Kutipan Ahli Psikologi Indonesia "Bullying adalah Epidemi atau Penyakit yang Menular dengan Cepat"

Sukabumiupdate.com
Rabu 29 Okt 2025, 23:37 WIB
Kutipan Ahli Psikologi Indonesia "Bullying adalah Epidemi atau Penyakit yang Menular dengan Cepat"

Psikolog Mira mengingatkan kita bahwa bullying didasari oleh "kondisi pendahulu" yang menormalkan kekerasan (Ilustrasi:Sora)

SUKABUMIUPDATE.com - Kasus tragis siswi MTsN 3 Cikembar, AK, yang didahului oleh dugaan bullying verbal hingga ia merasa perlu mencari "ketenangan" abadi, telah mengguncang kesadaran kolektif kita tentang kondisi darurat perundungan di lingkungan pendidikan.

Peristiwa pilu di Sukabumi ini menjadi ilustrasi nyata dari apa yang selama ini diperingatkan oleh para ahli psikologi, bahwa bullying adalah "epidemi atau penyakit menular dengan cepat" yang menimbulkan korban, sebagaimana ditegaskan oleh Pakar Psikologi Anak UNESA, Riza Noviana Khoirunnisa.

Kutipan-kutipan dari para pakar yang terkumpul di bawah ini bukan sekadar definisi akademis, melainkan diagnosa mendalam atas fenomena yang merusak ini. Dari penegasan Maria Renny K. bahwa bullying adalah tindakan "penggunaan kekuasaan untuk menyakiti seseorang," hingga peringatan bahwa perundungan verbal "sama berbahayanya" dengan kekerasan fisik, pandangan-pandangan ini memaksa kita untuk melihat kasus AK bukan sebagai insiden tunggal, melainkan sebagai kegagalan sistem pengawasan, empati, dan tanggung jawab kolektif.

Kutipan memberikan perspektif mendalam mengenai akar masalah, dampak fatal bagi korban termasuk risiko "keinginan bunuh diri" yang membayangi hidup korban trauma serta peran sentral berbagai pihak dalam mencegah perundungan, yang harus segera kita laksanakan.

Baca Juga: Aksi Bullying Pelajar Telan Korban Jiwa, Catatan Bagi Sekolah di Sukabumi yang Tak Ramah

Berikut adalah kumpulan kutipan penting dari berbagai sumber dan pandangan para ahli psikologi di Indonesia mengenai fenomena bullying, dampak, penyebab, dan solusi yang relevan dengan kasus-kasus kekerasan di lingkungan pendidikan.

Definisi & Tindakan Bullying

“Bullying adalah tindakan penggunaan kekuasaan untuk menyakiti seseorang atau sekelompok orang baik secara verbal, fisik, maupun psikologis sehingga korban merasa tertekan, trauma, dan tak berdaya.”- Maria Renny K, S.Psi, M.Psi, Psikolog (Dikutip dari Tim Sejiwa, 2008)

“Fenomena bullying seperti epidemi atau penyakit menular dengan cepat yang menimbulkan banyak korban. Kasus perundungan terus meningkat setiap tahunnya.”- Riza Noviana Khoirunnisa, S.Psi., M.Si., Pakar Psikologi Anak UNESA

“Bagi si korban, manusiawi sih kalau sakit hati dan dendam kepada pelaku, mengingat perilaku bullying akan selalu membayangi hidup korban. Dampak buruk yang ditimbulkan dari bullying, mulai dari down, kehilangan percaya diri, depresi, hingga keinginan bunuh diri. Ngeri banget ya. Bullying akan selalu menyisakan trauma.” - Sumber: Artikel Cermati (Menekankan dampak jangka panjang dan risiko fatal)

“Perundungan verbal sama berbahayanya dengan bentuk perundungan lainnya.” - Pandangan Psikolog (Dikutip dari Republika, menanggapi bahaya bullying verbal yang sering diremehkan)

Baca Juga: Ruang Belajar SDN Cikahuripan Rusak, Disdik Sukabumi: Belajar Daring Sementara

Akar Masalah dan Motif Pelaku

Para ahli juga menjelaskan bahwa perilaku bullying sering kali berakar dari masalah internal pada pelaku dan kegagalan lingkungan terdekat.

“Yang dicari dari perilaku bully adalah power (sifat berkuasa). Ketika [pelaku] dapat, akan lakukan itu terus karena orang lain lemah.” - Violetta Hasan Noor, Psikolog Klinis Anak

“Bully itu muasalnya tidak berdiri sendiri, sudah ada kondisi pendahulu yang membuat mereka memahami bahwa tindakan kekerasan adalah sesuatu yang wajar, yang bisa diterima, sesuatu yang enggak ada konsekuensinya.”- Mira (Psikolog, menanggapi maraknya kasus bullying)

“Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi seseorang menjadi pelaku perundungan... salah satunya adalah karena mereka belajar menggunakan kekerasan dari rumah atau di interaksi sosial mereka. Jadi misalnya anak mengalami kekerasan di rumah. Apabila mereka tidak suka terhadap sesuatu, maka mereka akan memukul atau menggunakan kekerasan. Hal ini masuk dalam alam berpikirnya.”- Margaretha, S.Psi, PGDip Psych, MSc, Ahli Psikologi UNAIR

“Orang tua tanpa sadar gagal menciptakan rasa aman dan nyaman buat anak. Anak pun tumbuh di suasana yang penuh kekerasan dan berpotensi diabaikan. [Contohnya] Nyindir anak, yang paling sering membandingkan anak, anak lebih banyak dikritik daripada afirmasi [positif] akan sikap dan perilakunya.”- Mira (Psikolog, menyoroti peran kegagalan pola asuh orang tua)

Solusi dan Tanggung Jawab Kolektif

Solusi untuk menghentikan bullying ditekankan pada kolaborasi semua pihak, dari keluarga hingga lembaga pendidikan.

“Permasalahan yang menahun ini sudah saatnya segera diberantas... Perlu adanya kolaborasi berbagai pihak untuk menyelesaikan masalah tersebut, kita tidak dapat tinggal diam saja.”- Tiara Diah Sosialita S.Psi M.Si, Psikolog UNAIR

“Perkembangan emosi, khususnya empati itu terbentuknya kisaran 3-4 tahun. Saat itu anak di mana? di rumah, kan. Kuncinya di orang tua, bukan sekolahan.” - Pandangan Psikolog (Dikutip dari Tempo, menekankan peran fundamental orang tua dalam membentuk empati)

“Sekolah harus punya program pencegahan, intervensi maupun sosialisasi yang efektif. Sinergi antara sekolah dan orang tua sangat penting dibangun dan diperkuat lagi. Komunikasi yang aktif sekolah dan orang tua penting dil5akukan.”- Riza Noviana Khoirunnisa, S.Psi., M.Si., Pakar Psikologi Anak UNESA

Tanggung Jawab Kolektif dan Harapan Perubahan

Pelajaran terbesar dari tragedi AK di Sukabumi adalah bahwa masalah bullying tidak akan pernah tuntas hanya dengan menunjuk satu pihak sebagai biang keladi. Kumpulan kutipan dari para ahli telah menegaskan bahwa fenomena ini berakar pada kompleksitas psikologis pelaku dan kelalaian lingkungan, dari rumah hingga sekolah.

Psikolog Mira mengingatkan kita bahwa bullying didasari oleh "kondisi pendahulu" yang menormalkan kekerasan, sementara Margaretha dari UNAIR menyoroti bagaimana pelaku sering kali "belajar menggunakan kekerasan dari rumah." Ini menunjukkan bahwa kunci utama ada pada orang tua, karena "perkembangan emosi, khususnya empati itu terbentuknya kisaran 3-4 tahun... Kuncinya di orang tua, bukan sekolahan," seperti yang ditekankan oleh salah satu pandangan psikolog.

Baca Juga: Respons Kemenag Sukabumi soal Isu Bullying Bayangi Kematian Tragis Siswi MTs di Cikembar

Oleh karena itu, solusi yang ditawarkan para ahli, seperti yang disampaikan oleh Tiara Diah Sosialita, harus melibatkan "kolaborasi berbagai pihak untuk menyelesaikan masalah tersebut." Sudah bukan waktunya lagi untuk saling menyalahkan. Sekolah, seperti yang diingatkan oleh Riza Noviana Khoirunnisa, "harus punya program pencegahan, intervensi maupun sosialisasi yang efektif," didukung oleh sinergi dan komunikasi aktif dari orang tua.

Semoga kasus AK jadi momentum terakhir bagi kita untuk mengubah sekolah menjadi benteng pertahanan empati dan terbebas dari Blind Spot. Jika kita gagal bersatu dan menindaklanjuti diagnosis para ahli ini dengan tindakan nyata, maka setiap surat perpisahan berikutnya akan menjadi beban moral bagi seluruh ekosistem pendidikan di Indonesia.

Konsep "Blind Spot" dalam Lingkungan Pendidikan

Blind spot (titik buta) dalam konteks bullying di sekolah menurut psikolog merujuk pada area, situasi, atau perilaku yang seharusnya terlihat, namun secara konsisten diabaikan atau gagal dikenali dan dikendalikan oleh guru dan staf sekolah. Ini bukanlah keteledoran yang disengaja, melainkan kegagalan sistemik yang terjadi karena adanya pergeseran prioritas atau normalisasi perilaku negatif.

Beberapa Bentuk blind spot di Sekolah Paling Berbahaya Meliputi:

  1. Normalisasi Kekerasan Verbal: Guru sering menganggap ejekan berulang, gosip yang menyakitkan, atau sindiran sebagai "candaan" atau "kenakalan biasa." Ketika bullying verbal tidak ditindak tegas, ia menjadi tidak terlihat sebagai ancaman serius, padahal seperti kasus AK di Sukabumi dampak psikologisnya fatal.

  2. Fokus Berlebihan pada Akademik: Ketika evaluasi kinerja sekolah dan guru sangat bergantung pada nilai akademis, masalah non-akademik (seperti dinamika sosial, kecemasan, atau isolasi siswa) secara otomatis terdorong ke belakang, menciptakan kebutaan terhadap kesehatan mental siswa.

  3. Area Pengawasan Minim: Blind spot juga terjadi di area fisik sekolah yang jarang terjangkau pengawasan guru (toilet, tangga belakang, kantin pada jam-jam tertentu, atau bahkan ruang chat grup kelas).

Konsep "Blind Spot" mengatakan bahwa pada dasarnya, sekolah menjadi buta terhadap penderitaan emosional siswa karena energi kolektifnya diarahkan pada target yang salah. Blind spot inilah yang memungkinkan bullying berulang dan berkembang dalam keheningan.

Editor :
Berita Terkait
Berita Terkini