Musisi Pemberontak: Dari Iwan Fals sampai .Feast, Kritik Sosial yang Menggugah

Sukabumiupdate.com
Selasa 19 Agu 2025, 15:00 WIB
Musisi Pemberontak: Dari Iwan Fals sampai .Feast, Kritik Sosial yang Menggugah

Iwan Fals pada sebuah konser music Bersama Isyana Sarasvati baru-baru ini (Sumber : Laman facebook Iwan Fals).

SUKABUMIUPDATE.com - Sejak zaman dahulu musik tidak hanya menjadi hiburan semata, tetapi juga menjadi media kuat untuk menyuarakan keresahan sosial. Dimana lewat lagu, nyanyian-nyanyian kepada pemerintah dipersembahkan untuk menyoroti ketidakadilan, kesenjangan sosial, hingga suara rakyat kecil yang terpinggirkan.

Bertahun-tahun dari balada akustik yang sederhana hingga hentakan distorsi modern, pesan yang disampaikan tetap sama yakni mengingatkan masyarakat agar tidak pasif dan berani bersuara terhadap ketidakadilan.

Berikut deretan musisi-musisi yang dikenal pemberontak.

Era Orba: Iwan Fals dan Lirik-Lirik yang Membakar 

Menginjak tahun 1980-an, di tengah cengkeraman rezim Orde Baru, muncul sosok Iwan Fals dengan gitarnya yang sederhana namun liriknya bak pisau. Misalnya pada lagu seperti Bento dan Galang Rambu Anarki  menjadi soundtrack perlawanan.

Yang membuatnya luar biasa Iwan menyampaikan protes dengan cara yang tak bisa dibungkam lewat metafora dalam musik. Rekamannya beredar dari kaset ke kaset, dibawa mahasiswa dalam demo, sampai membuatnya sempat diamankan aparat.

Baca Juga: Diduga Pukuli Penonton Bawa Bendera One Piece, Awan .Feast Tegur Aparat di RI Fest 2025

1990-an: Slank dan Punk Politik 

Masuk era reformasi, Slank muncul dengan gaya lebih frontal. Lagu Hey Bung menyindir pemerintahan yang dianggap hipokrit, sementara lagu-lagu lainnya menjadi teriakan generasi muda, semakin ditekan, semakin laku kasetnya. 

2000-an: Marjinal dan Anarkisme Audio 

Band punk Marjinal membawa kritik sosial ke level lebih radikal. Dengan lagu seperti Polisi Tidur sindiran pada aparat dan Anak Jalanan, mereka menjadi suara kaum tersingkirkan. Konser mereka sering berakhir ricuh, tapi itulah yang diinginkan: musik bukan sekadar hiburan, melainkan alat perlawanan. 

Era Modern: .Feast dan Awan yang Berani Bentak Aparat 

Lompat ke 2025, Awan dari .Feast meneruskan tradisi ini dengan cara paling viral, manggung sambil menyindir aparat yang diduga memukuli penonton di RI Fest. Bedanya, sekarang kritik itu terekam kamera dan langsung menyebar ke media sosial dalam hitungan menit.

Apa yang dulu butuh berbulan-bulan agar bisa didengar bahkan lewat kaset bajakan, kini bisa trending dalam sejam. 

 Mengapa Kritik Musisi Selalu Beresonansi? 

Kritik musisi selalu beresonansi kuat karena mereka mengemas pesan protes dalam bahasa yang menyentuh langsung ke hati rakyat, bukan melalui jargon politik yang kaku, tapi lewat melodi yang mudah diingat dan lirik yang mengena bak pepatah.

Dari masa kaset sampai era TikTok, musik punya kekuatan menyebar bak virus yang tak bisa sepenuhnya dibendung sensor, bahkan lagu yang dilarang justru makin dicari sebagai simbol perlawanan.

Ketika seorang musisi berani mengambil risiko seperti ditangkap atau bahan berisiko dipenjarakan dan atau dilarang manggung , pesan mereka bukan sekadar lirik lagi, melainkan menjadi legenda hidup tentang keberanian melawan kekuasaan yang sewenang-wenang, membuat setiap chord dan baitnya bergema lebih dalam di telinga pendengarnya.

Lantas, Masih Relevankah Musisi Kritik Sosial di Era Sekarang? 

Lihat saja Awan .Feast yang videonya viral hari ini atau Nadin Amizah yang menyelipkan protes halus dalam lagu. Ternyata, di era algoritma sekalipun, suara yang jujur dan berani tetap punya tempat. Persis seperti Iwan Fals bilang, "Musik yang baik adalah yang membuat penguasa gelisah dan rakyat bersemangat." 

Rhoma Irama di era Orba juga salah satu musisi yang berani kritik pemerintah lewat dangdut, Insan Skuter di masa kini dengan lirik satire tajamnya, sampai Pas Band yang mengguncang rezim lewat riff gitar di lagu Jengah, atau Sukatani Band Punk yang sempat viral dan berurusan dengan aparat gara-gara menyindir keras oknum polisi yang doyan duit adalah bagian sejarah musik Indonesia selalu punya pahlawan-pahlawan bersenjatakan melodi di zamannya masing-masing.

Mereka membuktikan bahwa perlawanan tak harus selalu dengan bentakan, kadang cukup dengan lagu dan tindakan yang tepat di waktu yang tepat, seperti Navicula yang menyelipkan protes lingkungan dalam rock alternatif, atau bahkan Tulus yang mengkritik kemunafikan sosial lewat balada lembut.

Di setiap era, selalu ada musisi yang berani jadi suara yang tak bisa dibungkam, membuktikan bahwa seni tetap menjadi senjata paling elegan untuk menggoyang status quo.

Penulis: Danang Hamid

Berita Terkait
Berita Terkini