Oleh: Marwah Raisa Roja, Mahasiswa semester 5 di UIN Jakarta Fakultas Pendidikan
Dalam beberapa waktu belakangan, pengguna media sosial dan percakapan sehari-hari di komunitas Sunda mulai mengasosiasikan kata manawi dengan perasaan “deg-degan”, curiga, atau langsung berpikir bahwa pengirim pesan berminat meminjam uang. Padahal secara leksikal, “manawi” hanya berarti “barangkali” atau “mungkin”.
Fenomena ini menarik bukan hanya sebagai humor internet, tapi juga sebagai cermin bagaimana makna bisa bergeser, terbentuk oleh konteks sosial, budaya, dan pengalaman kolektif.
Artikel ini mengajak pembaca menelisik fenomena tersebut dari sudut pandang linguistik: pragmatik, sosiolinguistik, dan etnolinguistik.
Baca Juga: Ancaman Investasi di Balik Keindahan Ciletuh-Palabuhanratu UNESCO Global Geopark Sukabumi
“Manawi”: Arti Leksikal vs Makna Sosial
Menurut kamus Sunda–Indonesia, “manawi” berarti “barangkali / jika / mungkin”. Namun dalam percakapan dan terutama di chat, jika seseorang menulis “Manawi” banyak orang langsung menduga bahwa itu adalah pembuka permintaan atau pinjaman. Hal ini menunjukkan bahwa kata bisa mendapat arti tambahan lewat penggunaan sosial yang berulang, berbeda jauh dari arti originalnya.
Fenomena seperti ini sering disebut oleh para ahli sebagai “semantic shift” atau “meaning extension by usage/context” ketika makna sebuah kata berubah karena asosiasi sosial dan gaya komunikasi.
Budaya Sunda dan Strategi Kesantunan: Mengapa “Manawi” Bisa Jadi “Kode”
Menurut penelitian pada komunitas Sunda, dalam konteks budaya Sunda terdapat kecenderungan memakai bahasa secara halus, sopan, dan tidak langsung saat meminta sesuatu atau saat dalam posisi berutang atau berhutang. Strategi ini dikenal dalam kajian kesantunan bahasa (politeness strategy).
Baca Juga: 44, Skor Kota Sukabumi Soal Sampah: Wali Kota Bertemu Menteri Lingkungan Hidup
Dalam studi tentang “request strategies” antara penutur Sunda dan Jawa, ditemukan bahwa penutur Sunda cenderung memakai strategi tidak langsung (indirect request) daripada langsung sebagai bentuk kesantunan dan penghormatan terhadap jarak sosial, status, atau beban permintaan.
Dengan begitu: ketika seseorang memulai chat dengan “Manawi” itu bisa dipahami oleh penerima sebagai bagian dari strategi “halus dulu, minta nanti”. Karena konteks sosial ini kemudian diulang dalam banyak percakapan dan meme, kata “manawi” mendapat konotasi baru: bukan sekedar “mungkin”, tapi “hati-hati, ini bisa jadi kamu mau pinjam uang”.
Sosiolinguistik dan Humor Kolektif: Bagaimana Netizen Menjadikan “Manawi” Viral
• Repetisi dalam meme atau screenshot chat. Banyak meme atau postingan yang menampilkan chat dengan “manawi” sebagai pembuka, kemudian diikuti permintaan uang hal ini memperkuat asosiasi di antara netizen.
Baca Juga: 87% Kecamatan di Sukabumi Terdampak Bencana, Hutan Kritis! Asa Perda Patanjala Jadi Tameng Terakhir
• Pengalaman bersama. Banyak orang pernah mendapat chat dengan “manawi” di awal, lalu diikuti permintaan pinjaman sehingga ketika membaca “manawi” saja, reaksi “deg-degan” muncul secara instan.
• Konsensus sosial nonformal. Meskipun tidak tercatat di kamus resmi bahwa “manawi = pinjam uang”, komunitas membuat makna baru secara kolektif. Ini menunjukkan bahwa makna sosial bisa muncul lebih kuat daripada makna leksikal lewat konsensus interaksi.
Fenomena seperti ini di mana sebuah kata, lewat penggunaan budaya dan media digital, memperoleh makna baru adalah contoh nyata lain dari bagaimana bahasa adalah makhluk hidup yang terus berubah.
Baca Juga: Cegah Lonjakan Kemiskinan, Menko PBMD Bicara Dampak Sosial Bencana di Cisolok Sukabumi
Implikasi: Kenalkan, Waspadai, Atau Rayakan?
• Bagi peneliti/mahasiswa bahasa: fenomena “manawi” menarik sebagai studi kasus pergeseran makna, pragmatic cue, dan dinamika kesantunan bahasa lokal.
• Bagi pengguna bahasa Sunda atau Indonesia: ini bisa menjadi refleksi soal kepekaan pragmatik bahwa kalimat sederhana bisa punya makna sosial yang besar tergantung konteks.
• Bagi pembuat konten atau penulis: fenomena ini menunjukkan bagaimana humor, budaya, dan bahasa bisa bersinggungan dan bagaimana hal biasa bisa jadi viral.
Baca Juga: Aksi Teror Geng Motor di Sukabumi Menurun 77 Persen YoY 2024-2025, Apa Penyebabnya?
• Bagi pelestarian bahasa lokal: pergeseran makna seperti ini penting dicatat karena bisa mengubah persepsi masyarakat terhadap kosakata tradisional.
Jadi Kesimpulannya, fenomena viralnya “manawi” dari kata sopan dan netral menjadi semacam kode pinjam uang menunjukkan bahwa makna kata tidak statis. Melalui konteks sosial, budaya, dan interaksi digital, komunitas bisa memberi “nyawa baru” bagi bahasa. Hal ini adalah contoh nyata bahwa bahasa, budaya, dan masyarakat selalu berinteraksi dan perubahan makna bisa terjadi kapan saja, di mana saja.
Referensi
Glosbe. “"manawi“ Sundanese –Indonesian Dictionary Entry,” n.d. https://glosbe.com/su/id/manawi.
Hidayatullah, Asep, Dadang S Anshori, Andoyo Sastromiharjo, Literature Education, Universitas Pendidikan Indonesia, and Universitas Galuh. “Sundanese Cultural Values in Paribasa as a Guide to Language Politeness : An Ethnopragmapedagogy Approach” 12, no. 3 (2025): 1612–29.
Winda, Ayang, and Sri Widianingsih. “Journal of English Pedagogy and Applied Linguistics” 2, no. 2 (2022): 98–109.






