SUKABUMIUPDATE.com - Siang menuju sore di Kampung Ciseupan Hilir Desa Seuseupan Kecamatan Caringin Kabupaten Sukabumi Jawa Barat, selama musim kemarau terasa lebih bergairah dari biasanya. Para ibu rumah tangga termasuk lansia terlihat kembali sibuk dengan kertas, lem dan bilah bambu yang sudah menjadi kerangka layangan atau layang-layang.
Mereka adalah warga yang selama puluhan tahun mendapatkan tambahan keuangan untuk kebutuhan rumah tangga dari industri layangan. Ada lebih dari 10 rumah yang terlibat dalam pembuatan layangan di kampung Ciseupan Hilir.
“Lumayan 70 ribu sampai 100 ribu per hari untuk 1000 layangan,” Imas, perajin layanan yang bertugas menempelkan kertas layangan ke kerangka bambu yangs udah dirakit.
Baca Juga: Ikan di Kolam Warga Kebonjati Mati Mendadak, Limbah Hotel Horison Sukabumi Disorot
Ia mengerjakan tugas itu di sela waktu menjadi ibu rumah tangga. Proses mengelem layangan dilakukan di rumahnya, dimana seluruh peralatan disuplai oleh pengepul. “Jadi kertas, lem, dan kerangka layangan dikirim pengepul. Tugas saya lem dan menggunting sisa kertas biar rapi,” lanjutnya.
Imas bersama puluhan warga lainnya adalah perajin yang bekerja untuk Cece Maulana (48 tahun) pengepul layangan di kampung Ciseupan Hilir. Cece sendiri adalah generasi kedua pengrajin sekaligus pengepul layanan di kawasan tersebut.
Ia melanjutkan usaha keluarga (ayahnya) yang sudah berlangsung sejak tahun 70-an. “Kami disini melanjutkan usaha keluarga. Rata-rata yang terlibat pun masih ada hubungan keluarga,” ucapnya kepada sukabumiupdate.com.
Baca Juga: Gak Yakin Sama Diri Sendiri? Yuk Kenali Value Dirimu Agar Tampil Lebih Pede
“Jadi kami bagi tugas. Ada yang merakit rangka bambu, memotong dan mengelem kertas, mewarnai dan paking,” sambung Cece.
Selama ini layangan Ciseupan Hilir masih menjadi primadona untuk kualitas biasa (umum/non lomba), alias layangan kertas tipis yang banyak dijual di warung-warung sekitar pemukiman warga. Pembelinya adalah agen layangan besar di Jakarta, yang kemudian mendistribusikan layangan ciseupan hilir ke seluruh Indonesia.
Bahkan sejak Mei 2025, Cece dan pengrajin layangan sempat kewalahan memenuhi permintaan pasar. “Musim layangan itukan berbarengan dengan libur sekolah. biasanya sudah masuk ke musim kemarau. Jadi sejak beberapa bulan terakhir sampai sekarang permintaan tinggi,” jelasnya.
Baca Juga: Diberhentikan Sementara karena Korupsi, Kepala DLH Sukabumi Masih Dapat Gaji Setengah
Hasil produksi para perajin dikumpulkan per harinya bisa mencapai 5 rim hingga 6 rim (1 rim = 1000 pc), jika dihitung per minggu kurang lebih mencapai 30 ribu sampai 40 ribu pieces (pc), bahkan hingga 100 ribu pieces per bulan.
“Kalau lagi musim layangan seperti sekarang ini, pengiriman bisa mencapai 100 ribu pieces per minggu,” bebernya.
Padat Modal, Bambu dan Regenerasi
Layangan menjadi usaha kerajinan yang tak tergerus waktu. Pasarnya tetap menjanjikan, namun para pelaku usaha (perajin) mulai menua dan terancam kehilangan generasi penerus. Ditinggalkan Gen Z yang tak melihat layangan sebagai sumber cuan atau penghasilan yang menjanjikan.
Baca Juga: 22 Sisindiran Basa Sunda, Keindahan dan Kelucuan yang Tersirat dalam Kata
Cece Maulana mengungkapkan bahwa saat ini masalah utama kerajinan layangan adalah bambu sebagai bahan baku utama. Bilah bambu layangan semakin sulit didapat, karena tidak semua bisa membuat bilah bambu untuk rangka layangan.
“Pengrajin bilah bambunya kan terbatas. Bambunya pun semakin berkurang karena juga digunakan untuk bahan baku kerajinan lainnya,” ungkap Cece.
Tantangan selanjutnya adalah regenerasi perajin. Menurut Cece, sulit mengajak remaja dan anak muda untuk terjun ke bisnis ini. “Padahal kan pasarnya ada, tidak tahu kenapa? bisa dilihat pengrajinnya kan udah pada tua-tua,” jelasnya.
Baca Juga: Jejak Bobby Nasution di Sukabumi, Proyek Gagal Perumahan Mantu Jokowi di Cikembar
Selain bahan baku bambu dan regenerasi usaha kerajinan layang-layang juga menghadapi tantangan padat modal. Ini karena layangan tidak diserap pasar khususnya konsumen setiap saat. “Layangan itu kan musiman, diluar musimnya permintaan rendah tapi kami tetap harus memproduksi. Ditambah produk dari pengrajin lainnya,” beber Cece.