SUKABUMIUPDATE.com – Festival Film Cannes 2025 memberi penghormatan khusus dengan menayangkan sebuah film dokumenter tentang Fatima Hassouna, jurnalis asal Gaza yang gugur akibat serangan udara militer Israel.
Fatima Hassouna adalah seorang fotografer jurnalistik asal Palestina yang mendokumentasikan kehidupan masyarakat sipil selama konflik berkepanjangan di Gaza. Karya-karyanya menuai perhatian dunia karena berhasil merekam dampak perang secara mendalam.
Ia menjadi subjek dalam film dokumenter berjudul Put Your Soul on Your Hand and Walk, yang terpilih untuk program ACID dan akan diputar bersamaan dengan Festival Film Cannes 2025.
Fatima meninggal dunia bersama sepuluh anggota keluarganya dalam serangan udara Israel yang menghantam rumah mereka di Kota Gaza pada 16 April 2025. Kematian Fatima menyisakan duka mendalam.
Ia adalah salah satu jurnalis Palestina yang dengan berani mendokumentasikan penderitaan masyarakat Gaza, melalui foto-foto pilu para korban, potret harapan dari warga sipil, pesan-pesan teks penuh jeritan hati, serta rekaman suara dari tengah zona perang yang menggugah emosi siapapun yang melihat dan mendengarnya.
Kematian Fatima juga menambah panjang daftar jurnalis yang gugur akibat agresi militer Israel. Menurut Federasi Jurnalis Internasional (IFJ), setidaknya 157 jurnalis dan pekerja media telah kehilangan nyawa sejak awal konflik dan angka ini diyakini masih bisa lebih tinggi.
Dalam sebuah unggahan Instagramnya sebelum wafat, Fatima sempat menulis tentang kematian "Jika saya meninggal, saya ingin kematian yang menggemparkan. Saya tidak ingin hanya menjadi berita utama, atau hanya menjadi nomor dalam suatu daftar."
Baca Juga: Ada Jumbo Hingga Renoir, Berikut Film Indonesia yang Tayang di Festival Film Cannes
Penyair asal Gaza, Haidar al-Ghazali, mengungkapkan bahwa sebelum wafat, Fatima sempat memintanya untuk membuatkan puisi yang bisa mengenangnya jika ia tiada. Haidar lalu membagikan puisi itu di media sosial:
“Matahari di hari ini tidak akan membawa luka. Tanaman dalam pot akan merapikan diri mereka untuk menyambut tamu yang penuh kelembutan. Matahari akan cukup terang untuk membantu para ibu mengeringkan pakaian dengan cepat, dan cukup teduh untuk anak-anak bermain di luar sepanjang hari. Matahari di hari ini tidak akan terik bagi siapa pun.”
Sepideh, seorang rekan jurnalis yang pernah bekerja bersama Fatima, mengenang perjuangannya dengan penuh haru. Ia selalu khawatir terhadap keselamatan Fatima karena tahu betapa besar risiko yang dihadapi.
“Fatima adalah mata saya di Gaza. Ia pribadi yang penuh semangat dan kehidupan. Saya merekam tawanya, air matanya, harapannya, dan depresinya,” ujar Sepideh, seperti dikutip dari The Guardian.
Dalam wawancara bersama Le Monde, Sepideh menambahkan, “Dia seperti cahaya.” Ia menceritakan bagaimana dokumentasi Fatima menggambarkan penderitaan rakyat Gaza kelaparan, ketidakadilan, dan penindasan yang mereka alami setiap hari. “Setiap pagi saya bangun dengan cemas, bertanya-tanya, apakah ia masih hidup hari ini?” katanya.
Cerita Fatima adalah cerminan dari perjuangan para jurnalis yang berada di garis depan. Mereka berusaha membuka mata dunia tentang apa yang terjadi di Gaza, di tengah reruntuhan bangunan, air mata, dan harapan yang tak pernah padam.
Sumber: Berbagai Sumber
Penulis: Gina melani, Mahasiswa Magang Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Sukabumi.