Den Aslam, Tunggulah Aku di Gunung Parang dan Misi Mengglobalisasi Legenda Lokal Sukabumi

Sukabumiupdate.com
Minggu 25 Mei 2025, 11:09 WIB
Sosok Den Aslam, Seniman Sukabumi yang mengangkat legenda lokal ke panggung nasional melalui teater musikal Tunggulah Aku di Gunung Parang. (Sumber Foto: Dok. Pribadi)

Sosok Den Aslam, Seniman Sukabumi yang mengangkat legenda lokal ke panggung nasional melalui teater musikal Tunggulah Aku di Gunung Parang. (Sumber Foto: Dok. Pribadi)

SUKABUMIUPDATE.com - Lahir dan besar di Desa Cigunung, Kecamatan Cisaat, Kabupaten Sukabumi, Dhena Maysar Aslam, atau yang akrab disapa Den Aslam, telah menunjukkan ketertarikannya pada dunia sastra sejak usia dini.

Ia mengenyam pendidikan dasar di SDN Sukamanah 2, melanjutkan ke SMPN 1 Cisaat, lalu ke SMAN 2 Sukabumi. Den kemudian menyelesaikan studi S1 di Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Sukabumi (UMMI), dan melanjutkan studi S2 di Program Studi Magister Ilmu Sastra (Konsentrasi Sastra Kontemporer) Universitas Padjadjaran.

Masa kecil pria kelahiran 1992 itu banyak dihabiskan di Perpustakaan Daerah Kabupaten Sukabumi, Gelanggang Cisaat. "Buku pertama saya adalah Muhammad karya Martin Lings. Saat SD, saya hampir tiap hari ke perpustakaan. Nakalnya, beberapa buku yang saya pinjam jarang dikembalikan," kenangnya.

Salah satu buku yang tak kembali ke rak adalah Deru Campur Debu karya Chairil Anwar, yang menjadi titik awal perjalanannya sebagai penyair.

Ideolog dan Penjelajah Multidisiplin

Saat SMP, Den mulai menulis diary, dan saat SMA minatnya meluas ke dunia musik. Titik balik keseriusannya menekuni seni terjadi ketika ia kuliah di UMMI pada 2010. Ia mulai aktif menulis puisi, tampil dalam pertunjukan baca puisi, dan mendirikan kelompok teater Arkamaya. Di luar lingkungan akademik, ia juga merintis Forum Teater dan Sastra Sukabumi serta Sarekat Penyair—forum komunitas seni dan sastra di Sukabumi.

Dalam proses kreatifnya, Den banyak dipengaruhi tokoh besar seperti Jalaluddin Rumi, Kahlil Gibran, Chairil Anwar, dan WS Rendra. "Mereka memengaruhi karya-karya saya secara ideologis," ujarnya dalam wawancara dengan sukabumiupdate.com, Sabtu (24/5/2025).

Den Aslam tak hanya dikenal sebagai penyair dan penulis, tetapi juga performance artist, aktor monolog, dan sutradara teater. Karya panggungnya mencerminkan eksplorasi dan refleksi mendalam, seperti Eksperimentalisasi Puisi, Sirkus Biduan, Minah Tetap Dipancung, dan Liberi Azazel, yang semua menampilkan pendekatan eksperimental terhadap bahasa dan tubuh.

Baca Juga: “Tunggulah Aku di Gunung Parang” Musikal Sukabumi Memukau di Galeri Indonesia Kaya

Filosofi Kesenian: Humanisasi, Liberasi, Transendensi

Tiga prinsip utama yang dipegang Den dalam berkesenian adalah humanisasi (memanusiakan manusia), liberasi (pembebasan dari diskriminasi), dan transendensi (pengalaman spiritual). "Kesenian harus memenuhi tiga pilar itu," tegasnya.

Ia juga tidak memandang pemerintah sebagai musuh seniman. “Beberapa diskusi yang saya hadiri seringkali menjadikan pemerintah sebagai antagonis dalam dunia kesenian, tetapi bagi saya itu bukan hambatan,” katanya. Sebaliknya, Den lebih fokus pada kerja kreatif dan membangun kolaborasi lintas sektor.

Salah satu karyanya yang paling monumental adalah teater musikal Tunggulah Aku di Gunung Parang (TADGP), yang diangkat dari legenda lokal tentang Wangsa Suta dan Nyi Pudak Arum. "Cerita ini diyakini sebagai asal-usul terbukanya wilayah yang kini menjadi Kota Sukabumi," jelasnya.

Ia menambahkan unsur fiksi untuk mengisi kekosongan sejarah antara abad ke-16 hingga ke-19 dengan menciptakan karakter Louise de Wilde, anak Indo dari tuan tanah Belanda dan Nyai Kartini. Karena dipanggil "Arum", Wangsa Suta mengira Louise adalah titisan Nyi Pudak Arum. Namun, sejarah kembali memisahkan cinta mereka ketika Louise harus kembali ke Belanda.

“Sebagai pengarang, saya merasa penting untuk menyempurnakan struktur cerita legenda dengan narasi baru yang tetap mempertahankan nilai moral dan unsur keajaiban khas folklor,” jelasnya.

Bagi Den, pertunjukan teater musikal ini bukan hanya pelestarian cerita rakyat, tetapi juga media untuk menyampaikan identitas kultural serta imajinasi sejarah Sukabumi secara kritis dan estetis.

Kolaborasi, Musik, dan Pertunjukan

"Tunggulah Aku di Gunung Parang" produksi Ngajagi Kreasi Nusantara itu telah dipentaskan empat kali dan terus berkembang.

Di pementasan keempat, Den menulis sendiri lirik lagu orisinal yang digubah menjadi musik etnik kontemporer oleh Jamil Hasyani. Lalu koreografi-nya dipercayakan kepada Raka Reynaldi bersama tim penari Gaya Gita Studio yang memadukan unsur tradisional dan modern. Adapun tata artistik dan panggung digarap oleh Wonderkid, Zidan Kentung, dan Amin Raafi.

Para aktor seperti Ebho Ayey, Keyla Adigail, Adit Gurnawijaya, Ica Deriza, Ramli Nurhappi, Nadia Putri, Keysha Zalfa, Bella Ginting, dan Arina Senja menghidupkan naskah dengan performa yang emosional.

“Saya mengapresiasi kerja keras mereka yang telah menghidupkan naskah ini dengan sepenuh hati,” ungkap Den.

Di balik pencapaian artistiknya, Den adalah pribadi sederhana. "Yang membuat tidak biasa mungkin karena saya tidak makan daging dan ikan," candanya. Ia mengisi hari dengan membaca dan menonton film. Sebelum tampil, ia biasanya menyendiri untuk kontemplasi, lalu menyatu dengan energi penonton saat pertunjukan berlangsung.

Meskipun dunia seni penuh tantangan, Den terus melangkah karena komitmennya pada tanggung jawab dan kebiasaan. “Mungkin karena telah membiasakan itu sebagai bentuk rutinitas dan tanggung jawab terhadap pekerjaan,” katanya.

Gagasan tentang Regenerasi dan Strategi Budaya

Bagi Den, regenerasi seniman sangat penting dan membutuhkan ekosistem yang inklusif. Ia menekankan pentingnya pengemasan kesenian lokal agar bisa menjangkau berbagai kalangan.

"Jika dikemas dengan kaku dan eksklusif, lambat laun akan kehilangan apresiatornya,” ujarnya.

Para kreator budaya, menurutnya memiliki tanggung jawab untuk menyusun strategi menjaga budaya lokal tetap hidup.

Untuk generasi muda yang ingin terjun ke dunia seni, Den menyampaikan pesan semangat: "Bismillah. Kalian bisa lebih dari saya."

Kini Den aktif di Yayasan Ngajagi Kreasi Nusantara. Selain TADGP, ia juga menulis dan menyutradarai musikal Sri Asih 1989 (2024) dan Kartini (2025). Buku puisinya yang terbaru berjudul Melantropis diterbitkan oleh Jejak Pustaka pada 2022.

Ia menyimpan mimpi besar: membawa Tunggulah Aku di Gunung Parang ke panggung internasional. Dengan semangat kolaboratif dan narasi kuat, mimpi itu bukan sekadar harapan, melainkan arah yang sedang ia bangun dengan penuh kesungguhan.

Berita Terkait
Berita Terkini