SUKABUMIUPDATE.com - Hamparan pasir putih berpadu dengan karang bebatuan yang unik, dan tegakan pohon pandan menyambut siapa pun yang datang ke Pantai Minajaya, Kecamatan Surade, Kabupaten Sukabumi. Pantai yang membentang sepanjang 3,5 kilometer ini menjadi salah satu destinasi favorit wisatawan lokal maupun luar daerah yang ingin menikmati pesona laut selatan Jawa Barat.
Pantai Minajaya berada di wilayah dua desa, yakni Desa Pasiripis di bagian barat dan Desa Buniwangi di bagian timur. Keduanya termasuk dalam zona Geopark Ciletuh–Palabuhanratu, kawasan yang telah diakui UNESCO sebagai warisan dunia karena keindahan geologi dan nilai budaya yang dikandungnya.
Namun, di balik keelokan ombak dan lembutnya pasir, Pantai Minajaya menyimpan kisah panjang tentang sejarah, mitos, dan perubahan zaman.
Sebelum dikenal sebagai Pantai Minajaya, kawasan ini dahulu disebut Pantai Kutamara. Nama yang kaya makna ini memiliki dua versi asal-usul yang masih hidup dalam ingatan masyarakat setempat.
Menurut kisah turun-temurun, “Kutamara” berasal dari dua kata, Kuta yang berarti laut atau benteng, dan Mara yang dapat diartikan sebagai cinta atau bahaya. Tokoh masyarakat setempat, Kang Baban yang dikenal juga sebagai Satria Lebak Cawene, menuturkan bahwa Kutamara bermakna Lautan Asmara, menggambarkan kisah cinta abadi yang terpatri di antara karang dan ombak.
Baca Juga: Petani Sukabumi Lega Harga Pupuk Bersubsidi Turun, Meski Belum Bisa Beli karena Ekonomi
Salah satu simbol yang menguatkan legenda itu adalah keberadaan Batu Panganten (batu pengantin). Warga meyakini batu ini melambangkan cinta sejati dua insan yang kekal dalam waktu.
Namun, versi lain datang dari Ustaz Soleh, tokoh budaya Surade. Ia menjelaskan, Kuta berarti tempat berlindung, sedangkan Mara berarti bahaya atau rintangan. Jika digabungkan, Kutamara mengandung makna benteng perlindungan dari bahaya, seolah menggambarkan peran pantai ini sebagai penjaga alami pesisir selatan Sukabumi.
Perubahan nama dari Kutamara menjadi Minajaya terjadi sekitar tahun 1963, ketika sebuah kapal penangkap ikan bernama Minajaya karam di perairan setempat karena kehabisan bahan bakar.
Menurut Kang Baban, kapal tersebut terdampar di kawasan Alor Salenggang, di sisi timur pantai. Kisah kapal karam itu cepat menyebar di kalangan warga Pajampangan, dan sejak saat itu masyarakat mulai menyebut kawasan ini sebagai Pantai Minajaya. Nama baru itu bertahan hingga kini, menjadi identitas baru bagi pantai yang sarat kisah dan nilai sejarah.
Sepanjang pesisir Minajaya, masyarakat menamai setiap bagian pantai dengan sebutan berbeda, Muara Cikarang, Karang Gantung, Pandan Jangkung, Cikaracak, Silewang, Karang Rempag, Cijalil, Sibadak, Wangsa Arya, Kutamara, Situnggak, Salenggang, Sigugur, hingga Cipamarangan.
Baca Juga: Unik, Melihat Truk di Surade Sukabumi Kesulitan Belok Akibat Bawa Bambu Terlalu Panjang
“Nama-nama ini bukan sekadar sebutan, tetapi memiliki arti dan makna tersendiri yang diwariskan para leluhur,” tutur Kang Baban kepada Sukabumiupdate.com, Jumat (24/10/2025).
Bagi warga setempat, pantai bukan sekadar tempat rekreasi, melainkan bagian dari identitas budaya dan spiritual yang harus dijaga.
“Sebagai tempat berlindung atau benteng, pantai, perbukitan, dan lingkungan sekitarnya harus dijaga dan dipelihara, bukan dirusak atas nama apa pun,” ujar Ustaz Soleh menegaskan.
Namun keindahan itu kini tengah menghadapi ancaman. Kehadiran proyek tambak udang PT Bumi Semesta Maritim (BSM) di atas lahan Hak Guna Bangunan (HGB) seluas 100 hektare) menimbulkan kekhawatiran akan rusaknya ekosistem laut dan pesisir.
Kekhawatiran tersebut menjadi nyata ketika pada Senin (21/10/2025), satu unit alat berat terlihat membongkar karang di tepi Pantai Minajaya. Meski aktivitas itu kini telah dihentikan, bongkahan karang yang rusak menjadi saksi bisu terlukanya pantai yang menyimpan legenda cinta dan perlindungan ini.





