SUKABUMIUPDATE.com - Apakah Anda masih ingat bau kertas stensil yang khas, sedikit kasar di ujung jari jika Anda membuka lembar demi lembar buku bersampul hitam putih itu? Suara desisan tawa biasanya auto gekgek dari bangku sekolah dasar hingga warung kopi, karena di dalamnya, hidung Petruk yang lancip dan wajah Gareng yang bulat selalu berhasil tersangkut dalam masalah yang tak masuk akal entah itu dikejar Jin Bola Tanah, bertemu Siluman Ijo, atau mencoba mencari jodoh dengan modal kantong kempes. "Nah, ini mah aturannya sudah sesuai Buku Tatang S!" celetuk Sule sambil menunjuk hidung Petruk, seolah-olah semua kenakalan karakter itu adalah kurikulum wajib.
Coba jujur, dari ratusan judul yang pernah Anda baca, cerita hantu apa yang paling sukses membuat Anda merangkak di bawah selimut, tetapi esoknya langsung Anda cari lagi di kios buku, atau mencarinya di Lapang Merdeka, alun-alun Cisaat atau Jalan Ahmad Yani? Momen tersebut bukan hanya tentang komik, melainkan ritual sore hari setelah pulang sekolah, momen berbagi ketegangan dan tawa murah meriah. Harga komik yang tidak seberapa (seringnya ngutang atau patungan) itu terasa seperti investasi harta karun kultural.
Ingatkah bagaimana kalimat penutup ikonik dari sang komikus, "Salam manis tidak akan habis. Salam sayang tidak akan hilang," selalu sukses membuat kita merasa dihargai, seolah kita adalah bagian dari keluarga besar Punakawan yang selalu sial namun beruntung? "Udah, ikutin saja! Jangan banyak tanya, nanti saya kasih tahu jurus rahasia dari Bapak Tatang S!" kata Sule, meskipun S seringkali meleset jadi Sutarman, kecurigaan besar merujuk pada Suhenra/Suhendra.
Baca Juga: Suhu Panas Capai 37,6°C, BMKG Prediksi Bisa Berlanjut hingga Awal November 2025
Pertanyaannya, dalam keasyikan flashback ini, apakah Anda juga sempat bertanya-tanya, apa sebenarnya rahasia di balik semua kesialan Petruk dan Gareng? Dan mengapa, setiap kali mereka kehabisan uang, selalu ada hantu atau tuyul yang muncul sebagai solusi atau malah masalah baru?
Misteri Cepot, Semar, Dawala, Gareng terkuak! Nostalgia komik Tatang S dan filosofi Wayang Golek Sunda yang mengubah hidup. Kisah rakyat jelata, kritik tajam, dan humor legendaris (Ilustrasi:Sora)
Di balik gemulai gerak dan suara tawa panggung wayang golek Sunda, berdirilah empat sosok ikonik yang jauh melampaui peran pelawak biasa: para Punakawan. Mereka adalah Semar, Cepot, Dawala, dan Gareng, kuartet legendaris yang mengiringi para ksatria, bukan hanya sebagai pengawal, tetapi sebagai pengadil moral dan penasihat bijak. Dalam kebudayaan Sunda, Punakawan adalah jantung filsafat yang berdetak di tengah hingar-bingar pertempuran pewayangan.
Tokoh yang paling dihormati dalam kelompok ini adalah Semar. Ia adalah manifestasi dari kebijaksanaan tertinggi, melambangkan kesederhanaan dan kerendahan hati yang hakiki. Penampilannya yang digambarkan gemuk, berkepala botak dengan kuncung putih, bukan tanpa makna ia mewakili pikiran jernih dan keteguhan hati yang tak tergoyahkan. Semar adalah figur Bapak yang menaungi, sekaligus simbol kearifan rakyat jelata yang sesungguhnya.
Kemudian, ada si lincah dan jenaka, Cepot. Dialah Petruk versi Sunda yang paling populer. Cepot dikenal karena kelucuan, keberaniannya menyampaikan kritik sosial yang tajam, dan humor yang membumi. Ia adalah suara lantang dari masyarakat kecil, selalu menjadi sumber tawa sekaligus penyentil kesadaran bagi para penguasa dan ksatria. Bersama Dawala dan Gareng, yang masing-masing melengkapi spektrum perilaku dan kepribadian manusia, Punakawan secara kolektif melukiskan keseimbangan hidup menggambarkan harmoni antara niat, pikiran, perasaan, dan tindakan. Mereka adalah simbol perwujudan sifat manusia dalam berbagai dimensinya.
Baca Juga: Poin-poin Perpres 109/2025 Tentang Penanganan Sampah Perkotaan, Termasuk Kesiapan Daerah
Akar Sejarah dan Perbedaan Budaya
Kata "Punakawan" itu sendiri mengandung makna mendalam, berasal dari "puna" (mengerti) dan "kawan" (teman). Mereka adalah teman sejati yang memahami realitas, memberikan nasihat bijak, dan menjadi cermin kearifan rakyat Nusantara. Catatan sejarah mencatat bahwa Punakawan adalah tambahan lokal dalam mahakarya pewayangan India, sebuah inovasi budaya yang lahir dan berkembang di Jawa, kemudian menyebar ke Sunda.
Menurut riwayat, tokoh Punakawan pertama kali muncul dalam karya sastra Jawa kuno seperti Ghatotkacasraya. Semar sendiri menjadi tokoh terkemuka dalam Sudamala di era Majapahit. Seiring waktu, tokoh ini berkembang menjadi empat karakter terkenal.
Meskipun memiliki akar yang sama, Punakawan Sunda dan Jawa memiliki perbedaan spesifik yang memperkaya khazanah pewayangan Indonesia.
- Dalam versi Jawa, Punakawan terdiri dari Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Karakternya cenderung lebih spiritual dan filosofis, erat kaitannya dengan narasi sejarah Majapahit dan peran Sunan Kalijaga dalam penyebaran Islam sebagai media dakwah.
- Dalam versi Sunda, tokohnya adalah Semar, Cepot (Petruk), Dawala, dan Gareng. Figur Cepot lebih menonjolkan kelucuan dan kelincahan dengan filosofi yang lebih lokal, dekat dengan adat istiadat Sunda.
Perbedaan istilah dan tokoh, seperti Dawala di Sunda dan Bagong di Jawa, hanyalah indikasi spesifikasi lokal yang memperkaya, namun fungsi esensial mereka tetap sama menjadi representasi watak manusia, pembawa humor, sindiran sosial, dan nilai moral yang memudahkan penerimaan pesan oleh masyarakat.
Baca Juga: Slamet Tinjau Proyek Kampung Nelayan di Ciletuh Sukabumi, Tak Toleransi Kualitas Asal-Asalan
Punakawan di Tangan Tatang S.
Bagi generasi 80-an dan 90-an, Punakawan tidak hanya dikenal lewat pertunjukan wayang golek, tetapi juga melalui medium yang jauh lebih merakyat: komik saku. Sosok yang bertanggung jawab atas lonjakan popularitas ini adalah Tatang Suhenra, atau yang lebih dikenal sebagai Tatang S., seorang komikus berdarah Sunda.
Tatang S. adalah jembatan emas yang menghubungkan tradisi klasik dengan budaya populer. Melalui karya komiknya yang sederhana, lugas, namun sarat makna, ia berhasil membawa tokoh-tokoh wayang, termasuk Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong, keluar dari istana pewayangan Astina dan memosisikan mereka dalam kehidupan sehari-hari masyarakat urban.
Latar kisah komiknya, Desa Tumaritis, menjadi simbol panggung kecil yang merepresentasikan realitas sosial rakyat jelata sebuah arena di mana masyarakat kelas bawah dengan segala mimpi, tantangan, dan humor khasnya menemukan cerminan diri. Gaya penceritaan Tatang S. yang lugas dengan humor segar khas Sunda, dipadukan dengan bahasa keseharian, membuat karyanya sangat mudah diterima berbagai kalangan, dari anak-anak hingga dewasa.
Baca Juga: Pembudidaya Ikan di Sukabumi Akui Lonjakan Hasil Panen Berkat Melek DIgital
Distribusi komik Tatang S. yang efektif dan harganya yang terjangkau menjadikannya bahan bacaan wajib di warung-warung dan kios-kios. Komik-komik tersebut, yang berisi campuran humor ringan, cerita horor ringan, dan pesan sosial, secara halus mengedukasi sambil menghibur.
Kontribusi Tatang S. sungguh monumental. Ia tidak hanya menjaga dan menyebarluaskan nilai-nilai budaya Sunda melalui tokoh Punakawan, tetapi juga mengukuhkan mereka sebagai bagian tak terpisahkan dari memori kolektif dan budaya populer Indonesia modern. Berkat tangan dinginnya, warisan budaya lokal ini terus hidup, relevan, dan abadi dalam kenangan.
Tumaritis memegang peranan sentral karena secara mitologis dalam pewayangan Sunda dan Jawa, ia adalah Karang Tumaritis, yakni kampung halaman para Punakawan yang dipimpin oleh Semar, melambangkan kehidupan yang sederhana, harmonis, dan penuh kearifan rakyat jelata, kontras dengan istana ksatria. Peran ini diperkuat dan dipopulerkan oleh komikus legendaris Tatang S. yang menjadikan Desa Tumaritis sebagai latar utama cerita komiknya; di tangan Tatang S., Tumaritis bertransformasi menjadi simbol dan panggung realistis bagi masyarakat kelas bawah, tempat Punakawan bebas menyuarakan humor dan kritik sosial yang membumi, sehingga Tumaritis berfungsi sebagai jangkar geografis dan filosofis bagi seluruh karakter Punakawan.
(Dari berbagai sumber)