Menteri Kebudayaan Fadli Zon Disorot Publik: Dari Hari Kebudayaan Nasional hingga Kontroversi Sejarah 1998

Sukabumiupdate.com
Kamis 17 Jul 2025, 11:33 WIB
Menteri Kebudayaan Fadli Zon Disorot Publik: Dari Hari Kebudayaan Nasional hingga Kontroversi Sejarah 1998

Menteri Kebudayaan Fadli Zon mendapat kritik tajam atas kebijakan dan pernyataannya yang dinilai politis dan tidak sensitif terhadap sejarah, budaya, serta hak asasi manusia. (Sumber : Instagram @fadlizon)

SUKABUMIUPDATE.com - Menteri Kebudayaan Fadli Zon kembali menjadi sorotan publik setelah membuat sejumlah kebijakan dan pernyataan kontroversial. Terbaru, ia menetapkan tanggal 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan Nasional, yang memicu perdebatan luas di masyarakat.

Tak hanya itu, sejumlah kebijakan lain yang ia buat selama menjabat juga menuai kritik, mulai dari proyek penulisan ulang sejarah Indonesia hingga penobatan tokoh budaya yang dianggap tidak sah.

Baca Juga: Fadli Zon Tetapkan Hari Kebudayaan 17 Oktober, Bertepatan dengan Hari Lahir Prabowo

Berikut rangkuman lengkap polemik yang menyertai kebijakan dan pernyataan Fadli Zon sejak menjabat sebagai Menteri Kebudayaan:

1. 17 Oktober Ditetapkan sebagai Hari Kebudayaan Nasional
Fadli Zon menetapkan 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan Nasional melalui Keputusan Menteri Kebudayaan Nomor 162/M/2025. Ia menyatakan tanggal ini dipilih karena bertepatan dengan momen penting dalam sejarah, yaitu pengesahan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951, di mana Garuda Pancasila diresmikan sebagai lambang negara dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan nasional.

“Bhinneka Tunggal Ika bukan sekadar semboyan, tetapi filosofi hidup bangsa Indonesia,” kata Fadli Zon dalam pernyataannya pada 14 Juli 2025.

Namun, keputusan ini justru menimbulkan kecurigaan. Pasalnya, 17 Oktober juga merupakan tanggal lahir Presiden Prabowo Subianto. Banyak yang menganggap penetapan itu sebagai bentuk penjilatan politik, termasuk seniman Butet Kartaredjasa yang menyebut keputusan tersebut tidak punya urgensi kecuali untuk “menjilat kekuasaan”.

Butet menyarankan agar Hari Kebudayaan ditetapkan berdasarkan kajian sejarah yang matang dan melibatkan budayawan dari berbagai daerah, misalnya hari Kongres Kebudayaan pertama sebelum kemerdekaan Indonesia.

2. Penulisan Ulang Sejarah Indonesia: Revisi atau Pengaburan Fakta?
Fadli Zon juga menggagas proyek besar berupa penulisan ulang sejarah Indonesia, yang ditargetkan selesai pada Agustus 2025. Menurut Fadli, sejarah yang ada saat ini banyak yang belum lengkap dan terlalu fokus pada konflik. Ia ingin menghadirkan narasi yang lebih “positif” dan memperkuat persatuan bangsa.

“Kita ingin sejarah juga mengangkat pencapaian internasional seperti Konferensi Asia Afrika, Gerakan Non-Blok, dan lain-lain,” ujar Fadli dalam rapat kerja bersama DPR.

Namun, Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas menolak proyek ini. Mereka khawatir penulisan ulang ini menjadi cara untuk memutihkan sejarah, terutama tragedi kemanusiaan seperti yang terjadi pada Mei 1998. Dalam aksi protes simbolik pada 2 Juni 2025 di DPR, mereka meminta agar proyek ini dihentikan dan dilakukan secara terbuka serta melibatkan akademisi independen.

Baca Juga: Bertemu Fadli Zon, Kota Hiroshima 2 Di Sukabumi Diusulkan Jadi Cagar Budaya

3. Pernyataan Fadli Zon soal Pemerkosaan Massal 1998 Menuai Kecaman
Dalam wawancara dengan jurnalis senior Uni Zulfiani Lubis, Fadli Zon menyebut bahwa pemerkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa pada Mei 1998 hanya “rumor”, karena menurutnya tidak ada bukti yang sah secara akademik.

Pernyataan ini menuai kemarahan banyak pihak, terutama kelompok pembela hak perempuan dan korban kekerasan. Ita F. Nadia, dari Tim Relawan untuk Kekerasan terhadap Perempuan, menyebut pernyataan Fadli sebagai bentuk minim empati terhadap korban dan berbahaya karena bisa menghapus tragedi kemanusiaan dari catatan sejarah.

“Pemerkosaan pada 1998 adalah pelanggaran luar biasa yang menyasar perempuan Tionghoa. Menganggap itu hanya rumor adalah kesalahan fatal,” ujar Ita dalam konferensi pers pada 13 Juni 2025.

Menanggapi kritik itu, Fadli mengatakan bahwa pernyataan tersebut adalah pendapat pribadinya, dan tidak ada kaitannya dengan kebijakan kementerian.

“Kalau ada yang punya bukti lengkap soal istilah massal itu, silakan. Ini demokrasi, boleh berbeda pendapat,” ujarnya di IPDN, Sumedang, 24 Juni 2025.

4. Penobatan Cevi Yusuf Isnendar sebagai Raja Kebudayaan Banjar
Kontroversi lain muncul saat Fadli Zon menobatkan Cevi Yusuf Isnendar sebagai Raja Kebudayaan Banjar Kalimantan dalam sebuah acara di Kraton Majapahit, Jakarta, pada 6 Mei 2025.

Penobatan ini dinilai tidak sah oleh Pangeran Syarif Abdurrahman Bahasyim, atau Habib Banua, dari Kesultanan Banjar. Ia mengatakan bahwa keputusan itu tidak berdasar hukum dan tidak diakui oleh masyarakat adat Banjar.

Habib Banua menyebut acara tersebut diinisiasi oleh A.M. Hendropriyono, yang dulu diberi gelar kebangsawanan oleh Sultan Banjar, namun tidak punya kewenangan untuk menetapkan raja budaya.

“Kalau tidak hati-hati, ini bisa merugikan pihak yang sah dan menimbulkan konflik sosial,” kata Habib Banua pada 8 Mei 2025.

Baca Juga: Fadli Zon Harap Rumah Pengasingan Hatta-Sjahrir di Sukabumi Direkonstruksi

Kebijakan dan pernyataan Fadli Zon selama menjabat Menteri Kebudayaan telah memicu berbagai kritik dari masyarakat sipil, budayawan, hingga aktivis kemanusiaan. Banyak yang menilai kebijakannya terlalu politis, tidak partisipatif, dan kurang sensitif terhadap sejarah kelam bangsa.

Isu-isu ini menunjukkan pentingnya agar kebijakan kebudayaan dibuat secara transparan, inklusif, dan tidak digunakan sebagai alat kekuasaan. Budaya dan sejarah adalah milik seluruh rakyat Indonesia, bukan milik segelintir elite.

Sumber : Tempo.co

Editor :
Berita Terkait
Berita Terkini