SUKABUMIUPDATE.com - Pada Selasa malam, 28 Oktober 2025, Kabupaten Sukabumi dikejutkan oleh kabar duka yang menyayat hati, seorang siswi MTsN 3 Cikembar berinisial AK (15 tahun) ditemukan meninggal dunia di rumahnya. Di samping jasadnya, ditemukan dua lembar surat yang pilu.
Surat itu bukan sekadar pesan perpisahan, melainkan Maklumat Penderitaan yang diakibatkan oleh kata-kata tajam teman sekelas sebuah jeritan ingin pindah sekolah demi mencari "ketenangan" yang tak mampu dipenuhi oleh keterbatasan finansial keluarga. Fakta, bahwa tragedi ini berakar di ruang kelas, tempat yang seharusnya menjadi ruang solidaritas, komunitas sportif dan zona aman, memaksa kita untuk bertanya, mengapa sekolah yang kita sebut rumah kedua, justru menjadi palagan psikologis yang merenggut nyawa anak didiknya?
Ketika Ruang Kelas Menjadi Ruang Blind Spot
Tragedi AK bukan hanya kecelakaan, melainkan puncak dari akumulasi keteledoran pengawasan dan budaya yang permisif. Di tengah hiruk pikuk kejar target kurikulum dan angka akademis, dinamika emosional siswa kerap terabaikan, menciptakan blind spot yang fatal. Guru dan staf sekolah, yang terlalu fokus pada aspek kognitif, sering kali meremehkan interaksi verbal yang menyakitkan, melabelinya sebagai "candaan," "kenakalan," atau bagian dari "proses pendewasaan."
Sekolah Ramah Anak Strategi Cerdas Mengintegrasikan Pendidikan Anti-Bullying (foto:Canva)
Baca Juga: Fakta Baru Kematian Siswi MTs di Sukabumi: Ibu Korban Sempat Sampaikan Dugaan Bullying ke Sekolah
“Sekolah harus punya program pencegahan, intervensi maupun sosialisasi yang efektif. Sinergi antara sekolah dan orang tua sangat penting dibangun dan diperkuat lagi. Komunikasi yang aktif sekolah dan orang tua penting dil5akukan.” Kata Riza Noviana Khoirunnisa, S.Psi., M.Si., Pakar Psikologi Anak UNESA
Normalisasi candaan kejam seperti yang terungkap dalam surat korban "Paeh we, paeh lah" (mati saja, mati lah) telah mengeliminasi rasa tanggung jawab kolektif atas kebahagiaan siswa. Ketika korban memilih diam karena tahu laporannya hanya akan berujung pada mediasi tanpa solusi, sekolah telah kehilangan otoritas moralnya dan sisi ramahnya telah sirna.
Lembaga seperti MD KAHMI Sukabumi menyoroti bahwa kurikulum yang ada saat ini, termasuk Pendidikan Kewarganegaraan, terasa terbatas dalam mengajarkan bagaimana siswa seharusnya berinteraksi.
Siswa diajarkan tentang hak dan kewajiban, tetapi gagal mengajarkan mereka keterampilan emosional mendasar bagaimana mengelola amarah, mengenali rasa sakit orang lain, dan menggunakan kata-kata sebagai jembatan, bukan senjata. Sekolah menjadi wadah yang hanya memompakan pengetahuan ke kepala, tanpa mengolah hati. Jika materi ini tidak diajarkan secara terstruktur dan berulang, nilai-nilai luhur hanya akan menjadi tulisan di dinding kelas, tidak pernah meresap menjadi budaya sekolah.
Bullying Verbal "Pembunuhan" Karakter Diam-Diam dan Perlu Kurikulum Khusus untuk Lindungi Jiwa Anak (Credit foto: Canva)
Baca Juga: Surat Wasiat Diselidiki Polisi, Ungkap Dugaan Bullying Kasus Kematian Siswi MTs di Sukabumi
Muatan Lokal Anti-Bullying Membangun Software Sosial Siswa
Untuk mengisi kekosongan substansi ini, perlu adanya muatan lokal atau program khusus yang terintegrasi secara rutin, seperti usulan KAHMI untuk menjadwalkannya seminggu atau sebulan sekali. Tujuan utamanya adalah membangun software sosial siswa, menjadikan empati sebagai mata uang utama pergaulan.
Program ini harus dimulai dengan Identifikasi dan Sensitivitas, di mana siswa diajak menggali bentuk-bentuk bullying non-fisik, seperti sindiran dan cyberbullying, melalui Latihan Perspektif. Dalam latihan ini, siswa bisa menulis anonim tentang perasaan mereka jika dipanggil dengan sebutan negatif, untuk kemudian dibahas di kelas. Tujuannya untuk mengubah pandangan untuk tidak memaknai bahwa bullying verbal hanyalah "candaan"
Para pakar psikologi menyarankan langkah penguatan Pilar Empati dengan Role-Playing Situasi Konflik yang mengajarkan cara merespons tanpa agresi, serta latihan Membaca Emosi untuk mengenali ekspresi dan bahasa tubuh teman yang sedang tertekan. Selain itu, program wajib mencakup pembangunan Budaya Aman melalui perumusan Kontrak Kelas Anti-Bullying yang disepakati bersama oleh siswa dan guru, lengkap dengan konsekuensi yang jelas.
Baca Juga: Aksi Bullying Pelajar Telan Korban Jiwa, Catatan Bagi Sekolah di Sukabumi yang Tak Ramah
Agar jangkauan pencegahan lebih luas, sekolah perlu melatih siswa senior atau perwakilan kelas sebagai Program Peer to Peer atau "Duta Anti-Bullying," yang berfungsi sebagai telinga pertama bagi teman sebaya. Program harus membekali siswa dengan Keterampilan Asertif, yaitu mengajarkan Teknik Bicara untuk menolak tekanan kelompok (peer pressure) dan cara membela diri atau orang lain yang dibully tanpa harus membalas dengan kekerasan. Semua materi tersebut dirancang untuk memberikan korban dan bystander (saksi) keberanian serta tools praktis untuk menghentikan bullying.
Muatan Lokal Anti-Bullying untuk Keselamatan Psikologis Holistik
Menjadikan Tragedi Sebagai Pelajaran Kolektif
Kasus yang menimpa AK ini harus kita lihat sebagai panggilan refleksi yang mendalam bagi seluruh ekosistem pendidikan baik guru, kepala sekolah, dinas, dan orang tua. Daripada berfokus pada siapa yang gagal, saatnya menyatukan langkah dan komitmen untuk bertransformasi.
Tantangan ini bukan semata-mata tentang penyesuaian kurikulum, melainkan tentang mengintegrasikan Pendidikan Sosial dan Emosional (PSE) secara menyeluruh dalam budaya sekolah. Tragedi seperti ini menegaskan bahwa fokus utama harus bergeser, keselamatan dan kesejahteraan psikologis anak adalah nilai tertinggi yang harus diutamakan, bahkan di atas capaian akademik.
Baca Juga: 600 Warga Terisolir Butuh Bantuan, Longsor Putus Akses ke Desa Sukarame Cisolok Sukabumi
Hal tersebut sejalan dengan pandangan ahli, seperti Marc Brackett, Direktur Pusat Yale untuk Kecerdasan Emosional, yang menyatakan:
"Pesanku untuk semua orang adalah sama, bahwa jika kita dapat belajar mengidentifikasi, mengekspresikan, dan memanfaatkan perasaan kita, bahkan yang paling menantang, kita dapat menggunakan emosi itu untuk membantu kita menciptakan kehidupan yang positif dan memuaskan."
Anjuran psikolog untuk mewujudkan sekolah yang benar-benar aman dan ramah bagi setiap anak, dibutuhkan langkah nyata dan terstruktur:
- Penguatan Muatan Lokal Anti-Bullying: Mengimplementasikan program anti-perundungan yang terstruktur, inklusif, dan berkelanjutan.
- Optimalisasi Peran TPPK: Memastikan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) bekerja secara proaktif, tidak hanya reaktif, dalam mengidentifikasi dan menangani potensi risiko.
- Pelaksanaan Audit Psikososial Rutin: Melakukan penilaian rutin terhadap iklim psikososial di setiap kelas dan sekolah untuk mendeteksi dini masalah yang tersembunyi.
- Pelatihan Guru yang Berkesinambungan: Memberikan pelatihan komprehensif bagi guru agar memiliki kecerdasan emosional dan mampu mengenali serta merespons secara efektif tanda-tanda bullying dan kesulitan emosional siswa.
Dengan mengembalikan kepekaan dan empati sebagai landasan, serta menjadikan keselamatan emosional sebagai prioritas utama, kita dapat memastikan sekolah menjadi ruang tumbuh kembang yang utuh, di mana setiap anak merasa dilindungi dan dihargai.

