Izin Ribet hingga Premanisme, Pelaku Usaha Lokal Jadi Korban Eksperimen Kebijakan

Sukabumiupdate.com
Rabu 21 Mei 2025, 12:02 WIB
listrasi pelaku usaha pusing dengan kebijakan dan kondisi perekonomian di Indonesia (Sumber: chatgpt)

listrasi pelaku usaha pusing dengan kebijakan dan kondisi perekonomian di Indonesia (Sumber: chatgpt)

SUKABUMIUPDATE.com - Didorong sebagai ujung tombak perekonomian nasional, ditengah gejolak ekonomi global, sektor domestik justru masih dihadapkan dengan permasalahan lokal. Mulai dari perizinan yang ribet, pungutan liar premanis hingga kebijakan kepala daerah yang terkesan bereksperimen.

Pandangan ini mengemuka Dalam diskusi publik bertajuk "Gempuran Tarif AS: Ekonomi Indonesia di Ujung Tanduk? Dialog Kritis Mencari Solusi” yang diselenggarakan oleh Suara.com dan Core Indonesia di El Hotel Bandung, Selasa 20 Mei 2025.

Diskusi yang dihadiri para ekonom, pelaku industri, dan pemangku kebijakan ini menyoroti ancaman dan peluang yang muncul, serta mendesak hadirnya solusi konkret dari level daerah hingga nasional.

Baca Juga: PN Sukabumi Vonis Debitur Pengalih Motor Kredit Tanpa Izin

Sebagai perwakilan dari kalangan pengusaha dalam diskusi tersebut, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Jawa Barat, Ning Wahyu Astutik, mengungkapkan bahwa pelaku usaha saat ini sedang menghadapi tekanan berlapis.

“Kami para pengusaha merasa resah, bukan hanya karena perang dagang AS–China, tapi juga berbagai hambatan lain. Mulai dari ketidakpastian usaha dan hukum, maraknya impor barang legal maupun ilegal, hingga regulasi yang saling tumpang tindih dan tidak sinkron,” ujar Ning.

Ia menjelaskan, proses perizinan sering tidak transparan. Janji izin usaha selesai dalam dua minggu sering kali meleset jadi berbulan-bulan karena harus melewati banyak meja.

Baca Juga: Salah Paham Antarnelayan di Ujunggenteng Sukabumi, Polisi Amankan 6 Orang

Masalah tenaga kerja pun tak kalah pelik, dipolitisasi, sering terjadi aksi demo berkepanjangan, dan regulasi pengupahan yang rentan intervensi politis.

“Kami juga menghadapi pungutan liar dan premanisme yang marak dan dilakukan terang-terangan. Di sektor logistik, biaya-biaya tak resmi di tiap tikungan membuat usaha kami tidak kompetitif karena beban biaya yang tinggi,” kata Ning.

Ia menekankan bahwa dunia usaha membutuhkan perlindungan yang adil dan kebijakan yang konsisten. “Kami butuh aturan main yang jelas. Jangan terus-terusan pelaku usaha lokal jadi korban eksperimen kebijakan,” tegasnya.

Baca Juga: Perumdam TJM Cicurug Sukabumi Terus Maksimalkan Pelayanan Air Bersih

Keluh kesah pelaku usaha ini merespon data terbaru kondisi perekonomian Indonesia yang diungkap Pemimpin Redaksi Suara.com, Suwarjono dan Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, Ph.D.

“Kita menghadapi perlambatan ekonomi yang nyata. Bandung dipilih karena menjadi salah satu sentra ekspor nasional—dari tekstil, alas kaki, hingga furnitur—yang kini sedang tertekan. Ini momentum penting untuk mencari solusi dari daerah sebagai rujukan kebijakan nasional,” ujar Suwarjono dikutip dari siaran pers yang diterima sukabumiupdate.com.

Berdasarkan data BPS, ungkap Suwarjono pada Januari 2025 ekspor nonmigas Jawa Barat ke Amerika Serikat mencapai USD 499,53 juta atau 16,62% dari total ekspor nonmigas provinsi. Sementara dari Bandung, ekspor ke AS pada Maret 2025 mencapai USD 7,7 juta.

Baca Juga: Hampir Diamuk Warga, Pria Asal Bogor Tepergok Congkel Kotak Amal Masjid di Kota Sukabumi

Namun, Bandung juga menghadapi gelombang PHK massal, terutama di industri tekstil dan produk tekstil (TPT), akibat penurunan pesanan dan meningkatnya persaingan dengan produk impor. Kebijakan tarif baru dari AS dikhawatirkan akan menekan permintaan ekspor lebih lanjut, sementara arus masuk produk impor semakin meningkat, sehingga industri dalam negeri berpotensi terpukul dua kali lipat.

Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, Ph.D., menambahkan saat ini Indonesia menghadapi risiko serius akibat perang dagang AS-Tiongkok, dengan data menunjukkan penurunan ekspor China ke AS hingga 10,5% pada 2025, sementara ekspor ke ASEAN meningkat hingga 19,1%.

Menurut perhitungan CORE, potensi impor ilegal dari Tiongkok mencapai 4,1 miliar USD dengan kerugian negara sekitar Rp 65,4 triliun, situasi yang diperburuk oleh perlambatan ekonomi global dan tekanan pada nilai tukar Rupiah.

Baca Juga: Nusa Putra Perkuat Komitmen Internasional Lewat Sosialisasi Keimigrasian untuk Mahasiswa Asing

Dari kalangan akademisi Prof. Rina Indiastuti sebagai pendidik di Universitas Padjadjaran memaparkan dampak kebijakan tarif AS terhadap industri Jawa Barat, terutama sektor tekstil, pakaian jadi, dan alas kaki yang telah mengalami tekanan signifikan hingga beberapa perusahaan mengalami kerugian, tutup, dan melakukan PHK.

Meski demikian, Prof. Rina juga mengidentifikasi peluang melalui pergeseran rantai pasok global, seperti rencana relokasi pabrik otomotif ke Jawa Barat.

Menurutnya, basis manufaktur kuat dan beragam yang dimiliki Jawa Barat meliputi otomotif, elektronik, tekstil dan pakaian, plastik, mineral non-logam, agro-pangan dan farmasi merupakan modal baik untuk pengembangan kapasitas inovasi daerah, terutama dengan dukungan universitas dan pusat riset yang bisa dikoneksikan langsung pada pengembangan industri.

Baca Juga: LENTERA: PLN IP UBP Palabuhanratu Gelar Sosialisasi Pra-Renstra dan Transfer Pengetahuan Lingkungan

Menanggapi tantangan tersebut, terdapat strategi utama yakni pengendalian arus impor dan peningkatan komponen lokal. Faisal menekankan bahwa pengendalian impor bukan sekadar proteksionisme, tapi upaya menjaga kedaulatan pasar domestik dengan memastikan produk impor sesuai standar dan regulasi nasional. Beberapa sektor seperti kosmetik, baja, dan semen telah menunjukkan hasil positif setelah menerapkan mekanisme verifikasi impor.

Strategi lainnya adalah peningkatan komponen lokal, yang telah terbukti sukses pada industri elektronik dengan produksi Handphone, Komputer, dan Tablet meningkat dari 0,1 juta unit (2013) menjadi 88,8 juta unit (2019), sementara impor menurun dari 62,0 juta menjadi 4,2 juta unit. Faisal menekankan pentingnya skema TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) untuk memberi insentif investasi dan membangun fundamental ekonomi yang tangguh.

Implementasi strategi tersebut diharapkan memperkuat industri lokal, menciptakan lapangan kerja berkualitas, membangun rantai pasok nasional yang tangguh, dan meningkatkan investasi pada industri strategis.

Baca Juga: Hampir Diamuk Warga, Pria Asal Bogor Tepergok Congkel Kotak Amal Masjid di Kota Sukabumi

Mohammad Faisal secara khusus menekankan pentingnya Pemerintah tetap menerapkan skema TKDN untuk memberi insentif terhadap investasi yang telah masuk dan akan masuk, tidak meniadakannya sama sekali.

"Di tengah ketidakpastian ekonomi global, penguatan ekonomi domestik bukan lagi pilihan tetapi keharusan," tegas Mohammad Faisal.

Editor :
Berita Terkait
Berita Terkini