SUKABUMIUPDATE.com – Legenda lokal dari tanah Pasundan kembali menyala, kali ini bukan dari catatan sejarah atau cerita lisan orang tua, melainkan dari panggung teater di jantung ibukota.
Tunggulah Aku di Gunung Parang (TADGP), sebuah pertunjukan musikal karya sutradara asal Sukabumi, Dhena Maysar Aslam yang juga acap disapa sebagai Den Aslam, lahir di Sukabumi, 31 Mei 1992.
Karyanya dipentaskan di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta. Ini bukan sekadar hiburan. Ini adalah upaya sadar untuk memperkenalkan Sukabumi lewat kisah dan seni pertunjukan.
Baca Juga: Kartini’s Legacy: Dari Sukabumi ke Wisma Habibie, Teater Monolog yang Menghidupkan Perjuangan
Musikal ini bukan hanya panggung hiburan semata, Dengan perpaduan musik tradisional dan kontemporer, serta kostum modern berbalut etnik, musikal ini tak hanya menghibur tetapi juga menggugah kesadaran budaya.
Titik Awal: Wangsa Suta dan Ingatan Masa Kecil
Legenda Gunung Parang tak asing bagi Den Aslam. Semasa kecil, ia sering mendengar nama Wangsa Suta, sosok yang ia anggap sebagai "Superhero Sukabumi", meski saat itu belum sepenuhnya memahami kisah yang melingkupinya.
Baru pada tahun 2011, Den mulai mendalami legenda Gunung Parang yang melibatkan Wangsa Suta dan Nyi Pudak Arum, dua tokoh sentral dalam cerita rakyat penuh tragedi ini.
Baca Juga: Menanti Teater Musikal Sri Asih Sukabumi, Bangkit Dari Kubur Setelah Puluhan Tahun Mati
“Cerita legenda tersebut sangat penting untuk dituturkan kembali, selain sebagai identitas suatu wilayah, juga agar generasi selanjutnya tetap mengingat asal-usul kotanya dan bisa belajar dari pesan moral yang terkandung di dalamnya,” ungkapnya saat bercerita kepada sukabumiupdate.com, Jumat (23/5/2025).
Bagi Den, seni pertunjukan menjadi medium yang paling efektif untuk menjangkau audiens modern. “Platform seni pertunjukan bagi saya efektif dalam mempopulerkan kembali legenda tersebut agar dapat menyesuaikan dengan audiens kekinian. Bahkan secara akademik, cerita ini bisa dijadikan bahan acuan penelitian onomastika, khususnya studi toponimi,” tambahnya.
Membangun Cerita dari Lisan dan Imajinasi
Proses kreatif Den dimulai dengan mendengar kembali cerita-cerita dari masyarakat. Mengingat bahwa legenda diturunkan secara lisan dan memiliki banyak versi, Den kemudian melakukan riset digital dan menemukan tulisan budayawan Kang Warsa. Dari sana, ia mulai mengembangkan imajinasi dan menuangkannya dalam bentuk naskah musikal.
“Bagian tersulit adalah menetapkan konsep dan gaya yang bisa dinikmati generasi muda. Tantangannya adalah bagaimana membuat mereka mau menonton dan bisa memahami cerita legenda itu dengan cara yang menyenangkan. Alhamdulillah, itu berhasil,” ujarnya.
Kekuatan musikal Tunggulah Aku di Gunung Parang juga terletak pada visual dan musiknya yang kental unsur lokal. Den bersama tim artistik menanamkan simbol-simbol budaya Sukabumi ke dalam elemen panggung.
“Secara visual kami menampilkan tanaman pakujajar sebagai simbol dari legenda, termasuk motif kostum yang digunakan para pemain,” jelasnya. Pada bagian pembuka, penonton disuguhi tembang pupuh bergaya Maskumambang, menghadirkan nuansa khas Sunda yang autentik.
Koreografi dalam pertunjukan ini juga lahir dari riset. “Saya selalu melakukan riset secara komprehensif dalam proses produksi. Maka lahirlah kostum dan koreografi bergaya etnik-modern yang mempertimbangkan nilai tradisi dan tren terkini. Bahkan, di adegan lagu Semua Cinta, ada koreo velocity juga loh,” kata Den, sembari tersenyum.
Dari Sukabumi ke Jakarta dan Emosi di Panggung Ibukota
Sebelum tampil di Jakarta, musikal ini telah dipentaskan sebanyak empat kali di Sukabumi. Dari pertunjukan lokal itu, Den kemudian mengirim naskah dan dokumentasi ke pihak Galeri Indonesia Kaya untuk proses kurasi. Setelah diterima, tim produksi langsung bergerak cepat untuk menyiapkan pementasan nasional.
“Kami mulai produksi dan latihan sekitar dua bulan. Ini semua berkat kerja keras tim,” ujar Den, sembari menyebut sejumlah pihak penting dibalik layar seperti Ngajagi Kreasi Nusantara, Rio Kamase, Teaterindo, Arsikarta Foundation, Kemenpora RI, Bale Jayaniti, Leboy Costume, dan MUA Sukabumi.
Beberapa tokoh teknis seperti Jamil Hasyani (komposer), Raka Reynaldi (koreografer), dan tim Wonderkid (penata artistik) juga dinilai berjasa besar dalam kesuksesan pementasan.
Tampil di Galeri Indonesia Kaya, venue prestisius di Jakarta, menjadi momen penting dalam perjalanan karier Den Aslam. “Bagi kami itu pencapaian, karena tidak mudah bisa tampil di sana. Ini adalah awal agar ke depannya karya-karya dari Sukabumi bisa mendapat atensi di skala nasional. Pentas di GIK itu semacam legitimasi bagi kualitas karya saya,” ujarnya.
Yang paling mengharukan, kata Den, justru terjadi di atas panggung. “H-1 pementasan semuanya standar. Tapi saat tampil, para aktor mengeluarkan kemampuan maksimal, bahkan melebihi ekspektasi saya. Saya terharu. Apalagi setelah pementasan, banyak penonton yang menyampaikan apresiasi dan merasa pertunjukannya luar biasa,” tuturnya bangga.
Dari Legenda ke Sejarah: Rencana Besar Den Aslam
Melalui Tunggulah Aku di Gunung Parang, Den Aslam ingin menyampaikan dua pesan utama: pelestarian legenda dan pentingnya identitas kebangsaan. Menariknya, Den juga menyelipkan simbol sosok Nyai Kartini sebagai bentuk hegemoni tandingan dan perjuangan perempuan di era kolonial.
Tak berhenti di situ, Den kini tengah menyiapkan berbagai naskah baru. Salah satunya adalah “Mochi no Monogatari”, yang menggali asal-usul mochi dari Jepang hingga menjadi oleh-oleh khas Sukabumi. “Naskah ini juga membicarakan kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II dan peristiwa desersi pasukan Jepang di Indonesia. Insya Allah akan dipentaskan di Japan Foundation akhir tahun 2025,” ucap Den.
Naskah lain berjudul “Preanger” yang mengangkat tokoh Andries de Wilde—tuan tanah Belanda yang disebut mengusulkan perubahan nama Tji’Colle menjadi Soeka Boemi—direncanakan tampil di Erasmus Huis, Jakarta, akhir tahun ini.
Tak hanya legenda dan sejarah lokal, Den juga menulis naskah-naskah besar lain seperti “Nini Anteh Sang Penenun Bulan”, “Nyimas Caiwangi”, “Nyi Puun Purnamasari”, hingga kisah nasional seperti “Malam Sebelum Proklamasi” dan “Apa Kabar, Bung?”. Ia bahkan menyiapkan biografi tokoh-tokoh penting seperti Raden Dewi Sartika, Ibu Soed, Ratu Kalinyamat, K.H. Achmad Sanusi, dan Mr. Achmad Soebardjo.
“Saya juga akan mementaskan ulang musikal Sri Asih 1989 tahun ini. Insya Allah,” pungkas Den, dengan semangat yang belum padam.
Menjadi Suara Sukabumi di Panggung Nasional
Melalui Tunggulah Aku di Gunung Parang, Den Aslam telah membuktikan bahwa legenda lokal tidak hanya pantas dikenang, tapi juga layak ditampilkan dengan penuh kebanggaan di panggung nasional.
Dari dongeng masa kecil hingga pementasan megah di ibu kota, Den membawa semangat Sukabumi ke ruang-ruang yang lebih luas—menjadi suara dari tanah Parahyangan yang tak ingin dilupakan.