Media Lokal Harus Relevan, Bukan Sekadar Besar

Sukabumiupdate.com
Kamis 13 Nov 2025, 12:09 WIB
Media Lokal Harus Relevan, Bukan Sekadar Besar

Para narasumber dan peserta berfoto bersama dalam pembukaan Bengkulu Media Summit (BMS) 2025, Rabu (12/11/2025). (Sumber Foto: Istimewa)

SUKABUMIUPDATE.com - Di tengah derasnya arus perubahan digital, masa depan media lokal bukan lagi tentang siapa yang paling besar, tetapi siapa yang paling relevan dengan publiknya. Pesan itu menjadi sorotan utama dalam Bengkulu Media Summit (BMS) 2025, yang resmi dibuka pada Rabu, 12 November 2025.

Acara yang mempertemukan pengelola media lokal se-Provinsi Bengkulu ini menghadirkan lima narasumber nasional, di antaranya Suwarjono, CEO Arkadia Digital Media Tbk, dan Eva Danayanti, Country Programme Manager International Media Support (IMS). Keduanya menyoroti dua sisi penting dari masa depan media: bisnis dan relevansi.

Suwarjono: “Inovasi, Kolaborasi, dan Ekosistem Jadi Nafas Baru Media”

Dalam paparannya, Suwarjono memetakan tantangan utama media lokal saat ini adalah melimpahnya platform digital, menurunnya pendapatan iklan, serta disrupsi besar akibat kehadiran kecerdasan buatan (AI) dan media sosial. Menurutnya, kini semua media berlomba di ruang yang sama, di mana algoritma menentukan siapa yang terlihat dan siapa yang tenggelam.

“Audiens berpindah ke media sosial, dan iklan ikut berpindah ke sana. Kalau media tidak menguasai distribusi dan teknologi, maka akan tertinggal,” tegasnya.

Suwarjono menyoroti dominasi raksasa digital seperti Google, Meta, dan ByteDance (TikTok) yang kini menguasai sebagian besar pendapatan iklan global. Kondisi ini menuntut media, terutama media lokal, untuk berpikir ulang tentang sumber pendapatan yang berkelanjutan.
“Kita tidak bisa lagi hanya mengandalkan iklan dan trafik. Media perlu melihat peluang lain seperti event, kolaborasi, pelatihan, bahkan model out of media business,” ujarnya.

Baca Juga: Suara.com dan Beritajatim.com Gandeng ISTTS untuk Dukung Kapasitas Media Lokal Melalui AI

Ia mendorong media lokal agar tidak berhenti menjadi ruang pemberitaan semata, melainkan berkembang menjadi “jembatan ekosistem lokal” tempat komunitas, pelaku UMKM, lembaga donor, dan pemerintah daerah bisa saling berinteraksi dan tumbuh bersama.

“Media lokal itu punya kekuatan: kedekatan dan kredibilitas di mata komunitasnya. Kekuatan ini yang harus dikapitalisasi menjadi ekosistem bisnis,” jelasnya.

Menurutnya, tak ada satu model bisnis yang bisa dijadikan rumus tunggal bagi semua media.
“Ada seratus media, mungkin ada seratus model bisnis berbeda. Karena konteks setiap daerah berbeda. Tapi prinsipnya sama: inovasi tiada henti, adaptasi, dan kolaborasi,” tambahnya.

Suwarjono mencontohkan berbagai peluang baru yang kini mulai digarap media kecil, seperti produksi konten digital untuk klien lokal, pelatihan berbayar, survei dan riset lokal, crowdfunding, hingga penyelenggaraan event komunitas. Semua itu, katanya, menunjukkan arah baru bahwa masa depan media lokal tidak lagi ditentukan oleh banyaknya klik, melainkan oleh kemampuan mereka membangun jejaring ekonomi kreatif di wilayahnya.

Eva Danayanti: “Menjadi Lokal Berarti Dekat, Dipercaya, dan Berdampak”

Dari sisi lain, Eva Danayanti menekankan bahwa kekuatan utama media lokal tidak terletak pada skala, melainkan kedekatan dan kepercayaan.

“Menjadi lokal bukan berarti kecil. Menjadi lokal berarti dekat, dipercaya, dan berdampak,” ujarnya dalam sesi bertajuk “Masa Depan Media Lokal: Relevansi, Bukan Skala.”

Eva menjelaskan, relevansi lahir dari kemampuan media untuk mendengarkan publik dan membangun hubungan emosional dengan komunitasnya. Cerita-cerita lokal, menurutnya, memiliki kekuatan membangkitkan rasa memiliki dan solidaritas sosial.

“Cerita nasional bisa viral, tapi yang lokal itu membekas,” tegasnya.

Ia mencontohkan bagaimana jurnalisme hiperlokal mampu mengisi ruang kosong yang ditinggalkan media besar. Dengan fokus pada kebutuhan warga bukan sekadar lokasi liputan media bisa menjadi penghubung sosial yang memberi ruang bagi warga untuk berbicara dan berkontribusi.

“Warga bukan sekadar audiens, tapi kontributor dan inspirator,” kata Eva.

Eva juga memperkenalkan pendekatan jurnalisme konstruktif, yaitu jurnalisme yang tidak berhenti pada pelaporan masalah, tetapi menggali solusi dan menampilkan upaya nyata yang dilakukan warga atau lembaga di daerah.

“Jurnalisme konstruktif bukan berarti manis-manis, tapi jujur dan membangun. Fokusnya bukan pada siapa yang salah, tapi pada apa yang bisa dilakukan,” ujarnya.

Di akhir sesi, Eva menegaskan kembali pandangannya bahwa ukuran keberhasilan media di masa depan bukan pada skala atau jumlah pengikut, tetapi pada tingkat relevansinya terhadap kehidupan publik.

“Relevansi itulah skala baru bagi media lokal,” pungkasnya.

Untuk diketahui, Bengkulu Media Summit (BMS) 2025 mengusung tema “Media Lokal Bengkulu Naik Kelas: Mendorong Ekonomi Lokal dan Keterbukaan Akses Informasi.” Selain Suwarjono dan Eva Danayanti, hadir pula tiga pembicara nasional lainnya Dwi Eko Lokononto, CEO BeritaJatim.com, Asep Saefullah, Program Manager Local Media Community (LMC) dan Dimas Sagita, Suara.com. Dua narasumber lokal turut memperkuat diskusi, yakni Iyud Dwi Mursito dari Bengkulu Network dan Heri Aprizal, Business Manager RakyatBengkulu.com.

Acara ini diinisiasi oleh empat media lokal Bengkulu: ANTARA Bengkulu, Tribun Bengkulu, Bengkulu News, dan Bincang Perempuan, dengan dukungan dari Pemerintah Provinsi Bengkulu, Kedutaan Besar Norwegia–Uni Eropa, International Media Support (IMS), Local Media Community (LMC), serta Suara.com. Dukungan juga datang dari sektor perbankan dan swasta, di antaranya Bank Raya, Bank Bengkulu, Bank Syariah Indonesia (BSI), PT Tenaga Listrik Bengkulu (TLB), Pertamina, Hotel Santika, Nay Skin Care & Beauty, serta Erse.

BMS 2025 menjadi momentum penting bagi media di Bengkulu untuk saling belajar dan berkolaborasi, mencari model bisnis yang sesuai dengan karakter daerah, sekaligus mengembalikan kepercayaan publik terhadap media sebagai ruang dialog dan solusi bersama.

Berita Terkait
Berita Terkini