Ditulis: Danang Hamid
Sembilan tahun lalu, pada 2016, saya berdiri di sebuah panggung sederhana. Sorot lampu seadanya, layar backdrop yang masih manual, dan suara sound system yang kadang pecah itulah panggung Sukabumi Heroes pertama, yang dihelat oleh Mata Holang Institute.
Malam itu, saya bukan sekadar penonton, tapi pembawa acara. Saya melihat langsung bagaimana wajah-wajah pahlawan lokal tersenyum malu-malu saat namanya dipanggil. Waktu itu, saya tak tahu apakah ajang ini akan terus berlanjut atau hanya berhenti sebagai catatan satu malam.
Lalu, 8 Agustus 2025. Sembilan tahun berlalu. Kali ini, saya tak berada di panggung, melainkan di depan layar, menonton lewat siaran YouTube. Namun yang saya saksikan membuat hati berguncang Sukabumi Heroes telah bertransformasi.
Baca Juga: 3 Cahaya yang Bersinar di Malam Keemasan Sukabumi Heroes 2025
Tata panggungnya megah, layar lebar membentang, digital lighting memecah kegelapan dengan warna-warna berkelas. Lebih dari itu, acara ini tetap setia pada nyawa aslinya: menghadirkan sosok-sosok inspiratif, dari yang akrab di media hingga yang namanya hanya berbisik di lorong-lorong sepi.
Salah satu yang menggetarkan adalah kisah Muhammad Cecep Abdullah, sang “penyapu sunyi” dari Pasar Gudang, Sukabumi. Anak ketiga dari lima bersaudara ini sejak kecil memaknai membersihkan masjid sebagai ibadah, bukan sekadar mengusir debu. Ia pernah meninggalkan pesantren, merantau ke Jakarta, dan tidur di masjid demi bertahan hidup.
Dari kesulitan itu lahir tekad yang tak tergoyahkan sapu di tangan, ketulusan di dada, dan cinta pada rumah Allah sebagai alasan utama. Ketulusannya bahkan menembus batas; Kerajaan Arab Saudi mengundangnya berhaji sebagai bentuk penghormatan.
Kini, di usia 27 tahun, ia memimpin 20 orang untuk merawat belasan masjid setiap hari, dengan mimpi mendirikan sepuluh pesantren dan menjaga semangat Ramadan sepanjang tahun.
Kisah lain datang dari Empan Supandi, guru honorer yang setiap pagi berjalan sejauh 12 kilometer menuju MTs Thoriqul Hidayah di pelosok Bojongtipar. Lebih dari sepuluh tahun ia menempuh perjalanan itu, meski gajinya hanya Rp 200.000 sebulan.
Tinggal di rumah panggung sederhana bersama anaknya, Empan tak pernah mengeluh. Mengajar baginya adalah panggilan jiwa, bukan pekerjaan. Dari langkahnya yang tak kenal lelah, murid-murid belajar bahwa pengabdian sejati tidak diukur dari gaji, melainkan dari cinta dan pengorbanan.
Dari Jejen, Cecep, hingga Empan, satu benang merah mengikat: pahlawan sejati tak selalu berdiri di panggung atau disorot kamera. Kadang, mereka bekerja dalam diam, di lorong-lorong yang jarang kita lihat. Sukabumi Heroes 2025 membuktikan bahwa meski kemasan berubah dan teknologi bertambah canggih, satu hal tak pernah hilang cahaya ketulusan yang bersinar abadi.
Sembilan tahun setelah saya memanggil nama-nama pahlawan itu dari balik mikrofon, malam ini saya menyebut mereka kembali kali ini lewat tulisan, dari meja redaksi Sukabumiupdate. Dan rasanya… sama menggetarkan seperti dulu.