Industri Televisi Terpuruk: Disrupsi Digital, Ancaman PHK, dan Perebutan Atensi Publik

Sukabumiupdate.com
Senin 05 Mei 2025, 17:53 WIB
TV konvensional makin tersingkir! Algoritma media sosial rebut perhatian, efisiensi jadi keharusan. Siapkah media lama bertransformasi sebelum terlambat? (Sumber : freepik/@prostooleh)

TV konvensional makin tersingkir! Algoritma media sosial rebut perhatian, efisiensi jadi keharusan. Siapkah media lama bertransformasi sebelum terlambat? (Sumber : freepik/@prostooleh)

SUKABUMIUPDATE.com - Industri televisi konvensional tengah menghadapi masa-masa sulit. Di tengah gempuran media sosial dan perubahan pola konsumsi informasi masyarakat, televisi kini terancam terpinggirkan. Disrupsi digital bukan hanya mengubah lanskap media, tapi juga membuka potensi terjadinya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran di sektor ini.

Baca Juga: Gubernur Jabar Siapkan Insentif Industri Hadapi Tekanan Ekonomi Global

Televisi Kalah oleh Algoritma

Yuswohady, pengamat bisnis dan pemasaran sekaligus Managing Partner Inventure, menilai paceklik yang melanda industri televisi dipicu oleh pergeseran besar dalam pola menonton masyarakat. Dulu, orang menonton berdasarkan jadwal—seperti prime time pukul 19.00 atau tayangan siang pukul 12.00. Kini, konten justru “menemui” penonton lewat algoritma.

“Sekarang, pengguna bisa mengakses konten kapan saja. Platform seperti TikTok, YouTube, dan Netflix menyajikan konten sesuai preferensi pribadi berkat sistem algoritma,” ujar Yuswohady, Senin, 5 Mei 2025.

Fenomena ini membuat pengalaman menonton menjadi sangat personal. Jika seseorang menyukai politik, maka algoritma akan menyajikan konten serupa tanpa henti. Model konsumsi ini jauh lebih fleksibel dan menarik bagi generasi muda, terutama Gen Z, yang menjadi penguasa dunia digital saat ini.

TV Gagal Bersaing dari Sisi Produksi dan Budaya

Televisi juga kalah dalam hal efisiensi produksi. Yuswohady mencontohkan bagaimana seorang kreator seperti Deddy Corbuzier dapat memproduksi podcast hanya dengan tim kecil dan ruang sempit, tetapi mampu menyaingi pendapatan iklan televisi.

“TV masih mengandalkan model produksi lama yang mahal dan banyak melibatkan tenaga kerja. Tidak efisien lagi di era sekarang,” tambahnya.

Selain itu, ada kesenjangan budaya yang lebar antara media lama dan baru. Media sosial dikuasai oleh Gen Z dengan pola interaksi yang cair dan cepat. Sementara televisi masih kental dengan cara pandang generasi X dan Boomer. “Kalau TV ingin masuk ke YouTube atau TikTok, tapi tidak memahami budaya pengguna, tetap tidak akan nyambung,” kata Yuswohady.

Ia mencontohkan keberhasilan Tempo dalam menyesuaikan gaya penyajian konten serius ke dalam format yang relevan di media sosial, seperti melalui kanal Bocor Alus. “Itu contoh sukses. Kontennya tetap kuat, tapi dibalut dengan gaya yang cocok di dunia digital.”

Baca Juga: AVISI dan AMSI Kolaborasi Lawan Pembajakan Konten, Demi Masa Depan Industri Kreatif dan Media Digital Indonesia

Ancaman PHK dan Peringatan Dewan Pers

Tekanan terhadap industri media, khususnya televisi, diprediksi akan memicu PHK massal dan rasionalisasi aset. “PHK dan pindah kantor itu wajar dalam proses adaptasi. Yang penting tetap relevan dengan audiens,” ucap Yuswohady.

Data dari Dewan Pers menunjukkan, sepanjang 2023–2024, sekitar 1.200 karyawan media termasuk jurnalis telah terkena PHK. Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, menyebut hal ini disebabkan oleh menurunnya pendapatan media, terutama karena 75 persen belanja iklan nasional kini dikuasai oleh platform digital global dan media sosial.

Ninik meminta perhatian serius dari pemerintah terhadap kondisi industri media saat ini. “Bukan hanya soal bisnisnya, tapi juga kesejahteraan dan keselamatan para jurnalis,” katanya.

Ia juga menyoroti pola kerja sama antara pemerintah dan media yang cenderung berat sebelah. “Jangan hanya menggunakan biaya iklan untuk media sosial atau YouTuber. Alokasikan juga untuk media konvensional. Tapi, jangan beli beritanya,” tegas Ninik.

Ia menekankan pentingnya menjaga batas antara kepentingan bisnis dan redaksi. “Pemerintah harus ikut menjaga pagar api. Pastikan bahwa kontrak atau kerja sama tidak mengintervensi isi berita, karena itu adalah suara rakyat,” ujarnya.

Baca Juga: Cacat Hukum, Ancam Industri Padat Karya dan Berpotensi Picu Gelombang PHK: APINDO Soal Aturan UMSK Jabar 2025

Harus Adaptif dan Efisien

Yuswohady menekankan bahwa peluang untuk bertahan masih ada, asalkan media konvensional mampu beradaptasi dengan budaya digital dan efisiensi produksi. Konten tetap harus berkualitas, tetapi dengan biaya yang masuk akal. “Studio besar dan ratusan karyawan tidak efisien lagi. Sekarang eranya demokratisasi produksi konten,” ujarnya.

Industri televisi sedang berada di titik kritis. Mereka yang mampu bertransformasi akan bertahan, sementara yang gagal membaca zaman akan tertinggal. Tantangannya bukan sekadar digitalisasi, tetapi transformasi menyeluruh—dari cara pikir, produksi, hingga cara menjangkau hati penonton.

Sumber : Tempo.co

Editor :
Berita Terkait
Berita Terkini