SUKABUMIUPDATE.com - Acara hajatan pernikahan pasti selalu dimeriahkan dengan memutarkan lagu-lagu lokal maupun internasional. Hal ini dilakukan sebagai bentuk hiburan untuk pengantin baru atau para tamu undangan.
Namun, karena penggunaan lagu-lagu yang berpotensi dikenakan royalti belakangan ini sering diperbincangkan oleh warganet di media sosial. Bahkan, memutar musik di acara hajatan pernikahan bisa terkena royalti juga.
Apakah memutar musik di acara pernikahan sudah pasti terkena royalti?
Wahana Musik Indonesia (WAMI), sebagai salah satu Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) di Indonesia, telah menegaskan terkait penggunaan lagu-lagu untuk kepentingan komersial. Hal ini termasuk resepsi pernikahan yang dikenakan royalti.
Baca Juga: 3 Motor Hilang Dalam Semalam: Curanmor Teror Mahasiswa KKN di Wangunsari Cisolok Sukabumi
Dasar hukum royalti ini berpayung pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Dalam UU ini sebagaimana diatur Hak Ekonomi pencipta dan pemegang hak cipta.
Mengutip dari Kumparan, Head of Corporate Communications & Memberships WAMI, Robert Mulyarahardja, mengatakan tarif royaltinya yakni sebesar dua persen dari biaya produksi musik.
"Ketika ada musik yang digunakan di ruang publik, maka ada hak pencipta yang harus dibayarkan. Prinsipnya seperti itu," kata Robert saat dikonfirmasi, Selasa (12/8/2025), sebagaimana dikutip dari Kumparan.com.
Dia juga menjelaskan bahwa untuk musik live yang tidak menjual tiket, seperti acara pernikahan, tarifnya ditetapkan sebesar dua persen dari biaya produksi musik, yang mencakup sewa sound system, backline, fee penampil, dan lainnya.
"Untuk musik live yang tidak menjual tiket, seperti acara pernikahan, tarifnya dua persen dari biaya produksi musik (sewa sound system, backline, fee penampil, dll)," jelas dia.
Ilustrasi - Acara Pernikahan. | Freepik.com.
Namun dalam pembayaran royalti bukan menjadi tanggung jawab langsung dari pasangan pengantin. Kewajiban tersebut berada pada pihak user atau pengguna musik untuk tujuan komersial.
Dalam konteks acara pernikahan, yang dimaksud adalah pihak penyelenggara, seperti event organizer, hotel, atau pemilik gedung resepsi.
Merekalah yang seharusnya mengantongi lisensi dari Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) agar dapat memanfaatkan karya musik secara legal dalam kegiatan usahanya.
Pandangan Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjajaran Prof. Ahmad M. Ramli
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjajaran Prof. Ahmad M. Ramli mengatakan kondisi yang menciptakan ketakutan menggunakan musik karena risiko tuntutan hukum bisa memicu gerakan “anti musik” di ruang publik dan komersial, di mana pemilik usaha lebih memilih alternatif lain untuk mengisi ruang komersialnya.
Prof Ramli juga mengatakan kaitan UU ini selama lagu-lagu tersebut tidak dikomersilkan tidak akan terkena royalti. Hal itu disampaikannya sebagai Ahli yang dihadirkan Presiden dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC) untuk Perkara Nomor 28/PUU-XXIII/2025 dan Nomor 37/PUU-XXIII/2025 di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (7/8/2025).
“Enggak ada cerita itu. Karena undang-undang ini mengatakan sepanjang tidak komersial enggak ada itu (penarikan royalti),” kata Ramli “Justru orang yang menyanyikan di rumah ya ada ulang tahun, ada organ. Dia adalah agen iklan yang enggak disuruh mempopulerkan lagu yang kita punya. Kok yang begitu harus kita otak-atik, kita takut-takuti,” ujarnya menambahkan.
“Jadi undang-undang ini justru mendorong, "Ayo nyanyikan lagu sebanyak banyaknya." Tapi kalau lagu itu kemudian digunakan untuk mendatangkan orang secara komersial, baik konser, baik apapun, maka tolong bayar ke LMK. Itu aja, kata Ramli.
Ramli menjelaskan ekosistem industri musik merupakan sistem kompleks yang melibatkan berbagai aktor dengan peran dan kontribusi yang saling terkait, terdiri dari pencipta atau komposer lagu, penyanyi, musisi, dan pemegang hak terkait, serta para pengguna.
Pengguna komersial mencakup berbagai bentuk seperti restoran, hotel, kafe, pusat perbelanjaan, rumah karaoke, serta penyelenggara event dan pertunjukan.
Menurut Ramli, ekosistem industri musik seharusnya mendorong pelaku industri untuk menggunakan lagu sebagai bagian dari gaya hidup dengan tetap menghormati hak-hak pemegang hak cipta.
Selain itu, membangun kesadaran publik, memperluas segmen pasar, dan menjadikan penggunaan lagu sebagai bagian dari gaya hidup, sembari tetap menghormati hak para kreator.