal, mengenai beberapa kasus bunuh diri penggemar di Jepang yang dipicu oleh peristiwa shocking tertentu, baik itu karena bubarnya band idola mereka secara mendadak, pengungkapan fakta bahwa idola mereka tidak hidup sesuai dengan persona murni yang mereka bayangkan, atau bahkan berita pernikahan rahasia sang musisi. Bagi segelintir penggemar yang telah menjadikan citra V-Kei yang sempurna sebagai satu-satunya jangkar emosional mereka, realitas yang kejam ini dapat terasa seperti pengkhianatan total, menggarisbawahi dampak psikologis mendalam dari seni yang secara inheren didasarkan pada ilusi total.
Baca Juga: Dari Gang Kecil Menuju Desa Cerdas, SiPADU, Jembatan Gotong Royong Digital di Sukabumi
Seorang penggemar yang mengenali mata dan tingkah lakunya yang khas tidak bisa percaya bahwa idola yang biasa disembah seperti dewa di atas panggung kini sedang menyusun tumpukan snack di rak lengkap dengan kemeja seragam dan tanpa setetes pun makeup. Ketika ditanya, sang vokalis hanya tersenyum dingin dan mengatakan, "Semua orang butuh uang sewa. Persona itu adalah pekerjaan, bukan hidupku," menghancurkan ilusi magis ribuan penggemar yang meyakini ia hidup di kastil gotik abadi.
Dir En Grey (dengan estetika gelap dan metal yang brutal, terlihat dalam album Dum Spiro Spero) atau the GazettE (dengan citra stylish dan edgy yang tercermin dalam karya seperti NINTH)|Foto: @Dir En Grey/Youtube.
Pengaruh Glam Rock
Glam Rock, yang muncul di Britania Raya pada awal tahun 1970-an dengan ikon seperti David Bowie (Ziggy Stardust), T. Rex (Marc Bolan), dan band Amerika seperti KISS, adalah fondasi utama bagi Visual Kei. Pengaruh terbesarnya adalah pada estetika teatrikal dan konsep androgini (gender-bending). Glam Rock dicirikan oleh kostum yang serba gemerlap (glitter), riasan wajah yang tebal dan dramatis, rambut yang dicat warna-warni dan tidak wajar, serta penggunaan sepatu bot berhak tinggi (platform boots). Filosofi ini menolak rock yang serba 'abu-abu' dan serius di akhir 60-an.
Baca Juga: Kemacetan Meningkat? Siap-siap 14 Ha Lahan di Cibadak Sukabumi Akan Dibangun Pabrik Obat
Ketika band pionir V-Kei seperti X Japan muncul pada tahun 1980-an, mereka mengadopsi elemen visual yang sama ekstremnya untuk menciptakan "Visual Shock" cara cepat untuk menonjol di kancah musik independen. Mereka mengambil riasan tebal, rambut 'anti-gravitasi', dan pakaian flamboyan khas Glam Rock, lalu memadukannya dengan sentuhan budaya Jepang (seperti nuansa Kabuki) dan elemen Punk atau Gothic, menciptakan genre baru yang sepenuhnya berfokus pada penampilan visual.
Selain penampilan, Glam Rock mewariskan sikap dan fungsi panggung yang dianut oleh Visual Kei. Glam Rock memandang musik rock sebagai teater dan pertunjukan, di mana musisi harus menciptakan sebuah karakter atau persona (seperti alien, bangsawan, atau pahlawan fiksi sains) yang sering dibawa serta di luar panggung untuk mempertahankan misteri dan aura.
Sikap ini sangat selaras dengan filosofi Visual Kei, di mana musisi memisahkan identitas panggung (persona) dan kehidupan pribadi, menggunakan visual sebagai "armor" untuk menyampaikan musik dan emosi mereka dengan kekuatan yang lebih besar. Penggunaan riasan tebal dan kostum bukan hanya untuk keindahan, tetapi sebagai bentuk pemberontakan terhadap norma sosial Jepang yang cenderung konservatif, mirip dengan bagaimana Glam Rock menentang aliran rock arus utama pada masanya. Dengan demikian, Glam Rock tidak hanya memberikan cetak biru visual, tetapi juga mentalitas di balik gerakan V-Kei.
Baca Juga: Jangan Sampai Menyesal! Ini 3 Cara Bijak Mengelola Emosi Sebelum Memarahi Anak
Koin androgynous yang diwakili oleh Mana dan Versailles, terdapat band-band dengan visual yang sama kuatnya namun didominasi oleh maskulinitas yang keras, seperti Dir En Grey ((Foto:@HIZAKI/youtube)
Sebuah Spektrum yang Luas
Penting untuk dicatat bahwa Visual Kei sendiri adalah spektrum yang luas. Di sisi lain koin androgynous yang diwakili oleh Mana dan Versailles, terdapat band-band dengan visual yang sama kuatnya namun didominasi oleh maskulinitas yang keras, seperti Dir En Grey (dengan estetika gelap dan metal yang brutal, terlihat dalam album Dum Spiro Spero) atau the GazettE (dengan citra stylish dan edgy yang tercermin dalam karya seperti NINTH).
Hal ini membuktikan bahwa genre V-Kei adalah tentang keberanian visual secara keseluruhan, memungkinkan setiap band untuk mendefinisikan ulang rockstar ideal mereka, baik sebagai putri bangsawan dari zaman Barok atau sebagai pahlawan metal yang keras. Dan di tengah semua kegilaan visual ini, musik tetap menjadi intinya.
Di luar estetika yang mewah dan musik yang cemerlang, seringkali terdapat realitas finansial yang gelap. Pada puncak popularitas V-Kei, ada kisah mengerikan tentang sebuah band yang melakukan pemotretan "mewah" di Eropa dengan kostum jutaan rupiah, hanya untuk mengungkapkan setahun kemudian bahwa mereka sebenarnya tinggal berdesakan di sebuah apartemen kecil yang kotor, memakan mie instan setiap hari, dan memiliki hutang besar.
Di balik kilauan kostum Barok dan tatanan rambut yang menantang gravitasi, terdapat sebuah pengorbanan yang memilukan. Salah satu anggota, yang dikenal karena kepiawaiannya menciptakan melodi yang menusuk jiwa, terpaksa harus berhadapan dengan dilema brutal, yakni mempertahankan ilusi panggung yang dicintai jutaan orang, atau mempertahankan sumber suara musiknya. Dengan air mata di mata, ia menjual instrumen berharganya perpanjangan jiwanya, rekan setianya dalam bermusik secara diam-diam hanya untuk melunasi biaya makeup dan hair styling yang diperlukan demi penampilan malam itu. Tindakan putus asa ini membuktikan bahwa "Visual Shock" yang kuat hanyalah sebuah topeng yang terbuat dari lapisan tipis bedak mahal, menutupi jurang kemiskinan dan pengorbanan ekstrem yang ditanggung di belakang panggung. Sebuah ironi tragis, di mana seni suara harus dibungkam demi seni rupa.



