SUKABUMIUPDATE.com – Di balik suara sintesis yang mendistorsi dan beat yang chaotic, hyperpop berkembang menjadi lebih dari sekadar genre musik. Ia menjadi ruang aman, panggung ekspresi, dan soundtrack bagi perjuangan identitas komunitas LGBTQ+.
Jika Anda menyelami dunia hyperpop, Anda akan cepat menyadari bahwa genre ini dan komunitas LGBTQ+ bagai dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Keterkaitan ini bukanlah kebetulan, tetapi sebuah hubungan simbiosis yang lahir dari semangat pemberontakan terhadap norma dan keinginan untuk menciptakan dunia baru.
Hyperpop, dengan ciri khas Auto-Tune yang berlebihan, melodi yang hancur-lebur, dan produksi yang sengaja tidak wajar, pada dasarnya adalah anti-thesis dari pop arus utama yang serba terpolish dan "aman".
Baca Juga: 10 Band & Artis Bertopeng Ini Sukses Guncang Dunia Tanpa Tunjukkan Wajah Aslinya!
Semangat itulah yang beresonansi dengan pengalaman banyak individu LGBTQ+ yang seringkali harus bernegosiasi dan memberontak terhadap norma-norma gender dan seksualitas yang menurut mereka kaku di masyarakat.
Pelopor yang Merepresentasikan
Keterkaitan ini berakar dari para pelopor genre itu sendiri. Sophie (almarhumah), seorang produser transgender, bukan hanya ikon musik, tetapi juga visioner yang suara futuristiknya membentuk fondasi sonik hyperpop. A.G. Cook dari label PC Music yang queer, menciptakan estetika hiper-real dan ironis yang menjadi ciri khas genre ini.
Laura Les dari duo pionir 100 gecs yang terbuka sebagai transgender, serta Dorian Electra yang non-binary, adalah bukti bahwa suara-suara dari komunitas LGBTQ+ bukan hanya ada, tetapi justru yang mendefinisikan gerakan musik ini sejak awal.
Baca Juga: Di Balik Topeng: Misteri Identitas The Residents, Band Paling Anonim di Dunia
Mereka menciptakan musik yang secara sonik dan liris mencerminkan pengalaman mereka tentang kebingungan identitas, euforia, disforia, dan pencarian diri, semua dibungkus dalam paket yang berenergi tinggi dan kadang-kadang absurd.
Ruang Aman Digital dan Soundtrack Perlawanan
Platform seperti SoundCloud dan Bandcamp menjadi inkubator awal bagi scene ini. Berbeda dengan gerbang ketat industri musik tradisional, platform digital ini memberikan kebebasan bagi siapa pun untuk mengekspresikan diri.
Bagi kaum muda LGBTQ+, terutama yang tinggal di lingkungan yang tidak mendukung, hyperpop menjadi ruang aman virtual di mana mereka bisa menjadi diri sendiri tanpa dihakimi.
Baca Juga: Langkah Berani Slipknot: Katalog Legendaris Dijual Seharga Rp1,86 Triliun!
Lirik-lirik dalam hyperpop sering kali bersifat meta, membahas kecemasan generasi Z, kehidupan malam, dan yang paling penting, eksplorasi identitas queer. Ini memberikan representasi yang jarang didapatkan di genre pop mainstream, menjadikannya soundtrack yang powerful bagi perlawanan dan penerimaan diri.
Penting untuk ditekankan bahwa meskipun akarnya sangat queer, hyperpop tidak eksklusif. Genre ini pada akhirnya merayakan perbedaan dan individualitas, di mana setiap orang bisa menikmati lagi-lagu jenis ini. Warisan terbesarnya adalah menciptakan sebuah pintu gerbang di mana siapa pun yang merasa teralienasi apapun latar belakangnya, bisa merasa memiliki dan bebas berekspresi.
Hal ini membuktikan bahwa ketika seni memberikan ruang bagi suara-suara yang terpinggirkan, hasilnya seringkali adalah inovasi yang paling baru dan membentuk kembali budaya.
(Sumber: Dari berbagai sumber/The Newyorker)
Penulis: Danang Hamid