SUKABUMIUPDATE.com - Meskipun telah menjadi salah satu karya legendaris dalam diskografi Iwan Fals, lagu "Cikal" yang sering diidentifikasi melalui lirik simbolisnya tentang "Cikal" sampai hari ini masih menyisakan teka-teki filosofis bagi banyak penggemar dan kritikus. Lagu yang terinspirasi dari nama putri Iwan Fals ini bukan sekadar melodi balada, melainkan sebuah parabel rumit yang menggunakan Kerbau, Ular Sanca, Harimau, dan Bayi sebagai jembatan untuk mengkritik benturan antara tradisi lokal dan modernitas yang serba cepat.
Jika Anda termasuk yang masih bertanya-tanya tentang apa makna di balik Kerbau yang dililit Sanca di gorong-gorong kota, atau mengapa kepolosan Bayi menjadi kunci untuk melucuti kejahatan Harimau, mari kita bedah lebih dalam lapisan demi lapisan makna yang disampaikan sang legenda melalui simbolisme yang tajam dan tak lekang oleh waktu ini.
Lirik lagu "Cikal"bukanlah sekadar rangkaian puitis tentang binatang. Ini adalah sebuah parabel sosial dan filosofis yang kompleks, merangkum kritik tajam Iwan terhadap modernitas, konflik ideologi, dan harapannya pada generasi yang "murni dan kosong." Lagu ini menggunakan simbol-simbol fauna lokal untuk memetakan pertarungan antara tradisi, kekuasaan, dan kepolosan.
Baca Juga: Bukan Hanya Fisik, Kata-Kata Pun Melukai! Berbenah dengan Sekolah Anti-Bullying
- Dialektika Kerbau: Antara Kesucian dan Kemanfaatan
Inti dari lagu ini dimulai dengan perbandingan makna Kerbau. Iwan Fals menciptakan dialektika yang kaya:
- "Kerbau di kepalaku ada yang suci": Kerbau di sini mewakili nilai-nilai luhur, spiritualitas, dan tradisi lokal yang dijunjung tinggi. Dalam banyak budaya Nusantara (seperti Toraja), kerbau adalah simbol kemakmuran dan bahkan pembawa roh ke alam baka sebuah entitas yang disucikan.
- "Kerbau di kepalamu senang bekerja": Ini adalah kerbau yang dilihat secara pragmatis dan modern hanya sebagai tenaga kerja, aset ekonomi, atau simbol kepolosan politik yang mudah dimanipulasi (terkait konteks 'kerbau politik' pada masanya).
- "Kerbau di sini teman petani": Inilah esensi utamanya. Kerbau adalah Rakyat, kekuatan produktif yang sederhana, jujur, dan berakar pada bumi. Ia adalah fondasi ketahanan pangan dan sosial, "bukan pemalas," meski besar dan seram.
Iwan Fals menyoroti bagaimana simbol lokal yang sarat nilai suci (di kepala 'saya') direduksi maknanya menjadi sekadar mesin kerja (di kepala 'Anda').
- Kontras Ular: Degradasi Simbol di Dunia Maju
Simbol Ular atau Sanca digunakan untuk mengontraskan kondisi lokal dengan dunia maju (Barat):
- Lokal (Sanca): Ular Sanca adalah bagian dari ekosistem, pemakan tikus. Ia adalah pengendali alamiah terhadap masalah (tikus/korupsi). Karakternya "mengganti kulit, keluar sarang, makan dan bertapa" menyiratkan kebijaksanaan, regenerasi, dan kesederhanaan hidup yang mendalam.
- Global (Ular): "Ular di negara maju menjadi sampah nuklir" adalah kritik keras terhadap sains dan industri yang gagal. Kekuatan yang seharusnya bisa bermanfaat (seperti ular yang punya racun dan bisa menyembuhkan, atau nuklir sebagai energi) malah berubah menjadi bahaya laten peradaban. Sementara "Ular di dalam buku menjadi hiasan tato" merujuk pada komodifikasi simbol, kehilangan makna esensi, dan hanya menjadi estetika belaka.
Baca Juga: Kutipan Ahli Psikologi Indonesia "Bullying adalah Epidemi atau Penyakit yang Menular dengan Cepat"
Ular Sanca dan Kerbau Petani yang hidup berdampingan ("Sancaku melilitnya, Kerbauku tidak terganggu") adalah metafora harmoni unik di Nusantara, di mana kekuatan yang berbeda (Kekuatan Rakyat dan Kebijaksanaan Alam) dapat bersinergi tanpa konflik.
- Penyelamat: Bayi Murni dan Gorong-Gorong Kota
Puncak filosofis lagu ini adalah kemunculan Bayi, yang lahir dari "anak-anak sang tikus" (masalah/masyarakat bawah) dan diberi deskripsi kunci: "Murni dan kosong."
- Kepolosan Tanpa Prasangka: Bayi melambangkan generasi baru yang belum tercemari ideologi atau ketakutan. Ketika ia bertemu Harimau (simbol Kekuasaan Absolut/Rezim), ia tidak lari. Ia malah menarik kumis Harimau. Bayi itu tidak berpikir bahwa Harimau itu jahat. Ini adalah kekuatan kepolosan yang melucuti arogansi kekuasaan.
- Transformasi Identitas: Harimau yang luluh memberi mainan, dan Bayi itu menjadi "Bayi Harimau anak petani." Ini adalah identitas ideal yang diimpikan Iwan Fals:
- Bayi (Kepolosan): Bebas dari prasangka.
- Harimau (Kekuatan): Memiliki keberanian dan daya ubah.
- Anak Petani (Akar): Tetap berpegang pada nilai-nilai kerakyatan dan kesederhanaan.
Identitas baru yang ideal ini ditempatkan di tempat yang tidak terduga: "Ia ada di gorong-gorong kota." Gorong-gorong adalah marjinalitas, sistem bawah tanah, tempat yang tak terlihat namun krusial bagi berfungsinya kota (sistem). Ini menyiratkan bahwa harapan perubahan sejati tidak datang dari pusat kekuasaan, tetapi dari bawah, dari kepolosan yang berani dan memiliki akar.
- Pertanyaan Akhir Apa Agamanya?
Pertanyaan "Lantas apa agamanya?" adalah pukulan telak. Jawabannya bukanlah agama formal, melainkan agama kearifan lokal dan keberanian moral: Kerbau (Produktivitas), Sanca (Keseimbangan), dan Bayi Harimau (Kepolosan Berkuasa). Secara keseluruhan, "Kerbau di Kepalaku" adalah seruan untuk kembali pada kesederhanaan, keberanian tanpa prasangka, dan keseimbangan alamiah prinsip yang diperlukan untuk menyembuhkan luka peradaban modern dan menciptakan identitas baru yang kuat, namun tetap membumi.
Baca Juga: Wakaf Uang dan Spirit Sumpah Pemuda
Iwan Fals menggunakan simbolisasi Kerbau (Rakyat kecil), Sanca (kearifan lokal), dan Bayi (harapan masa depan) sebagai cara cerdas untuk menyampaikan kritik mendalam dan harapan akan munculnya kekuatan murni petani.
Kerbau di Kepalaku" (bagian dari lagu "Cikal") Iwan Fals adalah sebuah parabel kompleks yang dimulai dengan membedah simbolisme fauna: Kerbau digambarkan memiliki dualitas, dari entitas suci dan teman petani yang rajin bekerja di Nusantara, hingga hanya sekadar tenaga kerja (senang bekerja) di pandangan lain; sementara Ular di dunia maju telah terdegradasi menjadi sampah nuklir atau hiasan tato, berbanding terbalik dengan Ular Sanca lokal yang berfungsi vital sebagai pemakan tikus dan melambangkan regenerasi, di mana ia hidup sederhana dan harmonis dengan kerbau petani.
Baca Juga: Surat Wasiat Diselidiki Polisi, Ungkap Dugaan Bullying Kasus Kematian Siswi MTs di Sukabumi
Konflik dan dualisme ini kemudian dipertemukan dengan harapan pada generasi baru: Bayi dari "anak-anak sang tikus," yang murni dan kosong, tidak memiliki prasangka buruk, bahkan berani menarik kumis Harimau (Kekuasaan), membuat Harimau luluh dan memberi mainan. Transformasi ini menciptakan identitas baru, Bayi Harimau anak petani, yang mengintegrasikan kepolosan, kekuatan, dan akar tradisi, dan keberadaannya yang "di gorong-gorong kota" menyiratkan bahwa harapan perubahan sejati datang dari bawah atau dari pinggiran, membentuk kearifan baru yang melampaui ideologi formal.
Menggali Makna Metafora "Gorong-Gorong Kota"
Dalam konteks lirik yang sarat kritik sosial dari Iwan Fals, "gorong-gorong kota" bukanlah sekadar saluran air kotor. Ia mewakili beberapa lapisan makna yang saling terkait:
- Simbol Marjinalitas dan Lapisan Bawah
Gorong-gorong adalah tempat yang tersembunyi, kotor, dan tidak diakui oleh permukaan kota yang mengilap. Dengan menempatkan harapan (Bayi Harimau anak petani) di sana, Iwan Fals menyiratkan bahwa:
- Kebenaran Sejati tidak berada di pusat kekuasaan (Istana atau gedung tinggi), melainkan di pinggiran, di bawah, atau di lapisan masyarakat yang terabaikan.
- Solusi atau identitas baru yang paling otentik dan kuat seringkali lahir dari kemiskinan, kesulitan, dan masyarakat bawah (anak petani), bukan dari kelas elit yang mapan.
- Fungsi Pembersihan (Sistem Drainase)
Secara fungsional, gorong-gorong adalah sistem drainase yang membersihkan kotoran dan sampah agar kota di atasnya tetap kering dan berfungsi. Ini menyiratkan:
- Kekuatan Subversif dan Katalis Perubahan. Bayi Harimau di gorong-gorong adalah agen perubahan yang bekerja di balik layar, membersihkan "kotoran" (masalah sosial, korupsi, ideologi busuk) yang tersumbat di permukaan kota.
- Perubahan yang diharapkan Iwan Fals adalah perubahan fundamental dan mendasar, bukan sekadar kosmetik di permukaan.
Baca Juga: Klarifikasi Mandeknya Pemasangan U-Ditch Jalan Nasional Waluran Sukabumi, Ini Kata Pengawas Lapangan
- Kritik terhadap Modernitas
Gorong-gorong adalah produk dari perencanaan kota modern yang seringkali gagal. Mereka juga bisa menjadi tempat tinggal para tunawisma atau penjahat kecil, sebuah ruang pelarian dari hiruk pikuk dan tekanan sosial.
- Wadah untuk yang Terbuang. Harapan baru (Bayi Harimau) terpaksa eksis di ruang yang terbuang ini, karena permukaan kota (sistem yang ada) tidak memberikan ruang bagi kepolosan berkuasa.
"Bayi Harimau anak petani yang ada di gorong-gorong kota" adalah visi Iwan Fals tentang "Kekuatan Baru dari Akar Rumput." Kekuatan ini:
- Berani seperti Harimau.
- Berpegang teguh pada nilai kesederhanaan Kerbau Petani.
- Bekerja untuk membersihkan sistem (seperti fungsi gorong-gorong).
- Eksis di tempat yang paling jujur dan terpinggirkan (bawah tanah kota).
Di tengah hiruk-pikuk era digital dan banjir informasi yang seringkali mengaburkan esensi, pesan "Cikal" Iwan Fals tetap aktual dan relevan sebagai cerminan kondisi sosial kita saat ini. Kita masih menyaksikan "Kerbau" (rakyat kecil atau nilai-nilai kearifan lokal) seringkali direduksi fungsinya hanya sebagai pekerja atau objek pragmatis, sementara "Ular" (masalah modernitas atau kekuatan yang salah guna) terus menciptakan "sampah nuklir" dalam bentuk polarisasi media sosial, hoaks, dan konsumerisme yang merusak.
Namun, Iwan Fals menawarkan harapan melalui "Bayi Harimau anak petani" yang bangkit dari "gorong-gorong kota" sebuah relasi kekinian yang kuat dengan generasi muda dan aktivis akar rumput.
Mereka adalah harapan baru yang, dengan kepolosan dan keberanian, mampu melucuti arogansi "Harimau" kekuasaan atau dominasi digital, membawa kembali esensi kejujuran dan keseimbangan. "Cikal" mengingatkan kita bahwa kekuatan sejati bukan pada kemewahan gedung pencakar langit, melainkan pada kebangkitan kesadaran dari tempat yang paling sederhana, sebuah pesan yang tak lekuk oleh waktu untuk terus mencari kebenaran otentik di tengah kompleksitas dunia modern.
Dirilis pada tahun 1991, lagu "Cikal" dan liriknya yang berfokus pada Kerbau, Ular, dan Bayi, adalah sebuah karya yang sangat kontekstual dengan kondisi sosial-politik Indonesia di akhir era Orde Baru. Pada periode tersebut, terjadi penekanan keras terhadap kritik dan oposisi, di mana suara rakyat seringkali dibungkam atau diredam oleh narasi pembangunan sentralistik; bahkan, pada konteks waktu itu, isu pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di tanah air tengah memanas dan menimbulkan kegelisahan publik, yang tercermin dalam lirik Iwan Fals tentang "Ular di negara maju menjadi sampah nuklir" yang mengkhawatirkan dampak bahaya modernitas. Oleh karena itu, Iwan Fals menggunakan simbolisasi Kerbau (Rakyat kecil), Sanca (kearifan lokal), dan Bayi (harapan masa depan) sebagai cara cerdas untuk menyampaikan kritik mendalam dan harapan akan munculnya kekuatan murni yang berakar pada petani, yang berani mendobrak "gerbang" kekuasaan tanpa harus secara eksplisit menentang rezim, sebagaimana makna nama "Cikal" itu sendiri.



